Perempuan Aceh dalam Belenggu Qanun Jinayat
“Qanun atau peraturan daerah yang dibentuk oleh pemerintah Aceh, alih-alih dibangun untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakatnya, sebaliknya justru melanggar hak asasi manusia yang berdampak pada kekerasan dan kriminalisasi, terlebih bagi perempuan.”
Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Perempuan di Aceh yang terkena pidana masih harus menerima hukuman cambuk karena peraturan daerah atau Qanun Jinayat. Hingga hari ini, realita ini masih terus terjadi di Aceh.
Ditetapkannya Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah, Irwandi Yusuf dan Ahmadi sebagai tersangka Kasus Korupsi dana otonomi khusus pada 4 Juli 2018 lalu, merupakan bukti bahwa otonomi khusus di Aceh tidak dijalankan untuk kepentingan masyarakat Aceh sebagaimana mandat undang-undang.
Aceh sebagai daerah otonomi khusus memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Berdasarkan mandat undang-undang tersebut, penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah Aceh harus berdasaran kepentingan umum.
Tak hanya itu, pelaksanaan otonomi khusus juga didasarkan pada Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang antara lain menyebutkan bahwa Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional.
Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil menyebutkan, bahwa namun nyatanya, penyelenggaraan otonomi khusus Aceh tidak sejalan dengan berbagai ketentuan di atas. Berbagai data menunjukkan otonomi khusus Aceh gagal dalam memenuhi kepentingan umum dan mencapai kesejahteraan warganya.
Tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh termasuk pada urutan 21 terbawah dari 33 provinsi di Indonesia tahun 2015, yang juga menempatkan Aceh pada peringkat ke 6 termiskin di Indonesia.
Sementara, berbagai Qanun atau peraturan daerah yang dibentuk oleh pemerintah Aceh, alih-alih dibangun untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakatnya, sebaliknya justru melanggar hak asasi manusia dan berdampak pada kekerasan dan kriminalisasi, terlebih bagi perempuan.
Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat atau Qanun Jinayat, misalnya. Qanun ini memasukkan jenis tindak pidana baru dan secara mendasar mengganti bentuk sanksi pidana di luar ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dimiliki Indonesia. Secara substantif, ketentuan hukum yang diatur di dalam Qanun Jinayat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Hukuman cambuk misalnya, selain bertentangan dengan Perjanjian Helsinki Tahun 2005, juga bertentangan dengan peraturan perundang-undang diatasnya, yaitu UUD 1945 pasal 28 G ayat (1), UU No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT), UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan lain sebagainya.
Secara implementatif Qanun Jinayat terbukti tidak mampu memberi jaminan kemanan bagi masyarakat Aceh. Bahkan, Qanun ini mengkriminalisasi dan mereviktimisasi korban pemerkosaan. Seorang korban pemerkosaan justru dihukum cambuk dengan tuduhan sebagai tersangka zina.
Dalam kasus lainnya, pasangan nikah siri dihukum cambuk dengan tuduhan khalwat dan ikhtilath. Kedua korban dan anak-anaknya harus keluar dari kampungnya, dan kehilangan mata pencaharian sebagai sumber penghidupan keluarganya akibat label negatif yang dialami akibat pencabukkan.
Kedua kasus di atas menunjukkan bahwa Qanun Jinayat jelas tidak memiliki keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat, bahkan melanggar hak asasi manusia dan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Belum selesai persoalan kemiskinan serta kekerasan dan kriminalisasi oleh Qanun Jinayat di Aceh, muncul kasus korupsi dana otonomi khusus Daerah Aceh. Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menetapkan Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah sebagai tersangka pada 4 Juli 2018. Hal ini merupakan bukti nyata, bahwa otonomi khusus tidak dibentuk untuk kepentingan masyarakat Aceh sebagaimana mandat undang-undang, dan mencederai rasa keadilan bagi masyarakat Aceh.
Berdasarkan hal tersebut, kami dari Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat dengan ini menegaskan bahwa pelaksanaan otonomi khusus Aceh sejatinya dijalankan berdasarkan kepentingan umum dan berdasarkan Hak Asasi Manusia, termasuk Hak Asasi Perempuan.
Jaringan masyarakat sipil untuk advokasi Qanun Jinayat yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil antaralain Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), Arus Pelangi, Cedaw Working Group Indonesia (CWGI), Human Rights Working Group (HRWG), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jakarta, www.Konde.co, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Lembaga Study dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SejuK), Setara Institute, Solidaritas Perempuan (SP), Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Satu Keadilan (YSK) kemudian mendesak DPRA dan Pemerintah Aceh untuk meninjau kembali Qanun Jinayat yang secara substantif dan implementatif bertentangan dengan asas kepentingan umum, prinsip Perjanjian Helsinki Tahun 2005 serta peraturan perundang-undangan lain di atasnya yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Post a Comment