Header Ads

Terpapar video kekerasan menempatkan jurnalis pada peningkatan risiko stres pascatrauma


File 20181029 76408 ukgns3.jpg?ixlib=rb 1.1

Hanya sedikit media yang menyediakan layanan penyembuhan trauma bagi jurnalisnya.
Shutterstock



Doug Specht, University of Westminster

Ruang redaksi seluruh di Inggris mendapati sumber daya mereka semakin berkurang. Kurangnya jumlah jurnalis dan anggaran terbatas berarti banyak editor sekarang mengandalkan staf mereka untuk menggunakan lebih banyak informasi dari sumber digital–seperti media sosial.


Tapi karena lebih banyak pekerjaan jurnalisme bergantung pada–atau setidaknya menggabungkan–konten yang berpotensi kekerasan atau berbahaya yang dihasilkan pengguna, risiko gangguan stres pascatrauma (PTSD) di kalangan jurnalis telah meningkat. Hal ini dapat menyebabkan karier yang singkat, tidak menyenangkan dan, dalam kasus yang parah, risiko kesehatan mental jangka panjang


PTSD lebih sering dikaitkan dengan situasi pertempuran atau peliputan perang, tapi siapa pun dapat menjadi stres pascatrauma setelah terlibat, atau menyaksikan peristiwa traumatis. Bahkan hal ini dapat terjadi ketika peristiwa traumatis disaksikan melalui media sosial.


Penelitian terbaru menunjukkan bahwa baik universitas di Inggris, maupun di ruang redaksi, tidak cukup mempersiapkan siswa atau staf mereka untuk potensi risiko ini. Mereka juga tidak memberitahu bagaimana cara mencari dukungan ketika dihadapkan dengan gejala PTSD. Penelitian yang meneliti 63 mata kuliah terkait jurnalisme dari 61 universitas di Inggris menemukan bahwa banyak program tidak mengajarkan siswa tentang risiko PTSD dalam pekerjaan ini.


Organisasi nirlaba di Inggris yang bergerak di kesehatan mental Mind, sebelumnya telah mencatat bahwa newsroom adalah tempat kerja yang semakin bergerak dengan tingkat stres yang tinggi karena pengurangan staf, tenggat waktu yang ketat, jam kerja yang panjang, dan pola pergantian pekerja yang tidak menentu. Lembaga amal ini melaporkan bahwa bekerja sendirian dan kurangnya relasi dengan rekan kerja paling sering menjadi penyebab stres. Tapi ada penelitian bahwa konten kekerasan yang diproduksi pengguna sosial media–seperti video–juga menimbulkan risiko tambahan bagi jurnalis.


Efek dari bekerja dengan materi yang mengganggu ini, bisa sama seperti pengalaman langsung dalam perang atau meliput tentang krisis kemanusiaan. Jenni Regan, dari Mind, menjelaskan:


Terdapat reporter peliput pengadilan dan kriminalitas bertugas meliput kejahatan yang mengerikan atau para produser di ruang berita harus melihat selama berjam-jam rekaman yang mengganggu yang melaporkan tanda-tanda trauma sekunder.


Banyak organisasi media sekarang memiliki sistem untuk mendukung mereka yang kembali dari situasi zona perang, tapi masih ada orang yang mungkin mengalami trauma ini dengan sedikit atau tanpa dukungan.


Meskipun penelitian menemukan bahwa banyak dosen jurnalistik ingin lebih fokus mengajarkan risiko psikologis yang menimpa pada jurnalis, sejumlah faktor kelembagaan menyulitkan hal ini. Kurangnya pelatihan dan waktu, serta kekhawatiran atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya dan sumber daya yang tidak mencukupi disebutkan sebagai alasan mengapa risiko ini tidak tertangani saat ini. Hal ini menyebabkan kurang dari 1% dari program mata kuliah di Inggris menyertakan informasi tentang trauma atau PTSD.


Hasil studi mengungkapkan kekhawatiran atas persiapan mahasiswa untuk pekerjaan semacam ini dan juga mencatat bahwa sebagian besar jurnalis tidak diberikan pelatihan atau dukungan kerja yang memadai. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa universitas sering percaya bahwa para siswa akan menerima pelatihan yang memadai di tempat kerja, sementara para atasan berharap para lulusan telah mempelajari topik-topik soal trauma.


Konten grafis


Sudah jelas bahwa kesadaran yang lebih besar dari potensi risiko bekerja dengan konten online berbahaya diperlukan baik di universitas maupun di ruang redaksi. Dan staf redaksi dan mahasiswa jurnalistik harus lebih sadar akan implikasi yang lebih luas dari melihat konten grafis sebagai bagian dari pekerjaan mereka.


Penyediaan kesehatan mental juga harus tersedia bagi jurnalis, dan pelatihan harus disediakan bagi mereka yang bekerja dari jarak jauh - seperti halnya bagi koresponden perang.





Para jurnalis menghadapi trauma psikologi dari proses produksi berita bahkan ketika mereka berjarak dari adegan insiden kekerasan.
shutterstock



Risiko dan tuntutan ditempati jurnalis harus menjadi bagian inti dari pelatihan. Dan organisasi kantor berita juga harus menyediakan dukungan yang memadai untuk para staf sebelum, selama, dan setelah bekerja dengan jenis konten ini. Organisasi amal Mind menyarankan organisasi media dapat menawarkan sistem pertemanan bagi para jurnalis untuk berbagi pengalaman mereka. Hal ini akan membantu mendorong lingkungan kerja yang terbuka dan jujur di sekitar kesehatan mental mereka.


Ketika sumber daya menjadi diperluas di universitas dan ruang redaksi, sangat penting bahwa kesehatan mental jurnalis tidak diabaikan. Sebaliknya, pelatihan tentang potensi risiko dari trauma yang seolah mengalami sendiri dari konten online harus tersedia di seluruh tahapan karir jurnalis dari universitas hingga ruang redaksi, dan seterusnya.





Baca juga:
Online trolls mustn't be allowed to intimidate journalists





Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Gracesillya FebrianiThe Conversation


Doug Specht, Senior Lecturer in Media and Communications, University of Westminster


Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.