Header Ads

Kapan DPR akan Mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?


Jika anda mengalami pelecehan seksual di jalan, dengan adanya Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan Seksual, maka kasus yang umumnya dialami banyak perempuan ini, bisa diurus kasus hukumnya. Begitu juga ketika anda mendapatkan kekerasan seksual di jalan menuju pulang ke rumah, di tempat perempuan bekerja, atau di tempat publik dimana banyak perempuan sering mendapat pelecehan dan kekerasan seksual. Dengan adanya UU ini, maka para perempuan akan bisa menuntaskan kasusnya. Tidak hanya itu, para pelaku juga akan jera untuk melakukan karena akan dijerat secara hukum. 

Melly Setyawati- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Tahun ini merupakan tahun keempat perjuangan masyarakat sipil bersama Komnas Perempuan mendesakkan ke DPR RI agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS)

Seberapa pentingkah RUU ini agar segera disahkan menjadi undang-undang? Sekelompok aktivis perempuan dari jaringan organisasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menyatakan komentar dan dukungannya.

Valentina Sagala dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan dalam konferensi pers kampanye 16 hari anti kekerasan di Jakarta pada 23 November 2018 lalu menyatakan bahwa sejauh ini  upaya pencegahan dan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan.  Belum ada payung hukum yang mengatur secara komprehensif mulai dari bentuk-bentuk kekerasan seksual yang beragam.

Sedikitnya ada 9 jenis kekerasan seksual  yang akan diatur dalam RUU,  upaya pencegahannya , hingga  penanganan yang terintegrasi  dalam satu pintu (one stop crisis centre) termasuk pemulihan korban .

Begitupun hukum acara yang bertumpu pada KUHAP masih mendiskualifikasi pengalaman perempuan korban. Dalam proses hukum dari kasus kekerasan seksual yang berhasil dilaporkan , kecenderungan yang terjadi, perempuan korban mengalami reviktimisasi dan hak-hak korban seringkali diabaikan.

“Tidak ada ganti rugi dan  pemulihan yang diberikan, sementara stigmatisasi terus berjalan yang menimpa korban dan bahkan keluarganya.” 

Rena Herdiyani dari Kalyanamitra dan Cedaw Working Group Initiatives menyatakan bahwa Kekerasan seksual yang menimpa perempuan/anak perempuan pada dasarnya merupakan bentuk diskriminasi berbasis gender yang harus segera dihapuskan sesuai dengan amanat konstitusi maupun UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Dalam pasal  2 CEDAW  mewajibkan negara-negara peserta ratifikasi untuk membuat peraturan perundang-undangan yang tepat guna menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, praktek dan kebiasaan yang diskriminatif,  termasuk dalam hal ini kekerasan terhadap perempuan”.

Salah satu UU yang sangat dibutuhkan  saat ini adalah UU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang telah didorong oleh masyarakat sipil  masuk dalam agenda prolegnas  di DPR RI sejak 2014.

DPR bahkan telah menjadikan RUU tersebut sebagai RUU inisitif DPR. Namun sayangnya, pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan seksual  di  Panja Komisi VIII DPR, sejak di tetapkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Februari 2017. Namun  sampai hari ini  belum mengalami kemajuan berarti sehingga   kembali dijadualkan pada Prolegnas 2019.

“Selain itu proses yang sejauh ini terjadi  belum mendengarkan secara sungguh-sungguh pengalaman  korban.  Sudah hampir dua tahun berjalan, Panitia Kerja (Panja) RUU P-KS  Komisi VIII DPR masih berkutat  menggelar RDPU yang itupun baru berlangsung sebanyak  lima kali.” 

Sementara dari komposisi  para pakar dan pihak-pihak yang dilibatkan dalam RDPU masih didominasi oleh kelompok yang tidak mendukung dan tidak memiliki perspektif serta keberpihakan pada korban kekerasan seksual. 

Susi Handayani dari Forum Pengada Layanan menyatakan bahwa urgensi  RUU P-KS sebagai sebuah terobosan hukum yang dibutuhkan dalam rangka perlindungan dan penanggulangan  dari kekerasan seksual belum dipahami sepenuhnya.

“Saat ini masyarakat menuntut agar DPR segera membahas dan mengesahkan RUU P-KS, karena kehadiran UU P-KS  sangat dibutuhkan masyarakat khususnya  kelompok korban,  yakni perempuan dan anak. Pembahasan RUU P-KS juga hendaknya mempertimbangkan suara dan masukan dari kelompok korban dan pendamping korban serta pihak-pihak yang telah bekerja dan memahami permasalahan terkait kekerasan seksual, sehingga UU yang kelak akan dihasilkan benar-benar sesuai dengan yang diharapkan, mencerminkan perspektif korban.”

Yuda Irlang ketua Maju Perempuan Indonesia (MPI) juga menekankan agar pemerintah dan DPR memberikan perhatian yang memadai  terhadap pembahasan RUU P-KS dan mampu menangkap suasana kebatinan dari masyarakat terutama para penyintas kekerasan seksual.

Mempertimbangkan situasi diatas terkait kepentingan untuk segera dibahas dan disahkan RUU P-KS , maka Aliansi Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Sahkan RUU P-KS  menyampaikan tuntutan  agar DPR dan pemerintah untuk memberi perhatian memadai terhadap RUU P-KS dan dapat segera menuntaskan pembahasan RUU P-KS sehingga RUU P-KS diharapkan  bisa disahkan pada periode DPR sekarang  tanpa mengurangi kualitas substansi.

Lalu, agar  pembahasan  dan pengesahan RUU P-KS  menempatkan  perspektif, pengalaman dan  kebutuhan  korban kekerasan seksual khususnya perempuan dan anak sebagai sentral dan acuan dalam pengaturan yang ada.  Dalam hal ini memastikan agar 9 bentuk/jenis kekerasaan seksual dapat tercakup, hak-hak korban atas perlindungan, penanganan dan pemulihan, sistem pembuktian yang mengutamakan saksi korban , serta penanganan terintegrasi satu atap yang sensitive terhadap situasi dan hak-hak korban (sistem peradilan pidana yang terpadu untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan (SPPT-PKTP)). 

Agar dalam pembahasan RUU P-KS, melibatkan partisipasi dan masukan dari masyarakat terutama kelompok penyintas dan  pendamping, sehingga UU yang dihasilkan dapat menjadi terobosan yang efektif  dan dirasakan manfaatnya bagi korban kekerasan seksual.

Agar DPR dan Pemerintah dapat menggunakan prinsip-prinsip CEDAW  dalam pembahasan substansi RUU P-KS, yakni prinsip kesetaraan substantive, non-diskriminasi dan kewajiban Negara.

Agar semua pihak terkait seperti organisasi dan kelompok masyarakat termasuk tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama dapat mendukung dan mendorong segera disahkannya RUU P-KS.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.