Header Ads

Mitos tentang Perempuan yang Harus Selalu Menurut pada Suami



“Kamu harus bisa masak, supaya suamimu betah di rumah.”

“Kamu harus bisa menjaga penampilan, agar suamimu tidak tergoda perempuan lain.”

“Kamu harus ini…kamu harus itu…untuk suamimu.”

“Kamu harus selalu di rumah, kalau sudah jadi istri, harus nurut dan selalu minta izin suami.”



*Ika Ariyani- www.Konde.co

Kalimat-kalimat ini sering sekali saya dengar, bahkan sudah ribuan dan mungkin jutaan kali. Dalam pertemuan, di tempat ngobrol dan di acara kumpul-kumpul dengan saudara di hari raya. Dari sinilah saya selalu berpikir bahwa seakan hidup seorang perempuan hanyalah untuk suaminya. Padahal setiap orang, siapapun dia, harus punya ruang privacy buat dirinya.

Indonesia adalah negara multikultural. Tiap daerah memiliki kebiasaan sendiri-sendiri dalam hal peran suami dan istri. Dari sekarang hingga kelak, kepercayaan ini selalu menjadi mitos yang justru memenjarakan para perempuan.

Daerah dengan garis keturunan dari pihak ayah misalnya, biasanya daerah ini mengutamakan kepentingan laki-laki. Anak perempuan dari kecil diberi tugas mengerjakan pekerjaan domestik, sementara anak laki-laki bebas bermain. Alasannya agar kelak, perempuan dapat menjadi istri yang baik. Kepercayaan ini sekaligus juga menyatakan bahwa dari kecil, perempuan sudah ditentukan nasibnya untuk bekerja di rumah.

Dari kecil pula anak perempuan ditanamkan untuk mencari laki-laki yang baik, sepadan, dan mapan sehingga bisa menjamin hidupnya. Perempuan juga digambarkan amat sangat membutuhkan laki-laki sebagai pelindung, pemberi kehidupan, dan tempat bergantung.Mitos ini kemudian menjadi besar karena menjadi norma yang tak tertulis dalam masyarakat. Semua orang lalu meyakini ini dan memilih ini menjadi pilihan-pilihan. Maka jika ada yang secara kritis mempertanyakan, ia akan dicap sebagai orang berbeda, aneh dan tidak menuruti norma.

Padahal jika ini meminggirkan para perempuan, maka norma-norma ini mestinya dibongkar, dikritisi dan ditafsir ulang.

Dari bekal penanaman pemikiran di atas, maka yang terjadi kemudian, perempuan memandang pernikahan sebagai hal yang sangat sakral bagi hidupnya. Pernikahan bagi perempuan sama artinya dengan menyerahkan seluruh kehidupannya di tangan suami. Bagaimana kehidupannya kelak setelah menikah, hanya suamilah yang boleh menentukan.

Contohnya, jika waktu berpacaran masing-masing bekerja di kota yang berbeda, maka setelah menikah istrilah harus mengalah pindah kerja ke kota suami, atau bahkan berhenti bekerja. Begitu pula dengan kebiasaan lain sebelum menikah, perempuan bisa hang out dengan teman, namun ini akan hilang setelah menikah demi memenuhi keinginan suami. Padahal suami bisa nongkrong setiap hari sampai pagi dengan teman-temannya.

Hidup perempuan menjadi berubah drastis harus mengikuti apa yang dimaui suami. Demikian juga mungkin terdapat perubahan pada penampilan yang disesuaikan agar tampak lebih dewasa, gaya bicara dan tertawa lebih ditahan dan diatur dan bahkan berhenti memposting foto pribadi atau selfie di media sosial demi menjaga wibawa suami.

Maka setelah menikah, tak heran jika istri kemudian mempertanyakan banyak hal, karena nyaris tak bisa kemana-mana, bahkan sekedar bersosialisasi.

Kenapa begini? Karena hidup istri hanyalah seputar suami. Sebaliknya para suami sering marah dengan pertanyaan-pertanyaan istri. Tapi untuk memberikan istrinya pemahaman bahwa laki-laki adalah makluk bebas dan istri bukan makluk bebas, suami juga tidak rela. Karena baginya istri adalah miliknya, properti, dan simbol harga dirinya. Tetap penting baginya untuk dapat mengontrol istri sebagai support systemnya.

Meskipun seorang istri memiliki karirnya sendiri, sudah tertanam dalam pikirannya bahwa ia wajib mengutamakan keluarga dan harus membagi waktu untuk mengurus rumah. Apakah seorang suami dituntut demikian?

Paling-paling suami hanya dihimbau untuk lebih banyak menyisihkan waktu bagi keluarga, itu saja bukan? Bukan menjadi sebuah kewajiban suami untuk mengurus rumah dan anak, hanya sekedar memohon kesadarannya saja. Tidak peduli pekerjaan istrinya lebih merepotkan dan menguras pikiran daripada dirinya, tetap seorang istrilah yang wajib mengurus rumahtangga. Begitulah pandangan umum yang jika tidak dilakukan akan mengundang pertanyaan dari orang lain.

Lalu jika suami adalah pusat segalanya, dimanakah eksistensi seorang istri? Haruskah segala potensi dan pilihan untuk menjadi diri sendiri itu harus dikorbankan demi suami? Wahai semuanya, ini hanya sekedar mitos, yang tumbuh menjadi kepercayaan dan norma di banyak daerah yang justru memenjarakan perempuan.


(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Ika Ariyani
, penulis, aktivis sosial dan kontributor www.Konde.co di Jawa Timur.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.