Surat Terbuka Kepada Menteri Agama: Praktek Perkawinan Anak dan Diskriminasi Karena Penerbitan Kartu Nikah Digital
Anak-anak, khususnya anak perempuan yang menjadi korban praktek perkawinan anak, semakin tidak terlindungi, dari praktek penipuan perkawinan dengan adanya penerbitan kartu nikah digital.
Poedjiati Tan- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- November 2018 lalu, pemerintah menerbitkan kartu nikah digital, yaitu penerbitan kartu nikah melalui perekaman data perkawinan secara digital berbasis web dalam Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH).
Tujuan dari digitalisasi ini yaitu ingin mengintegrasikan layanan administrasi perkawinan dengan administrasi kependudukan yaitu Aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Kementerian Dalam Negeri, dan aplikasi Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) Online (SIMPONI) Kementerian Keuangan.
Integrasi sistem informasi pernikahan dengan sistem kependudukan awalnya diharapkan dapat mengurangi atau bahkan menghapuskan adanya praktek penipuan perkawinan, karena setiap orang dapat melakukan pemeriksaan apakah pihak yang akan melakukan perkawinan dengan dirinya telah terikat perkawinan dengan pihak lain, atau tidak. Sehingga kasus-kasus seorang laki-laki mengaku lajang dan melangsungkan pernikahan dengan beberapa perempuan di berbagai tempat berbeda tidak sesuai prosedur, secara berangsur dapat dihentikan.
Yang kedua, tujuan lainnya yaitu dapat meminimalisir kebocoran penerimaan negara, karena pelaporan yang tidak akurat atau karena adanya tindak kecurangan dalam penyetoran biaya pernikahan ke dalam kas negara.
Sedangkan tujuan penerbitan kartu nikah, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Agama adalah agar lebih praktis, ringkas, dapat dimasukkan ke dalam dompet. Satu lagi, kartu nikah juga tidak rusak, karena terkena air atau sobek.
Melihat tujuan dan kemanfaatannya, gagasan digitalisasi Sistem administrasi Pernikahan ini, layak diapresiasi.
Namun digitalisasi sistem administrasi pernikahan ini memiliki beberapa titik rawan, antara lain: Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya menyebutkan bahwa ketidakakuratan data Kependudukan dalam Aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), terutama pada penduduk yang memiliki kesamaan nama dan tanggal lahir. Kasus ketidakcocokan nama penduduk dalam SIAK dan nama Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu, merupakan salah satu contoh bahwa potensi kekeliruan atau ketidakakuratan data, dapat merugikan penduduk untuk menikmati haknya.
Anak-anak, khususnya anak perempuan yang menjadi korban praktek perkawinan anak, semakin tidak terlindungi, dari praktek penipuan perkawinan, karena anak-anak ini belum memiliki KTP-elektronik.
Peraturan tentang kependudukan mengatur bahwa Anak yang belum berusia 17 tahun dan telah melangsungkan perkawinan, diwajibkan memiliki KTP paling lambat 14 hari setelah melangsungkan perkawinan. Faktanya, setelah batas waktu kewajiban mengurus KTP tersebut berakhir, masih banyak anak perempuan di bawah 17 tahun yang berstatus kawin, tidak memiliki KTP.
Keterbatasan sumber daya, terutama keterbatasan sumber daya manusia untuk memasukkan data dan mengoperasikan perangkat Teknologi informasi serta keterbatasan Perangkat Teknologi informasi dan jaringan internet, merupakan rintangan yang harus diperhitungkan dan dicarikan solusinya secara tepat, agar tidak terulang sebagaimana kasus KTP elektronik.
Potensi Diskriminasi
Adanya Potensi diskriminasi dalam penataan SIMKAH juga dikuatirkan KPI bisa terjadi. Sejak diluncurkannya Kartu Nikah dan SIMKAH, Kementerian Agama hanya menyebutkan keterkaitan Kartu Nikah dan SIMKAH dengan Kantor Urusan Agama (KUA), yaitu perkawinan yang dilakukan secara Islam dan tidak membahas SIMKAH yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan lain.
Sehingga belum ada kejelasan, apakah digitalisasi SIMKAH ini berlaku untuk semua agama dan kepercayaan, atau hanya berlaku bagi yang beragama Islam.
Jika layanan ini hanya berlaku bagi yang beragama Islam, maka hal ini berarti negara melakukan diskriminasi terhadap pernikahan yang dilakukan dengan cara selain agama Islam.
Perkawinan Anak
Lebih dari itu, KPI menyebutkan dalam pernyataan sikapnya bahwa digitalisasi sistem Informasi manajemen Nikah (SIMKAH) belum menjawab persoalan krusial terkait perkawinan anak.
Kementerian Agama seharusnya memperkuat peran KUA sebagai lembaga yang bertugas menikahkan dan mencatatkan perkawinan. Pengalaman petugas KUA di 5 Kabupaten (Bogor, Sukabumi, Cirebon, Indramayu, Bandung) di Jawa Barat menunjukkan bahwa selama ini tidak ada perlindungan hukum yang cukup kuat untuk mereka dalam pencegahan perkawinan anak. Selayaknya Kementerian Agama mengutamakan kebijakan yang lebih strategis untuk mengatasi pencegahan perkawinan anak di Indonesia.
Patokan kebijakan yang selama ini digunakan para petugas KUA masih kepada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Padahal usia 16 tahun, adalah usia yang belum cukup matang untuk menjalani pernikahan. KUA juga sering menjadi sasaran kemarahan masyarakat.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Post a Comment