Aborsi Akibat Perkosaan Tidak Boleh Dipidana
Poedjiati Tan- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Apakah perempuan yang melakukan aborsi, akibat perkosaan yang dialaminya bisa disebut telah melakukan tindakan pidana?
Jika korban perkosaan sampai dipidana, maka aparat hukum telah melakukan sikap yang tidak sensitif terhadap korban perkosaan, melanggengkan stigma, dan menutup mata terhadap keberadaan peraturan yang seharusnya melindungi korban.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mengkritisi kasus pemidanaan terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi, yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari, Jambi pada Kamis 19 Juli 2018 lalu. Keputusan tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi, terlebih korban tersebut masih dalam usia anak.
Sebelumnya, berdasarkan pemberitaan Jakarta Post pada tanggal 20 Juli 2018 dengan tajuk “Jambi Girl Imprisoned for Abortion After Being Raped by Brother” (Gadis Jambi dipenjara karena aborsi setelah diperkosa oleh sang kakak), WN seorang anak perempuan berusia 15 tahun menjadi korban perkosaan yang dilakukan oleh kakaknya sendiri hingga hamil. Anak yang merupakan korban perkosaan tersebut melakukan aborsi. Oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian pada Kamis 19 Juli 2018 diputuskan bersalah karena telah melakukan aborsi.
Jakarta Post melaporkan bahwa anak tersebut dijatuhi hukuman penjara 6 bulan dari tuntutan 5 tahun (dalam undang-undang) karena secara inkrah melanggar ketentuan Pasal 77 Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Pelindungan Anak. Jika benar yang terlaporkan oleh pemberitaan tersebut maka korban dianggap telah melakukan kerugian terhadap janin yang ada di kandungannya berdasarkan Pasal 76A Huruf a.
Kakak korban yang berumur 18 tahun, sebagai pelaku dijatuhi hukuman penjara 2 tahun dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Pelaku terbukti melakukan kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya melaui serangkaian tipu muslihat maupun kebohongan.
PKBI melihat bahwa hal ini menjadi sangat absurd karena korban tidak diperlakukan selayaknya definisi “anak” di dalam UU Perlindungan Anak yaitu “seseorang yang belum berusia 18 tahun”. Anak korban perkosaan seharusnya dapat terlindungi dengan keberadaan UU Perlindungan Anak, bukan malah dipidana melalui undang-undang tersebut.
Dr. Sarsanto Wibisono Sarwono, SpOG, Ketua Pengurus Nasional PKBI melihat bahwa kedudukan perempuan sebagai korban perkosaan haruslah menjadi salah satu pertimbangan untuk tidak diberlakukan pemidanaan.
Belum lagi jika korban perkosaan di sini adalah anak sebagaimana UU Perlindungan Anak menetapkan: anak adalah seseorang di bawah 18 tahun. Memidanakan korban tersebut berarti menempatkan perempuan dalam posisi kesakitan yang berlapis, yakni sebagai korban perkosaan dan perempuan dan anak di bawah umur yang dikriminalisasi.
“Hakim haruslah memikirkan mengenai konsensual seorang anak yang mengalami perkosaan dalam mengambil keputusan untuk menggugurkan kandungannya. Anak merupakan subyek hukum yang masih di dalam perlindungan orang tuanya. Selain itu faktor psikologis anak tersebut sebagai korban perkosaan juga haruslah menjadi pertimbangan pemaafan pidana.”
Di dalam Common Law System yang dianut oleh masyarakat Anglosaxon, hubungan antara orang dewasa dengan anak di bawah umur merupakan statutory rape. Posner dan Silbough (1996:44-64) mendefinisikan statutory rape sebagai hubungan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak di bawah umur (age of consent). Hubungan persetubuhan dengan anak di negara-negara dengan common law system diancam keras karena berkaitan dengan age of consent, yaitu batas usia tertentu yang dianggap kompeten ataupun tidak secara hukum untuk menyetujui suatu aktivitas seksual.
Indonesia melihat age of consent berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, di mana adanya usia minimal anak dalam perkawinan yaitu 16 tahun untuk perempuan.
Usia minimal anak dalam perkawinan tersebut merupakan ketentuan legal mengenai age of consent di Indonesia atas persetubuhan seseorang.
“Melihat kasus ini secara garis besar, maka segala bentuk kekerasan seksual termasuk perkosaan tidak dapat dibenarkan, apalagi perkosaan tersebut dilakukan terhadap anak yang secara nyata melanggar age of consent-nya. Putusan Pengadilan Negeri Muara Bulian adalah bentuk pelanggengan terhadap statutory rape.”
Statutory rape menurut PKBI tidak dapat dibenarkan karena berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan, akses, kepercayaan, dan eksploitasi kerentanan untuk menekan orang ke dalam seks yang tidak diinginkan demi kepentingan sendiri (Mackinnon, 2015: 45). Hakim seharusnya mempertimbangkan hukum yang progresif dengan melihat berbagai perspektif hukum. Hakim sebagai pemutus perkara seharusnya paham termiologi hukum di luar Indonesia dan mempertimbangkannya sebelum menjatuhkan hukuman kepada korban di bawah umur.
Selain itu jika melihat hukum positif di Indonesia, PKBI melihat, adanya conflict of norm dalam memutuskan perkara pidana ini. Putusan perkara ini sama sekali tidak mengindahkan Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara jelas melegalkan korban perkosaan untuk dapat melakukan aborsi. Pada Pasal 75 Ayat (2) b UU Kesehatan menyebutkan bahwa “setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban”.
Dengan kata lain putusan hakim yang mengkriminalisasi perempuan korban perkosaan tanpa mempertimbangkan kesehatan maupun statusnya sebagai seorang anak yang seharusnya masih dalam lindungan orang tua dan negara, adalah bentuk kelalaian pejabat publik dalam menangani suatu perkara.
“Hal ini terlihat dari sikap yang tidak sensitif terhadap korban perkosaan, melanggengkan stigma, dan menutup mata terhadap keberadaan peraturan lain yang melindungi korban. Dalam kasus ini, adanya tindakan victim blaming yang dilakukan secara tidak langsung oleh hakim dan masyarakat kepada korban perkosaan. Hal ini akan berdampak buruk pada tumbuh kembang anak dari sisi psikologis karena memunculkan stereotip dan bias gender yakni pandangan, sikap, atau perilaku yang menyalahkan atau menyudutkan korban (MA & MaPPI FHUI, 2018 : 26). Sikap menyalahkan korban berdampak sangat merugikan, karena korban akan kehilangan kepercayaan diri dan mempersalahkan diri sendiri,” ujar Dr. Sarsanto Wibisono Sarwono, SpOG.
Berdasarkan pada penjelasan serta bunyi pasal-pasal di atas, maka Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) merespon dan menegur keras agar kasus semacam ini tidak terjadi kembali dan menuntut kepada Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari, Jambi untuk membebaskan WN dari segala tuntutan hukum yang membelenggunya sebagai korban perkosaan, Mahkamah Agung untuk lebih serius mendorong hakim yang memperhatikan Peraturan MA No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, Para Hakim untuk memutus perkara dengan perspektif pada korban; memperkaya literasi, melakukan studi komparasi pengetahuan hukum dan berpegang pada Hak Asasi Manusia.
Selanjutnya menuntut Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk meminta jaminan atas keberlangsungan hukum yang tidak menciderai hak-hak anak maupun perempuan dengan tidak mentolerir segala bentuk kekerasan seksual, pemerintah untuk memberikan akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi secara komprehensif, termasuk akses layanan aborsi aman terhadap seluruh perempuan dan DPR untuk memperhatikan undang-undang lain secara holistik, baik vertikal maupun horizontal, serta mempertimbangkan dampak ke fisik dan mental dari korban.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Jakarta, Konde.co- Apakah perempuan yang melakukan aborsi, akibat perkosaan yang dialaminya bisa disebut telah melakukan tindakan pidana?
Jika korban perkosaan sampai dipidana, maka aparat hukum telah melakukan sikap yang tidak sensitif terhadap korban perkosaan, melanggengkan stigma, dan menutup mata terhadap keberadaan peraturan yang seharusnya melindungi korban.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mengkritisi kasus pemidanaan terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi, yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari, Jambi pada Kamis 19 Juli 2018 lalu. Keputusan tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi, terlebih korban tersebut masih dalam usia anak.
Sebelumnya, berdasarkan pemberitaan Jakarta Post pada tanggal 20 Juli 2018 dengan tajuk “Jambi Girl Imprisoned for Abortion After Being Raped by Brother” (Gadis Jambi dipenjara karena aborsi setelah diperkosa oleh sang kakak), WN seorang anak perempuan berusia 15 tahun menjadi korban perkosaan yang dilakukan oleh kakaknya sendiri hingga hamil. Anak yang merupakan korban perkosaan tersebut melakukan aborsi. Oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian pada Kamis 19 Juli 2018 diputuskan bersalah karena telah melakukan aborsi.
Jakarta Post melaporkan bahwa anak tersebut dijatuhi hukuman penjara 6 bulan dari tuntutan 5 tahun (dalam undang-undang) karena secara inkrah melanggar ketentuan Pasal 77 Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Pelindungan Anak. Jika benar yang terlaporkan oleh pemberitaan tersebut maka korban dianggap telah melakukan kerugian terhadap janin yang ada di kandungannya berdasarkan Pasal 76A Huruf a.
Kakak korban yang berumur 18 tahun, sebagai pelaku dijatuhi hukuman penjara 2 tahun dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Pelaku terbukti melakukan kekerasan ataupun ancaman kekerasan yang memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya melaui serangkaian tipu muslihat maupun kebohongan.
PKBI melihat bahwa hal ini menjadi sangat absurd karena korban tidak diperlakukan selayaknya definisi “anak” di dalam UU Perlindungan Anak yaitu “seseorang yang belum berusia 18 tahun”. Anak korban perkosaan seharusnya dapat terlindungi dengan keberadaan UU Perlindungan Anak, bukan malah dipidana melalui undang-undang tersebut.
Dr. Sarsanto Wibisono Sarwono, SpOG, Ketua Pengurus Nasional PKBI melihat bahwa kedudukan perempuan sebagai korban perkosaan haruslah menjadi salah satu pertimbangan untuk tidak diberlakukan pemidanaan.
Belum lagi jika korban perkosaan di sini adalah anak sebagaimana UU Perlindungan Anak menetapkan: anak adalah seseorang di bawah 18 tahun. Memidanakan korban tersebut berarti menempatkan perempuan dalam posisi kesakitan yang berlapis, yakni sebagai korban perkosaan dan perempuan dan anak di bawah umur yang dikriminalisasi.
“Hakim haruslah memikirkan mengenai konsensual seorang anak yang mengalami perkosaan dalam mengambil keputusan untuk menggugurkan kandungannya. Anak merupakan subyek hukum yang masih di dalam perlindungan orang tuanya. Selain itu faktor psikologis anak tersebut sebagai korban perkosaan juga haruslah menjadi pertimbangan pemaafan pidana.”
Di dalam Common Law System yang dianut oleh masyarakat Anglosaxon, hubungan antara orang dewasa dengan anak di bawah umur merupakan statutory rape. Posner dan Silbough (1996:44-64) mendefinisikan statutory rape sebagai hubungan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak di bawah umur (age of consent). Hubungan persetubuhan dengan anak di negara-negara dengan common law system diancam keras karena berkaitan dengan age of consent, yaitu batas usia tertentu yang dianggap kompeten ataupun tidak secara hukum untuk menyetujui suatu aktivitas seksual.
Indonesia melihat age of consent berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, di mana adanya usia minimal anak dalam perkawinan yaitu 16 tahun untuk perempuan.
Usia minimal anak dalam perkawinan tersebut merupakan ketentuan legal mengenai age of consent di Indonesia atas persetubuhan seseorang.
“Melihat kasus ini secara garis besar, maka segala bentuk kekerasan seksual termasuk perkosaan tidak dapat dibenarkan, apalagi perkosaan tersebut dilakukan terhadap anak yang secara nyata melanggar age of consent-nya. Putusan Pengadilan Negeri Muara Bulian adalah bentuk pelanggengan terhadap statutory rape.”
Statutory rape menurut PKBI tidak dapat dibenarkan karena berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan, akses, kepercayaan, dan eksploitasi kerentanan untuk menekan orang ke dalam seks yang tidak diinginkan demi kepentingan sendiri (Mackinnon, 2015: 45). Hakim seharusnya mempertimbangkan hukum yang progresif dengan melihat berbagai perspektif hukum. Hakim sebagai pemutus perkara seharusnya paham termiologi hukum di luar Indonesia dan mempertimbangkannya sebelum menjatuhkan hukuman kepada korban di bawah umur.
Selain itu jika melihat hukum positif di Indonesia, PKBI melihat, adanya conflict of norm dalam memutuskan perkara pidana ini. Putusan perkara ini sama sekali tidak mengindahkan Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara jelas melegalkan korban perkosaan untuk dapat melakukan aborsi. Pada Pasal 75 Ayat (2) b UU Kesehatan menyebutkan bahwa “setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban”.
Dengan kata lain putusan hakim yang mengkriminalisasi perempuan korban perkosaan tanpa mempertimbangkan kesehatan maupun statusnya sebagai seorang anak yang seharusnya masih dalam lindungan orang tua dan negara, adalah bentuk kelalaian pejabat publik dalam menangani suatu perkara.
“Hal ini terlihat dari sikap yang tidak sensitif terhadap korban perkosaan, melanggengkan stigma, dan menutup mata terhadap keberadaan peraturan lain yang melindungi korban. Dalam kasus ini, adanya tindakan victim blaming yang dilakukan secara tidak langsung oleh hakim dan masyarakat kepada korban perkosaan. Hal ini akan berdampak buruk pada tumbuh kembang anak dari sisi psikologis karena memunculkan stereotip dan bias gender yakni pandangan, sikap, atau perilaku yang menyalahkan atau menyudutkan korban (MA & MaPPI FHUI, 2018 : 26). Sikap menyalahkan korban berdampak sangat merugikan, karena korban akan kehilangan kepercayaan diri dan mempersalahkan diri sendiri,” ujar Dr. Sarsanto Wibisono Sarwono, SpOG.
Berdasarkan pada penjelasan serta bunyi pasal-pasal di atas, maka Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) merespon dan menegur keras agar kasus semacam ini tidak terjadi kembali dan menuntut kepada Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari, Jambi untuk membebaskan WN dari segala tuntutan hukum yang membelenggunya sebagai korban perkosaan, Mahkamah Agung untuk lebih serius mendorong hakim yang memperhatikan Peraturan MA No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, Para Hakim untuk memutus perkara dengan perspektif pada korban; memperkaya literasi, melakukan studi komparasi pengetahuan hukum dan berpegang pada Hak Asasi Manusia.
Selanjutnya menuntut Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk meminta jaminan atas keberlangsungan hukum yang tidak menciderai hak-hak anak maupun perempuan dengan tidak mentolerir segala bentuk kekerasan seksual, pemerintah untuk memberikan akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi secara komprehensif, termasuk akses layanan aborsi aman terhadap seluruh perempuan dan DPR untuk memperhatikan undang-undang lain secara holistik, baik vertikal maupun horizontal, serta mempertimbangkan dampak ke fisik dan mental dari korban.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Post a Comment