Header Ads

Jejak Hitam Pelecehan Seksual Jurnalis Perempuan


*Abdus Somad- www. Konde.co

Seorang reporter bola asal Kolombia yang bekerja untuk DW Espanol, Juliet Gonzales mengalami pelecehan seksual.Ia menceritakan saat melakukan siaran langsung piala dunia World Cup 2018, ia mengalami serangan seksual. Pipinya dicium dan payudaranya diremas secara cepat dari seorang suporter yang saat itu hendak menonton pertandingan Rusia Vs Arab Saudi.

Peristiwa tersebut awalnya ia pendam, karena ada dorongan sahabatnya untuk bersuara Julieth kemudian menyampaikan serangan terhadap dirinya di sosial media pribadinya-twitter.

Reaksi keras atas serangan tersebut mendapat tanggapan positif dari warganet, namun ada pula yang mencibirnya. Menganggap Juliet orang yang lemah.

Dalam peliputan Piala Dunia 2018 di Moskow, Rusia, tidak hanya Julieth Gonzales yang mengalami pelecehan, ada pula Júlia Guimarães reporter TV Globo dan SportTV. Namun ia melawannya dengan mencoba mendaprat lelaki yang hendak menciumnya. Júlia Guimarães mengatakan peristiwa itu sangat mengerikan.

Jauh sebelum Piala Dunia 2018 berlangsung, ada tiga jurnalis perempuan asal Brazil juga menceritakan apa yang mereka alami.

Serangan seksual pernah dirasakan dengan cara meraba, mencium dengan spontan dan disengaja mereka alami. Tidak banyak yang bisa jurnalis perempuan itu sisi lain mereka sedang melakukan liputan yang dituntut profesional dalam menyiarakan laporan.

Melihat kejadian tersebut, kita perlu berani menyatakan bahwa dunia sepak bola telah mengenalkan jejak hitam pelecehan seksual terhadap perempuan. Pertandingan bisa saja berlangsung fair play, namun kesetaraan gender itu tidak berlaku bagi seoarang jurnalis perempuan yang meliput pertandingan bola. Di luar lapangan justru mereka yang rentan mengalami serangan seksual.

Dari riset yang dilakukan oleh International Womens Media Foundation (IWMF) dan International News Safety Institute (INSI) terkait dengan pelecehan dan kekerasan terhadap pekerja media perempuan tahun 2013 sampai 2014. Tercatat ada sekitar 47,9% atau 327 orang dari 683 responden jurnalis mengaku pernah mengalami pelecehan seksual saat bekerja.

Seperti yang pernah di tulis dalam laporan Tirto.id, dari 999 kasus yang dilaporkan, 20,2% atau 202 kasus berkaitan dengan “komentar yang tak diinginkan atas penampilan dan pakaian, 18,6% sekitar 186 kasus berhubungan dengan pernyataan atau suara yang tidak senonoh, 16,9% atau 169 kasus berkaitan dengan candaan yang bersifat seksual, 15,5% atau 155 kasus berhubungan dengan pelanggaran batas jarak pribadi, dan 14,7% atau sekitar 147 kasus berhubungan dengan kontak fisik yang tidak diinginkan.

Dilihat dari jenis kelamin, ternyata mayoritas pelaku didominasi laki-laki dengan persentasi yang cukup tinggi hingga mencapai 93,8% angka iti didapat dari 270 dari 288.1

Catatan buruk akan pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan juga dilakukan oleh International Federation of Journalist (IFJ) dalam risetnya pada tahun 2017 ternyata menghasilkan 48% jurnalis mengalami kekerasan gender di tempat kerja. Bentuknya mulai dari kekerasan verbal, kekerasan psikologis sampai mengalami tindakan fisik.2

Riset di atas membuka tabir praktek kekerasan terhadap jurnalis. Angka-angka yang dihasilkan dari riset di atas menunjukan perempuan cukup rentan dalam mendapatkan serangan seksual. Tentu saja ini bukan karena perempuan itu lemah, tak berdaya atau tak bisa melawan. Tidak! Perempuan bisa membentengi dirinya, hanya saja tindakan yang dilakukan lebih banyak terjadi saat menjalankan tugas meliput sebuah isu.

Pikiran seoarang jurnalis kemungkinan banyak akan memikirkan apa yang ada di hadapannya, ketika semua yang dilakukan selesai, barulah sadar bahwa tubuhnya sedang diserang.

Seorang lelaki yang melakukan kejahatan seksual pantas kita sebut para patriarkh yang haus akan birahi. Kita perlu memerangi mereka agar perempuan merasa nyaman dan aman.

Pada kasus ini, saya mencoba memberikan sebuah pandangan, ada dua hal yang perlu dilakukan, pertama dengan membuat sebuah kampanye besar untuk mendorong edukasi kepada publik untuk menjaga kewarasan seksualnya, dan memberikan efek jera kepada pelaku.

Kedua, bagi jurnalis perempuan perlu ada sebuah upaya untuk melindungi diri mereka. Kebebasan pers seharusnya termasuk dalam jaminan melindungi diri dari serangan seksual, perlu ada sebuah perlakuan khusus bagi perempuan untuk membentengi dirinya. Seperti mengadakan pelatihan menghadapi serangan seksual sampai pada mendorong jurnalis untuk berani bicara ke publik akan apa yang dialaminya.

Dalam regulasi ini bertujuan untuk menekankan pada tindakan mencegah dan memerangi kejahatan pelecehan serta menerapkan hukuman terhadap para pelaku dan melindungi korban dalam rangka menjaga privasi dan hak individu di bawah aturan hukum.

Sekali lagi, kita perlu melawan kejahatan seksual terhadap perempuan, terhadap jurnalis perempuan sebab tindakan ini adalah kejahatan kemanusiaan serta sebuah tindakan kebiadaban yang hakiki. Semua berhak mendapat perlakuan yang nyaman, aman dan damai-termasuk seoarang perempuan.

Sumber:
1. Wahai Suporer Cowok Biarkan Jurnalis Perempuan Tenang Bekerja, diunduh pada, Selasa, 3 Juli 2018 pada pukul 13.30 WIB melalui laman https://tirto.id/wahai-suporter-cowok-biarkan-jurnalis-perempuan-tenang-bekerja-cHhW

2. International Federation of Journalist, http://www.ifj.org/

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)


*Abdus Somad, penulis dan aktivis lingkungan. Koresponden untuk www.Konde.co di Yogyakarta.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.