Kekerasan Berbasis Gender pada Rantai Pasokan Garmen di Asia
Jakarta, Konde.co- Koalisi global serikat pekerja yang terdiri dari sejumlah organisasi pembela hak pekerja dan HAM, diantaranya Asia Floor Wage Alliance (AFWA), CENTRAL Cambodia, Global Labor Justice, Sedane Labour Resource Centre (LIPS) Indonesia, dan Society for Labour and Development (SLD) India, akhir Mei 2018 lalu mempublikasikan 2 laporan penelitian penting tentang kekerasan berbasis gender yang terjadi pada tingkat pabrik di rantai pasokan garmen H&M dan GAP di Asia.
Koalisi ini mendesak H&M dan GAP untuk segera melakukan tindakan untuk mengakhiri kekerasan dan pelecehan yang dialami pekerja garmen perempuan setiap hari.
Penelitian terbaru ini mencatat terjadinya pelecehan seksual dan kekerasan seperti kekerasan fisik, kekerasan verbal, koersi, ancaman dan pembalasan dan pembatasan kemerdekaan secara rutin, termasuk di dalamnya adalah lembur paksa.
Penelitian ini menemukan bahwa kekerasan berbasis gender di rantai pasokan H&M dan GAP merupakan dampak langsung dari cara berbisnis para pemilik merek/ brand.
Laporan H&M dan GAP merupakan hasil investigasi kekerasan berbasis gender di pabrik-pabrik garmen pemasok H&M dan GAP yang dilakukan pada Januari 2018 hingga Mei 2018 di 9 pabrik di 5 negara di Asia yaitu di Dhaka, Bangladesh; Phnom Penh, Kamboja; Jawa Barat dan Jakarta Utara, Indonesia; Bangalore, Gurugram (Gurgaon), dan Tiruppur, India; dan Biyagama, Gampaha District and Vavuniya District, Northern Province, Sri Lanka.
Untuk mengkontekstualisasikan laporan ini terkait faktor-faktor risiko yang terdapat pada industri garmen, laporan ini meninjau kembali temuan-temuan penelitian Asia Floor Wage tahun 2016 yang mendokumentasikan pelanggaran hak di rantai pasokan H&M dan GAP; dan temuan-temuan pada pengadilan rakyat di lima negara yang diselenggarakan oleh Asia Floor Wage mengenai kondisi kerja di jaringan produksi garmen global di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Setelah inisiatif penting dari serikat-serikat pekerja ini, International Labour Organisation (ILO) kemudian memulai sidang untuk menetapkan standar internasional untuk mengakhiri kekerasan berbasis gender.
Para pimpinan serikat pekerja dari seluruh dunia bersama dengan pemerintah dan bisnis bertemu untuk mendiskusikan sebuah kesempatan yang bersejarah untuk menetapkan standar global yang memastikan perlindungan perempuan di berbagai sektor.
Laporan ini bertujuan untuk memastikan pengalaman dan rekomendasi para pekerja perempuan yang dibayar murah dan sektor disuarakan agar menjadi masukan terbangunnya kerangka kerja yang kokoh untuk penghapusan kekerasan berbasis gender di tempat.
Berdasarkan analisis mengenai bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender dan faktor-faktor risiko yang terkait dengan kekerasan berbasis gender, laporan ini memberikan rekomendasi konkrit untuk menghapuskan kekerasan berbasis gender dan pelecehan di tempat kerja.
Di India, pekerja perempuan di pabrik pemasok H&M di Bangalore, Karnataka, India melaporkan kekerasan fisik terkait dengan tekanan untuk mencapai target produksi. Seorang pekerja, Radhika, menjelaskan dirinya dilempar ke lantai dan dipukuli, termasuk pukulan pada dadanya:
Seorang pekerja perempuan di sebuah pabrik pemasok H&M di Srilanka menceritakan bagaimana dia mangalami aksi balas dendam karena menolak sentuhan fisik yang tidak diinginkannya dari operator mesin yang bertanggung jawab untuk memperbaiki mesin jahit di ruang produksi:
Bila perempuan-perempuan memarahi para operator mesin karena menyentuh atau meraba mereka, mereka akan membalas. Kadang mereka memberikan mesin yang tidak bekerja dengan baik. Kemudian, mereka tidak akan datang untuk memperbaikinya hingga lama sekali. Setelah itu, supervisor akan memarahi pekerja karena tidak mencapai target.
Di pabrik pemasok GAP di Indonesia, kegagalan mencapai target produksi tidak hanya mengakibatkan kekerasan verbal tetapi juga intimidasi dan ancaman PHK. Seorang perempuan menceritakan teriakan dan makian harian dari supervisornya agar dia mencapai target produksi:
Jika kamu tidak mencapai target, semua pekerja di ruang produksi dapat mendengarkan teriakan:
“Dasar bodoh! Ga bisa kerja?”
“Kalau ga niat kerja, pulang saja sana!”
“Awas, kamu! Kontrak mu ga akan diperpanjang kalau ga bisa kerja.”
“Kamu ga perlu datang lagi besok kalau kamu ga bisa melakukan pekerjaan mu!”
Mereka juga melempar material. Mereka menendang kursi kita. Mereka tidak melakukan kekerasan fisik karena bisa meninggalkan bekas yang dapat digunakan sebagai bukti di kepolisian, tetapi semuanya itu bikin stress.
Pekerja perempuan di pabrik pemasok GAP di Biyagama, Distrik Gampaha, Sri Lanka juga melaporkan bekerja hingga larut malam dan berisiko mengalami pelecehan dan perampokan dalam perjalan pulang. Seorang pekerja menceritakan: Supervisor meminta kita bekerja hingga malam hari tetapi kita tidak disediakan transportasi untuk pulang ke rumah. Orang-orang di pabrik memanfaatkan situasi ini. Kami dilecehkan para laki-laki yang menunggu di luar gerbang pabrik pada malam hari, terutama para perempuan muda. Seorang teman saya dirampok. Mereka mengambil semua perhiasan yang dia gunakan.
Anannya Bhattacharjee, Koordinator Internasional AFWA menjelaskan, “Riset dan pengalaman bertahun-tahun memberikan banyak bukti bahwa inisiatif tanggung jawab sosial yang bersifat sukarela mengaburkan pola pelanggaran hak pekerja di sepanjang rantai pasokan global. Yang mendapatkan keuntungan adalah perusahaan-perusahaan audit bernilai jutaan dolar yang telah mengecewakan pekerja, pengusaha dan konsumen. Tanggung jawab perusahaan mensyaratkan para pemilik merek termasuk H&M dan GAP dan para pemasok untuk berunding dan menyepakati perjanjian bersama yang mengikat dan dipatuhi dengan serikat pekerja garmen di negara-negara produsen.”
“Pekerja perempuan dan organisasi pekerja mereka bersatu lintas batas menuntut kondisi kerja yang bebas dari kekerasan berbasis gender, mendapatkan upah layak, dan mempromosikan inisiatif dan kepemimpinan perempuan pada semua level,” ungkap Jennifer (JJ) Rosenbaum, Direktur Global Labor Justice Amerika Serikat.
Perusahaan multinasional memperluas model rantai pasokan mereka di banyak sektor. Tetapi, bukan hanya perusahaan saja yang menjadi global. Gerakan buruh, perempuan, migran dan lainnya membangun jaringan global menuntut adanya perubahan sistem yang mengandalkan upah murah dan kekerasan berbasis gender untuk mengantarkan fast-fashion ke AS dan Eropa dengan mengorbankan kesejahteraan pekerja garmen perempuan dan keluarga mereka.
Tola Meun, Direktur Eksekutif CENTRAL, organisasi pekerja di Kamboja menerangkan bahwa kekerasan yang terdokumentasikan dalam laporan ini merupakan kenyataan sehari-hari, “kekerasan berbasis gender merupakan pengalaman harian bagi pekerja garmen perempuan yang dituntut untuk mencapai target produksi yang tidak masuk akal di rantai pasokan H&M dan GAP. Sebagian besar kasus-kasus ini tidak dilapokan karena mereka takut akan balas dendam di tempat kerja, seperti target produksinya dinaikkan semakin tinggi atau dipecat.”
Syarif Arifin, Direktur Eksekutif Lembaga Informasi Perburuhan Sedane mengungkapkan bahwa industri garmen bergantung pada upah murah dan pasar tenaga kerja fleksible untuk menggenjot produksi dan memaksimalkan keuntungan. Pekerja perempuan harus berkerja dengan jam kerja panjang untuk mencapai target produksi yang tidak masuk akal demi upah yang tidak mencukupi buat kebutuhan keluarga. “Sistem kerja kontrak membuat para pekerja garmen perempuan harus bekerja tanpa jaminan kepastian kerja, dan kadang mereka harus membayar sejumlah uang untuk mendapatkan pekerjaan. Relokasi produksi digunakan untuk mengancam pekerja agar tidak protes dan juga untuk memberangus serikat” tambah Syarif.
Temuan-temuan penelitian ini memperlihatkan bahwa pekerja perempuan memerlukan serikat pekerja yang kuat dan mandiri untuk merespon kekerasan berbasis gender dan ancaman dan balas dendam yang menghalangi banyak perempuan untuk berani tampil melaporkan pengalaman kekerasan dan pelecehan yang dialaminya,” jelas Emaleia Yanti Siahaan, Sekretaris Jenderal GSBI.
“Pekerja perempuan menginginkan adanya standar internasional mengenai penghapusan kekerasan berbasis gender-dan kita juga menginginkan adanya standar utama yang melindungi dan menjamin pelaksanaan kebebasan berserikat dan perundingan bersama.”
Sebagai respon terhadap laporan ini, Komite Kepemimpinan Perempuan AFWA mendesak H&M dan GAP untuk segera mengambil tiga tindakan: yaitu secara terbuka menyatakan dukungan dan komitmen untuk berperan aktif menjalankan Konvensi dan Rekomendasi ILO mengenai Kekerasan Berbasis Gender dan rekomendasi AFWA dan mitra-mitranya
Lalu menghadiri pertemuan-pertemuan regional Asia yang diselenggarakan oleh Komite Kepemimpinan Perempuan Asia Floor Wage tiga bulan lagi untuk mendiskusikan mengenai temuan-temuan di rantai pasokan dan langkah-langkah berikutnya. Lalu secara proaktif bekerja sama dengan Asia Floor Wage Alliance untuk melakukan proyek uji coba pembentukan komite perempuan di pabrik untuk menghapuskan kekerasan dan diskriminasi berbasis gender di pabrik-pabrik pemasok.
Global Labor Justice (GLJ) adalah organisasi jaringan yang bermarkas di Amerika Serikat yang mendukung kerjasama lintas negara antar pekerja dan organisasi migran untuk memperluas hak pekerja dan bentuk-bentuk baru perundingan bersama pada rantai pasokan global dan migrasi tenaga kerja internasional.
Asia Floor Wage Alliance (AFWA) dibentuk pada 2006 yang terdiri dari 76 organisasi, meliputi serikat pekerja industri gramen, NGO, kelompok konsumen dan lembaga penelitian dari 17 negara di Asia, Eropa dan Amerika Utara.
CENTRAL (The Center for Alliance of Labor & Human Rights) adalah sebuah NGO di Kamboja. Organisasi ini melakukan kegiatan penguatan kepada pekerja di Kamboja untuk menuntut transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah mengenai hak pekerja dan hak asasi manusia melalui bantuan hukum dan cara-cara lainnya yang tepat.
Sedane Labour Resource Centre/Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) adalah organisasi non-pemerintah yang melakukan kajian perburuhan. LIPS bekerja untuk memperkuat gerakan buruh dengan mendokumentasikan pengetahuan melalui penelitian partisipatif dan mengembangkan metode pendidikan popular di kelompok pekerja dan serikat.
Society for Labour and Development (SLD) adalah organisasi pembela hak pekerja di Delhi. SLD mempromosikan pembangunan berkeadilan melalui advokasi kesejahteraan sosial dan ekonomi pekerja, dengan perhatian khusus pada hak perempuan dan migran dan kelompok terpinggirkan lainnya. SLD bekerja di wilayah ibukota, Haryana, Uttar, Pradesh, Bihar, and Jharkhand.
(Foto/ Ilustrasi: Shutterstock)
(Tulisan ini disadur dari www.buruh.co, atas kerjasama www.buruh.co dan www.konde.co)
Post a Comment