Bagaimana Nasib Media Komunitas Dengan Adanya Barcode Media?
Luviana – www.Konde.co
Jakarta, Konde.co – Dengan adanya barcode Dewan Pers yang dilaunching pada hari pers nasional pada Kamis, 9 Februari 2017 kemarin, bagaimana nasib media alternatif, media komunitas, pers mahasiwa yang memperjuangkan komunitas, masyarakat marjinal dan para perempuan? Akankah media komunitas yang selama ini banyak menyuarakan isu marjinal, kritis terhadap kebijakan negara, akan dianggap sebagai media yang tak kredibel?
Kamis, 9 Februari 2016 kemarin, di Ambon Dewan Pers melaunching barcode dewan pers. Barcode ini diberikan kepada media-media yang sudah terverifikasi Dewan pers. Syarat verifikasi tersebut antaralain bahwa media harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT), mempunyai modal minimal 50 juta rupiah, bisa menggaji pegawainya minimal selama 13 bulan dan mempunyai kantor. Jika sudah terverifikasi, maka media-media tersebut akan mendapatkan barcode dari dewan pers. Barcode sebagai identitas bahwa media tersebut kredidel dan terpercaya.
Pertanyaan yang banyak mengemuka adalah, mengapa barcode justru diberikan pada media-media televisi mainstream yang selama ini banyak digunakan partai politik pemiliknya untuk berkampanye?
Lalu bagaimana dengan nasib media komunitas dan media alternatif yang dikerjakan secara kolektif, dengan iuran kolektif? Bagaimana dengan media star up (rintisan) yang selama ini banyak bekerja secara virtual, tak punya kantor namun banyak menyuarakan suara marjinal?.
Dewan pers mengeluarkan barcode karena banyaknya hoax atau berita bohong. Sejumlah media alternatif dan kelompok masyarakat sipil menguatirkan, aturan ini hanya akan menguntungkan perusahaan besar yang berbentuk PT dan mematikan media komunitas. Aturan soal hoax harusnya diselesaikan di hilir, yaitu dengan melakukan pendidikan literasi masyarakat dan pendidikan kritis media, bukan membirokratisasikan kebijakan di hulunya.
Inilah keberatan-keberatan Serikat pekerja media, pers mahasiswa, pegiat pers alternatif, dan masyarakat pro demokrasi yang dipaparkan dalam konferensi pers di LBH Pers Jakarta pada Kamis, 9 Februari 2016 kemarin:
Media Komunitas dan Barcode Media
Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers pada dasarnya hanya mewajibkan perusahaan pers berbadan hukum Indonesia, namun Dewan Pers dalam mengeluarkan aturan verifikasi membatasi badan hukum tersebut hanya berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Selain itu, perusahaan yang dimaksud Dewan Pers harus memiliki modal paling sedikit Rp 50 juta. Kondisi ini jelas hanya menguntungkan media dengan modal jumbo dan merugikan media rintisan (startup media), media berbasis komunitas serta alternatif yang sedang bergeliat di Indonesia.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan mengarahkan pada terjadinya korporatisasi pers atau kondisi ketika hanya perusahaan bermodal jumbo saja yang diizinkan menjadi lembaga pers dan akhirnya memonopoli sumber informasi.
Damar Juniarto dari Safenet misalnya mengatakan justru saat ini merupakan kondisi yang baik, ada banyak media komunitas dan alternatif yang tumbuh yang kemudian bisa memberikan informasi yang mengimbangi media mainstream.
“Jadi tidak pada tempatnya jika dewan pers kemudian membatasi media komunitas dan alternatif untuk tumbuh, tidak terverifikasi dan dianggap tidak kredibel. Ada sejumlah peristiwa dimana media komunitas kemudian memberikan informasi detail yang tak kita dapatkan di media mainstream.”
Media komunitas dan alternatif selama ini bekerja secara kolektif, Hizkia Yosie Polimpung dari Indoprogress.com menyatakan bahwa kondisi ini menjadi tidak adil jika media yang bekerja secara kolektif seperti media alternatif dan media komunitas, bekerja untuk suara marjinal harus memenuhi nilai-nilai korporasi media mainstream.
“Karena ini sama saja mengajak media komunitas dan media alternatif untuk berpikir secara mainstream, memenuhi kebutuhan kapital dan memenuhi nilai-nilai korporasi media. Jelas bukan ini yang diperjuangkan media alternatif.”
Sedangkan Ryan Beben dari Forum Pers Mahasiswa Jakarta I(FPMJ) menyatakan bahwa selama ini pers mahasiwa juga bekerja untuk menjadi watchdog di kampus, sangat tidak adil jika pers mahasiswa dianggap tidak kredibel hanya karena tidak memenuhi syarat verifikasi.
Nasib Pekerja Media
Selain itu, ketua Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen, Sasmito Madrim mengatakan bahwa mekanisme verifikasi perusahaan pers juga dianggap perlu perbaikan karena tidak melibatkan unsur serikat pekerja. Padahal, dari 17 pasal pada Standar Perusahaan Pers, 6 pasal diantaranya sangat pro terhadap kepentingan pekerja media. Oleh karena itu, keterlibatan unsur serikat pekerja sangat penting dalam tim verifikator Dewan Pers untuk memastikan aspek kesejahteraan pada perusahaan pers tersebut dipenuhi dengan baik.
“Ada banyak persoalan yang terjadi pada kontributor dan koresponden di daerah, gaji yang kecil, tak ada fasilitas kesehatan, hanya dibayar perberita, semua ini merupakan problem media mainstream, namun dewan pers justru tidak menjadikan ini titik masuk dalam proses verifikasi,” ujar Sasmito Madrim.
Media Komunitas dan UU ITE
Hal lain yang perlu menjadi catatan penting dari kegaduhan dua bulan terakhir ini adalah mengenai efek samping yang terjadi dari proses verifikasi perusahaan pers. Apalagi proses verifikasi mulai gencar dijalankan hampir bersamaan dengan lahirnya Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang represif dan menjamurnya berita hoax yang berkaitan dengan memanasnya suhu politik nasional.
“Media online yang belum terverifikasi pada akhirnya berada dalam bayang-bayang ancaman tangan besi pemblokiran oleh Pemerintah lewat Undang-undang ITE. Kondisi ini jelas membahayakan kebebasan berekspresi pada umumnya dan kebebasan pers pada khususnya,” ujar Asep Komarudin dari LBH Pers
Asep Komarudin mengatakan bahwa efek samping lain yang tidak diantisipasi oleh Dewan Pers adalah adanya pembatasan kerja-kerja jurnalistik yang akan dialami media belum terverifikasi, pers mahasiswa, dan jurnalis warga. Dewan Pers memang tidak pernah mengeluarkan larangan atau pembatasan bagi media yang belum terverifikasi, namun minimnya sosialisasi membuat banyak pihak menerjemahkan hal ini secara liar. Misalnya, instansi pemerintah tidak akan melayani media yang belum diverifikasi.
Hoax di Media
Dalam beberapa kesempatan, Dewan Pers selalu menyatakan bahwa verifikasi media merupakan upaya untuk memerangi berita palsu atau hoax. Padahal persoalan hoax menurut Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sinikasi) hanya dapat dituntaskan dengan penguatan kapasitas masyarakat melalui literasi media. Masyarakat yang cerdas bermedia tidak akan mudah termakan desas-desus dan kabar bohong.
“Hoax memang merupakan masalah yang serius, namun penanganannya tidak boleh melalui birokrasi. Tidak boleh ada lembaga birokratis apapun yang bisa menentukan kebenaran sebuah konten karena akan rentan digunakan penguasa untuk membungkam kritik dengan dalih hoax, ujar Ikhsan Raharjo dari Sindikasi.
Menurut Ikhsan Raharjo, berita hoax memang penumpang gelap dari kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dan tentunya juga sebagai musuh bersama yang harus diatasi. Namun, mengarahkan publik bahwa media mainstream sebagai sumber kebenaran informasi adalah sikap yang membahayakan demokrasi dan cenderung diskriminatif. Padahal, bukan tidak mungkin, melalui media mainstream itulah penguasa menyelundupkan kepentingan hegemoninya.
Oleh karena itu, sejumlah organisasi antaralain SINDIKASI ( Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi), FSPM (Federasi Serikat Pekerja Media) Independen, LBH Pers, APPI (Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia), Indoprogress.com, Matinyala.com, Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), Islam Bergerak, ICT Watch, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression), Koperasi Riset Purusha, SuaraPapua.com, Remotivi, Berdikarionline.com, Gema Demokrasi, SelamatkanBumi.com, KabarBuruh.com, Konde.co dan Media Rakyat Baru menyatakan akan berkomitmen tunduk dan patuh pada Kode Etik Jurnalistik dalam menjalankan kerja jurnalistik dan mendesak Dewan Pers mengakomodir badan hukum selain PT sebagai perusahaan pers seperti koperasi, yayasan, dan perkumpulan.
Selain itu juga meminta Dewan Pers memperluas pemangku kepentingannya dengan memasukkan organisasi serikat pekerja media, pegiat media komunitas, alternatif, dan pers mahasiswa. Meminta Dewan Pers agar melibatkan organisasi serikat pekerja dalam proses verifikasi data perusahaan pers khususnya pada syarat mengenai ketenagakerjaan.
Hal lain, mendesak Dewan Pers menjamin perlindungan terhadap kebebasan pers bagi media yang belum diverifikasi selama bekerja sesuai Kode Etik Jurnalistik, mendorong Dewan Pers membuat kesepakatan bersama untuk melindungi pers mahasiswa, menolak Undang-undang ITE karena anti demokrasi dan memuat pasal-pasal duplikasi tindak pidana yang sudah diatur dalam KUHP dan menagih peran negara dalam meningkatkan literasi media dan akses informasi bagi semua warga negara, mengimbau semua media bekerja profesional sesuai Kode Etik Jurnalistik dan tidak menyalahgunakan kebebasan pers untuk tindak kejahatan seperti memeras dan menyebarkan ujaran kebencian.
Post a Comment