V-Day, Menari dan Bangkit Bersama Perempuan
Luviana- www.Konde.co
Hari ini kami menerima undangan dari Lini Zurlia. Lini Zurlia adalah salah satu pegiat One Billion Rising di Jakarta. Malam nanti, kami akan menari bersama para perempuan lainnya, masyarakat Jakarta di pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM), sebagaimana yang biasa dilakukan dalam aksi OBR. Aksi OBR malam ini juga akan diwarnai dengan membunyikan peluit: stop kekerasan terhadap perempuan.
V-Day yang biasa diperingati di hari valentine day 14 Februari merupakan aktivis gerakan global untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, yang dapat kita ikuti dengan menghadiri bersama 1 Milyar perempuan di dunia untuk mengakhiri kekerasan pada tanggal 14 Februari hari ini.
Gerakan V-Day berasal produksi dari The Vagina Monologues oleh Eve Ensler.Hari ini sebanyak satu miliar perempuan di seluruh dunia diundang untuk bangkit pada hari valentine untuk mengakhiri budaya pemerkosaan.
V-Day, Simbol Perlawanan Perempuan
Di Jakarta, Lini Zurlia, Dhyta Caturani dan para aktivis perempuan dan masyarakat umum yang tergabung dalam One Billion Rising (OBR) yang melakukannya. Sejak tahun 2013 diperingati tiap tanggal 14 Februari dengan menari bersama sebagai simbol perlawanan.
Gerakan One Billion Rising ingin mengingatkan kita bahwa terdapat 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia setiap harinya mengalami kekerasan baik dalam bentuk pelecehan, perkosaan, kekerasan fisik dan jenis kekerasan lainnya. One Billion Rising adalah representasi perlawanan dari setiap korban kekerasan dimanapun berada.
Tahun ini adalah kali ke-5 gerakan OBR ini diselenggarakan, dan Indonesia adalah salah satu Negara dari ratusan Negara lainnya yang terlibat dalam gerakan ini.
“Kali ini, mengikuti tema global ‘Bangkit dalam Solidaritas untuk Melawan Segala Bentuk Eksploitasi Terhadap Perempuan’ kami hadir kembali dan mengambil tema ‘Bangkit, Menari & Bangun Gerakan Interseksionalitas untuk Solidaritas bagi Perempuan,” kata Lini Zurlia.
#BunyikanTandaBahaya atas situasi dan kondisi kekerasan dan penindasan terhadap perempuan menjadi fokus tema OBR pada tahun ini.
“Di saat kami meyakini bahwa isu kekerasan fisik terhadap perempuan sangat penting untuk terus diangkat dan dilawan, kami juga menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan sangatlah multi-dimensi dan terdiri dari lapis-lapis yang seringkali sudah ternormalisasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, seperti penindasan terhadap buruh, terhadap PRT, buruh migran, diskriminasi berlapis dan kekerasan terhadap perempuan diffabel, terhadap masyarakat adat dan mereka yang berjuang melawan korporasi perusak ruang hidup mereka, trafficking terharap perempuan dan anak peremuan, stigma terhadap perempuan yang hidup dengan HIV/AIDS dan penolakan atas akses terhadap kesehatan, stigma dan kekerasan terhadap trans-perempuan dan masih banyak yang lain. Kita juga harus menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan memiliki faktor di luar gender dan seksualitas, seperti kelas, ras, kewarga negaraan, usia, strata sosial, disabilitas, agama. Setiap perempuan mengalami kekerasan dalam satu dan lain bentuk dan pada satu dan lain derajat. Namun lapisan identitas yang dimiliki perempuan akan menentukan pengalaman kekerasan yang berbeda-beda,” kata Lini Zurlia.
Wacana Ketubuhan Perempuan
Salah satu aktivis OBR lainnya, Dhyta Caturani dalam sebuah diskusi tentang interseksionalitas menyatakan bahwa wacana ketubuhan tidak bisa dibatasi hanya pada tubuh yang berdaging, bertulang dan berotot tapi juga harus dipandang lebih luas. Ia mencoba mengkategorikan ketubuhan dan penindasan dalam beberapa konsepsi sebagai upaya untuk mencakup segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam isu ketubuhan.
Kategori tersebut adalah (namun tak terbatas pada): bodies of movement, bodies of identity, bodies of gender & sexuality, economy of body, bodies of conflict and other minorities. Tentu saja konsepsi ini bisa diperluas lagi.
Gerakan-gerakan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan tidak pernah bekerja sendiri karena mereka juga saling keterhubungan satu sama lain, maka dari itu harus dilawan juga dengan cara bersama diantara mereka yang tidak bersepakat dengan kekerasan dan penindasan dalam bentuk apapun dengan cara membangun sisterhood yang nyata dan solid. Namun seperti apakah sisterhood yang dibutuhkan?
Sisterhood menurut Dhyta Caturani harusnya dimaknai sebagai sebuah solidaritas bukan hanya berdasarkan pada kesamaan dentitas sebagai perempuan yang mengalami opresi yang umum, melainkan sebagai sebuah solidaritas politis yang mengakui bahwa kekerasan dan penindasan yang dialami oleh perempuan berbeda satu sama lain sesuai dengan identitas berlapis yang ada pada masing-masing perempuan namun tetap menjadi tanggungjawab bersama untuk melawannya.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay.com)
Post a Comment