Demam Sepakbola itu Dilahirkan Dari Rahim Kelas Buruh
"Kenyataan menunjukkan, industri sepak bola bukan hanya digerakan oleh kelas buruh dari sisi penonton dan pemain, namun juga seluruh peralatannya. Bola, sepatu, kaos yang digunakan dalam pertandingan kelas dunia ternyata diproduksi oleh buruh, para buruh-buruh perempuan dan anak-anak dunia ketiga."
*Zaki Muhammad- www.Konde.co
Gelaran piala dunia 2018 telah usai. Setiap jadwal yang tersaji, jutaan penonton seantero dunia berkiblat dalam pertandingan ini.
Sepak bola merupakan primadona dikalangan masyarakat termasuk masyarakat kelas buruh. Harus diakui, di sejumlah negara Eropa, Amerika Latin dan bahkan di indonesia, sepak bola adalah sarana hiburan masyarakat kelas buruh. Klub sepak bola dan komunitas suporter adalah tempat mengidentifikasikan diri soal arah politiknya.
Saat kita berbicara keterkaitan antara sepak bola dan kelas buruh, maka sedikit banyak kita akan melihat sepak bola inggris. Karena disana sepak bola mulai muncul dan kelas buruh ikut andil dalam mempopulerkan. Jadwal yang digelar di Liga Inggris terjadi saat Sabtu dan Minggu, ketika kelas buruh libur dan meluapkan waktunya untuk melihat jagoan mereka mencetak gol.
Di Inggris, rivalitas bukan soal bagaiman taktik permainan atau berapa banyak pemain hebat bisa dibeli. Melainkan tak beranjak dari urusan ekonomi. Semisal kebencian para pendukung Liverpool terhadap Manchester United, berawal dari kemarahan buruh-buruh galangan kapal itu terhadap para pengusaha Manchester.
Manchester adalah kota utama dalam revolusi industri abad 18 yang menghasilkan katun. Sementara Liverpool adalah pelabuhan dagang paling sibuk di Inggris tempat buruh galangan kapal harus diperas keringatnya. Saat krisis ekonomi dan depresi pada tahun 1920an terjadi, Manchester terkena imbas. Terjadi migrasi besar-besaran, pengusaha di Manchester ambil jalan pintas dan membuka sendiri pelabuhan dan menghantam pemasukan warga liverpool, terutama buruh galangan kapal.
Hal tersebut memicu rivalitas sampai di lapangan bola antara dua kota yang hanya berjarak sekitar 50 kilomter tersebut. Pemain liverpool pun pernah menunjukkan slogan mendukung pekerja pelabuhan Merseyside yang di pecat.
Rata-rata pemain Inggris berasal dari kelas buruh, penelitian Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam bukunya Soccernomics menunjukkan, sepak bola inggris tergantung pada pasokan pemain dari kelas buruh.
Hanya 15 % pemain tim nasional inggris pada piala dunia 1998-2006 yang berasal dari kelas menengah. Sebut saja Jamie Vardy, pemain Leicester City. Jamie vardy sebelum mengejar mimpinya menjadi pemain top sepak bola inggris, dia harus menjadi buruh berjibaku di dalam gedung pabrik alat-alat penyangga patah tulang.
Di belahan negara lain, tempat dimana Francesco Totti dan Gianlugi Buffon dilahirkan. Dimana gaya bermain Catenaccio sistem grendel yang memainkan pertahanan berlapis di populerkan juga membuka sejarahnya soal bagaimana kelas buruh mengidentifikasikan dirinya di sebuah klub Internazionale Milan. Inter milan memiliki pendukung ideologis dari kaum intelektual dan buruh-buruh baja. Comuna baires, seorang sutradara pendukung Inter, menyebut klub idolanya itu memiliki falsafah anti kapitalisme (dalam hal ini anti bush, anti-berlusconi, anti amerika). Sebagian pendukung Inter mengagumi teori hegemoni Antonio Gramsci, seorang intelektual gerakan rakyat.
Cerita dari tempat lain dimana kelas buruh menapaki jalan politiknya untuk menunjukan bahwa ideologi tidak hanya terbatas dibarisan pabrik, lapangan bola pun menjadi tempat mereka. Jerman, kita awali cerita ini dari Borussian Dortmund. Pemilik klub sepak bola tersebut menyadari, bahwa basis suporter mereka mayoritas berasal dari kelas buruh. Borussian Dortmund, menawarkan kursi gratis kepada para pekerja baja. Pekerja baja tersebut telah berjasa dalam pembangunan klub dari mulai pembangunan stadion sampai sumbangsi terhadap saham.
Selanjutnya adalah St. Pauli, klub yang berkiprah di Bundesliga 2 ini tidak hanya sebagai klub biasa. St. Pauli yang memiliki basis suporter dari kelas buruh menerapkan demokrasi sepenuhnya dan gagasan politiknya di klub tersebut. hal yang lebih menarik adalah terdapat kepentingan berkomunal di St. Pauli itu sendiri. Klub ini telah menjadi wadah bagi orang-orang yang kecewa karena keserakahan dan kebohongan sepakbola modern.
Para pendukung St. Pauli memang selalu lantang menentang rasisme, seksisme, homofobia, dan fasisme, yang di mana bahwa faham-faham itu justru menjadi kultus di sebagian besar sepakbola Jerman penganut fasisme dan para pendukung St. Pauli menganggapnya sebagai ancaman sepakbola dunia.
Pada 2006 silam, Washington Post dibuat kagum oleh para pendukung kesebelasan dari Hamburg ini. Washington Post seolah tidak percaya jika di tribun Stadion Millerntor, kandang St. Pauli, dipenuhi orang-orang yang bisa dibilang ‘buangan’ di Jerman, seperti punk, kelas pekerja, tunawisma, waria, dan lainnya. Presiden St. Pauli Oke Gottlich pun tetap bersikeras jika St. Pauli akan tetap menjadi klub kepedulian sosial. Ia juga menganggap kesebelasan berjuluk Buccaneers of the League (Bajak Laut dari Liga) itu mampu lebih besar tanpa sokongan dana melimpah.
“Kami akan selalu mengambil sikap melawan rasisme dan homophobia. Selalu memerhatikan kaum lemah dan miskin, karena itu penting bagi kami,” tegas Gottlich.
Sedangkan di Indonesia, kisah kelas buruh dalam sepak bola memang belum di temukan secara terperinci. Namun ada sepotong cerita yang disebutkan dalam buku Ruth Mcvey dan Harry J.benda, bahwa sekitar tahun 1927 berdiri sebuah kesebelasan bernama LONA di Sumatera Barat dan tepat dipasar pariaman.
Di kabarkan juga kesebelasan tersebut adalah berisi buruh Pasar Pariaman dan menurut tulisan wartawan dan pengamat bola, Zen RS, kesebelasan tersebut dekat dengan Perdana Menteri Sutan Syahrir.
Kenyataan menunjukkan, industri sepak bola bukan hanya digerakan oleh kelas buruh dari sisi penonton dan pemain, namun juga seluruh peralatannya.
Bola, sepatu, kaos yang digunakan dalam pertandingan kelas dunia ternyata diproduksi oleh buruh, para buruh-buruh perempuan dan anak-anak dunia ketiga.
Yang terbaru, bagaimana transfer ronaldo ke juventus membuat marah buruh-buruh yang bekerja di perusahaan otomotif fiat yang sudah bertahun-tahun menghabiskan waktunya untuk perusahaan, namun perusahaan dengan mudah mengeluarkan uang ratusan milliar dolar demi seorang pemain bola yang tidak pernah mencetak bahkan membuat satupun produk fiat.
Sepak bola tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan kelas buruh. Dimanapun dan disisi apapun kelas buruh mempunyai peran dalam sepak bola, termasuk dalam aspek politik.
Meskipun FIFA melarang politik masuk dalam lapangan bola, kegigihan sebuah pandangan politik akan tetap tersengat untuk terus dikobarkan. Disinilah bagaimana kesempatan untuk memperjuangkan pandangan politik harus dilakukan dimanapun berada. Dimana massa rakyat berdiri dengan jumlah banyak sehingga kita bisa memenangkan hati massa rakyat termasuk kelas buruh untuk menyampaikan gagasan politiknya.
Jadi, kalau kalian membenci kelas buruh, berarti kalian juga membenci seluruh tribun dan kesebelasan dukunganmu. Mencintai sepak bola adalah keharusan mencintai kelas buruh termasuk memperjuangkan gagasan politiknya.
*Zaki Muhammad, penulis dan aktivis buruh.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)
(Tulisan ini sebelumnya dimuat di www.buruh.co dan merupakan kerjasama antara www.Buruh.co dan www.Konde.co)
Post a Comment