Museum Perempuan, Melihat Sejarah Perjuangan Perempuan Indonesia
Luviana- www.Konde.co
Jogjakarta- Konde.co- Jogjakarta menyimpan sejumlah peristiwa penting bagi gerakan perempuan di Indonesia. Kongres perempuan pertama yang diadakan di Jogjakarta adalah kongres penting yang menandai penolakan perempuan terhadap poligami.
Jika anda sedang berjalan-jalan mengelilingi salah satu museum di Jogja, suasana kongres perempuan ini terdapat dalam diorama yang terdapat di Beteng Vredenburg Jogja, yang terletak di Jalan Malioboro. Disana, menyimpan sejarah bagaimana kongres perempuan ini dilakukan. Kursi yang dipenuhi para perempuan, dan diorama yang menunjukkan bagaimana perdebatan disana kerap terjadi.
Tanggal 22 Desember 1928, sebuah kongres yang bernama “Kongres Perkoempoelan Perempoean Indonesia” digelar di Jogyakarta. Kongres tersebut diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari daerah-daerah di Indonesia. Ada organisasi Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika danWanita Taman Siswa.
Nama-nama perempuan seperti Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari adalah tokoh-tokoh perempuan yang menginisiasi Kongres Perempuan pertama di Indonesia itu tertera dalam diorama di Beteng Vredenburg.
Kongres ini dibuat sebagai kelanjutan dari Kongres Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Kongres diadakan di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan, R.T. Joyodipoero. Diorama di Beteng Vredenburg juga menggambarkan pendopo pelaksanaan kongres. Tercatat sekitar 1.000 orang hadir pada resepsi pembukaan kongres.
Sekarang ini gedung tersebut dipergunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.
Dalam kongres ini para perempuan bertemu dan berkomitmen untuk memperjuangkan keadilan untuk perempuan Indonesia lebih-lebih di bidang pendidikan dan perkawinan.
Diorama di Beteng Vredenburg menggambarkan bagaimana sikap perempuan di jaman kolonial di masa itu. Kehidupan perempuan di masa penjajahan Belanda pada masa itu dirundung oleh sejumlah masalah yang cukup pelik. Tak banyak perempuan yang bisa menempuh pendidikan, kebanyakan dari mereka sudah dikawinkan selang beberapa saat setelah mengalami menstruasi pertama, tak punya kedudukan kuat untuk menggugat atas perlakuan sepihak dari kaum laki-laki yang bisa saja setiap saat menceraikan mereka. Kondisi lain, hampir semua perempuan Indonesia kala itu berada dalam kemiskinan karena penjajahan.
Pembahasan berbagai isu utama permasalahan perempuan dibicarakan dalam rapat terbuka. Topik yang diangkat saat ini di antaranya adalah kedudukan perempuan dalam perkawinan, perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya, poligami, dan pendidikan untuk anak perempuan.
Selain Beteng Vredenburg, Di Jogjakarta, juga terdapat museum pergerakan perempuan. Terletak di Gedung Mandala Bakti Wanita Tama, museum yang bernama Museum Pergerakan Wanita ini terletak di gedung tengah bagian belakang. Sejumlah pahlawan perempuan terdapat disana. Ada Kartini, SK Trimurti, Cut Nya Dhien, Cut Meutia, Dewi Sartika, Christina Martha Tiahahu dan pahlawan perempuan lain.
Museum yang dibuat pada 22 Desember 1953 ini sebelumnya digagas oleh Sri Mangoensarkoro. Mueum ini dilandasi oleh cita-cita kongres perempuan, mengenang perjuangan perempuan dari waktu ke waktu.
Beberapa koleksi museum seperti diorama, buku, tulisan, foto menandakan kontribusi perempuan dari jaman penjajahan belanda dan Jepang, perang kemerdekaan, di masa orde lama, orde baru. Dalam sejumlah foto dan diorama dituliskan apa saja yang dilakukan para perempuan di masa penjajahan.
Perempuan di masa itu ikut menjadi prajurit pengusir tentara kolonial, ikut berkontribusi di barak-barak kesehatan dengan menjadi perawat dalam perang melawan kolonialisme Belanda dan jepang, menjadi tim dalam dapur umum yang menyediakan makanan, juga menjadi guru, penggagas, pemikir di masa kolonial dan perang kemerdekaan.
(Diorama Beteng Vredenburg dan Museum Pergerakan Wanita di Jogjakarta/ Foto: Savana Candid Nusantara)
Post a Comment