Di Tanah Kelahirannya, Perempuan Penolak Bandara Terusir dan Berlinang Air Mata
*Abdus Somad- www.Konde.co
Ini adalah kisah para perempuan yang terusir dari pembangunan bandara baru di Kulonprogo, Yogjakarta.Tanah mereka raib, kuburan tanah luhur merekapun tergusur. Mereka terusir dari tanah dimana selama ini mereka hidup.
Sinar mentari terbit dengan sempurna, aktivtas Warga Paguyuban Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) masih seperti biasa. Pergi ke lahan untuk menyirami tanaman cabai dan terong yang sejak tiga bulan lalu dirawat, semua berjalan dengan baik tidak ada gejala apapun dalam keseharian warga.
Pada Kamis, 26 Juni 2018, sekitar pukul 09.03 tiba-tiba aparat kepolisian gabungan wilayah Kuloprogo datang dengan menggunakan motor antihuru-hara, mobil Brimob serta mobil Patroli.
Ada sekitar ratusan aparat kepolisian datang ke lokasi pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Mereka berkumpul menggelar apel pagi untuk melakukan eksekusi pengosongan lahan warga yang masih menolak pembangunan bandara.
Pihak PT. Angkasa Pura I bersama Kepolisian Kulonprogo pagi itu akan melakukan pengosongan lahan (land clearing) selama tiga hari, terhitung dari Kamis 28 Juni sampai dengan Sabtu, 30 Juni 2018. Dalam aktivitasnya mereka akan menumbangkan pohon dan merusak lahan pertanian warga yang masih digunakan oleh warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulonprogo (PWPP-KP) untuk mencari penghidupan.
Melihat adanya aparat kepolisian yang begitu ramai yang tak seperti biasanya, warga pun bergegas menyiapkan diri mereka mencoba untuk menghadang. Namun dari arah selatan bergerak 12 alat berat menuju lokasi berkumpulnya polisi alat berat itu berjejer.
Setelah mengkuti apel pagi, aparat dan alat berat bergerak menuju lahan warga yang berada di sekitar pesisir pantai. Mereka mulai merobohkan tanaman dan pepohonan yang masih berdiri. Tak hanya itu mereka juga bergerak menuju pekarangan rumah warga PWPP-KP dengan merobohkan pohon di sekitar rumah mereka. Tak ada yang menduga gerakan besi penghancur itu akan merusak lahan warga.
Sontak warga geram, mereka mencoba melawan sekuat tenaga dengan cara menghentikan begho (alat berat) bergerak, namun polisi juga ikut bergerak, mereka menghalangi warga untuk menghentikan aktivitas begho. Adu mulut dan saling dorong-pun tak terhindarkan.
Wagirah warga Panguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) mencoba mendekati lahannya. Ia berulang lagi menyampaikan kepada pemimpin kepolisian untuk memberhentikan begho beroperasi. Ia berteriak dengan menyatakan tanahnya tidak pernah menjual tanahnya, uang ganti rugi tidak pernah dan tidak ingin Wagirah terima. Sayangnya teriakan Wagirah tak digubris, ia justru disingkirkan. Tanaman cabainya dilahap begho dengan sekejap.
Wagirah melihat sendiri tak ada yang tersisa dari apa yang kini dipertahankan. Cabai yang ia rawat berbulan-bulan tumbang seketika. Merasa dirugikan Wagirah kembali mencoba menghalangi aktivitas alat berat. Demi lahan ia sampai menduduki alat penampungan begho (bucket), tak berselang lama, aparat kepolisian datang menghampirinya, ia diminta untuk pergi dari bucket, ia-pun diusir untuk kedua kalinya dari lahannya sendiri.
"Begho beraktivitas aku disingkirke ( disingkirkan- red)," ujar Wagirah sembari menangis kencang tak kuasa melihat lahannya rusak dalam sekejap.
Berulang kali Wagirah jelaskan bahwa lahannya tak pernah ia jual, namun tak pernah digubris. Teriakan Wagirah membuat polisi risau, mereka mengelilinginya agar Wagirah tidak mendekati begho yang terus mengobrak-abrik ladangnya.
Ada sekitar ratusan kepolisian membuat lingkaran kecil dengan saling mengandeng tangan polisi agar Wagirah tak lepas dari jeratannya.
“Aku nandur pirang tahun karo simbah-simbah ora didol kok (aku menanam berpuluh tahu, sama si mbah tidak dijual kok-red) siapa yg tanggung jawab? Hayo jawab," tanya Wagirah kepada Polisi Wanita yang mengelilinginya.
Ia berusaha menyingkirkan polisi dari hadapannya. Berulang kali ia berteriak agar bisa lepas dari lingkaran polisi wanita yang mengelilinginya. Namun tetap tak dihiraukan. Teriakan-demi teriakan untuk mempertahnkan lahan untuk seorang anak yang ia besarkan tak juga menjadi perhatian aparat kepolisian. Ia hanya bisa tersipu menangisi lahan yang sudah dirusak.
"Itu wasiat orang tuaku, minggir aku meh nang omah (minggir aku mau ke rumah-red)," pekiknya.
Ibu dengan dua anak itu masih saja menangis sekencang-kencangya. Tangisan itu tak pernah berhenti. Ia terus mencari jalan agar bisa lepas dari kawalan polisi namun sia-sia karena tak juga dilepas. Baru setelah begho selesai merusak lahannya, Wagirah dilepas. Tapi ada daya, semua sudah tak berbentuk. Cabai tak lagi sesegar saat Ia menyirami pagi itu.
"Minggir salahku apa? Aku ini arep nandur nggo anak putu (aku mau menanam untuk anak cucu-red) ," ujarnya kembali
Ia sendiri tidak menyangka akan ada pengrusakan lahan. Wagirah menyatakan tidak pernah ada pemberitahuan sebelumnya. Semua berlangsung dengan tiba-tiba. Dari hal itu, warga tidak sempat melakukan panen dari tanamannya. Semua hilang dengan sekejap mata.
“Gak ada pemberitahuan sama sekali, semua mendadak, kita gak tahu kalau begho rusak lahan,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca memikirkan nasibnya ke depan.
Kala Makam Terakhir Ikut Dirusak
Pengosongan tidak hanya menyasar lahan warga, namun makam-makam yang masih digunakan untuk berziarah juga ikut menjadi target pembersihan lahan. Warga Sidorejo yang menyadari hanya makam itu yang tersisa, mereka kemudian bergerak menuju makam. Di sana mereka berdoa, berharap makam yang masih digunakan untuk sanak keluarga tak dirusak.
Tangisan demi tangisan keluar, air mata jatuh di atas makam si Mbah- si Mbah mereka yang dulu telah banyak memberikan lahan untuk masa depan anak dan cucu mereka. Apa daya pembangunan bandara kemudian meluluh-lantahkan peninggalan si Mbah mereka. Tak ada yang tersisa kecuali rumah yang kini masih ditempati.
Melihat pergerakan warga, ratusan kepolisian begerak dengan cepat menuju makam, mereka mengelilingi warga yang sedang berdoa. Mereka terlihat menatap tegas warga. Semuanya seperti tak ada yang toleran. Demi pembangunan semua hilang, termasuk perasaan sesama manusia.
“Ya Allah anakku yang perempuan di kuburan masih gak? digaruk gak?,” ujar Ponijah berharap makam anaknya tak dirusak.
Tak berselang lama warga berdoa, alat berat bergerak mendekati makam, mencoba menghalau mereka tak sanggup.
Ponijah menuturkan jumlah personil kepolisian perbandingannya 1:50 tak kuat untuk menghalau. Kejadian itu berlangsung begitu cepat tak sampai hitungan jam. Semua rata dengan tanah.
“Sudah gak ada semua, sudah habis semua. Pohonnya tinggal belakang rumah ini, incarannya gak tahu kapan,” ujar Ponijah.
Teguh Purnomo selaku kuasa hukum warga PWPP-KP saat dihubungi melalui telepon mengatakan kepolisian telah mengulangi kesalahannya dalam proses pengosongan lahan. Ia tidak terima perlakuan polisi atas warga PWPP-KP.
"Saya kira ini kesalahan sekian kali, polisi harusnya mereka netral. Kalau kayak gini mereka mengulangi kesalahan,” kata Teguh.
Ia juga mengatakan PT. Angkasa Pura I telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serta pembohongan publik pasalnya dulu sempat ada keingin melibatkan Komnas HAM dalam proses pengosongan ternyata tak dilakukan pihak Angkasa Pura.
"Pengosongan katanya mau libatkan Komnas HAM ternyata gak ada. Itu pembohonan publik. Itu pelintiran Angkasa Pura," kata Teguh.
Sementara itu Sri Sultan Hamangkubuwono X selaku Gubernur saat dikonfirmasi terkait dengan adanya pengosongan lahan justru menyatakan jika tanah yang ditempati warga kini haknya sudah lepas. Ia sendiri meminta warga segera pindah karena sudah tidak ada waktu lagi untuk melakukan pembangunan.
“Hak atas tanahnya sudah lepas, mesti harus pindah wong mau dibangun kok, sudah tidak ada waktu lagi,” kata Sri Sultan saat menghadiri acara Syawalan bersama Walikota Jogja pada Jumat, (28/6/2018).
Tiga hari itu, semua menangis, lahan yang menjadi sumber ekonomi mereka telah diobrak-abrik demi sebuah pembangunan. Ratapan wajah para ibu-ibu dan 87 Kepala Keluarga yang masih menolak bandara terlihat sedih.
Air mata tak henti-hentinya keluar, mereka tak pernah menangis sekencang itu. Di tanah kelahiran mereka, mereka tak berdaya menghadapi ganasnya Pembangunan bandara NYIA.
*Abdus Somad, aktivis lingkungan dan penulis/ kontributor www.Konde.co di Yogyakarta
Post a Comment