Header Ads

Seksisme Terhadap Tubuh Perempuan di Masa Kini


*Zur’ah Budiarti- www.Konde.co

Persoalan seksisme, sekaligus diskursus tentang perjuangan feminisme sebenarnya sudah banyak ditulis dan diperbincangkan. Seperti jika kita membaca tulisan dan kisah para feminis Naomi Wolf, Julia Kristeva. Bahkan yang cukup sering didengar masyarakat Indonesia, adalah penulis-penulis Indonesia. Kartini, Roehanna Koeddoes, SK Trimurti adalah beberapa perempuan yang kemudian banyak menuliskan gagasan soal perjuangan perempuan di Indonesia.

Sejak membawa isu ini, baik ke dalam karyanya juga sisi kehidupannya, gagasan feminisme menjadi lebih banyak dikenal dan diperhatikan masyarakat. Namun, persoalan seksisme memang selalu terlihat bahkan di era sekarang dimana media banyak bermunculan. Ini menunjukkan bahwa perempuan tak pernah lepas dari obyek seksisme.

Di industri musik pop, Emma Watson, Emma Stone, sampai penyanyi lagu All About That Bass yakni Meghan Trainor, secara kritis juga melakukan pembelaan pada tubuh perempuan. Mereka yang tumbuh, dan besar di Industri layar kaca ini, mengkampanyekan ide soal tubuh dan nilai-nilai kecantikan yang menjerat perempuan. Sesuatu yang sangat diagungkan justru oleh dunia entertainment itu sendiri.

Pada akhirnya, hal itu menjadi dualisme yang menohok perempuan. Bagaimana tidak? realita kehidupan sosial masyarakat rasanya juga masih menyuguhkan kalimat basa basi.

“Jangan gendut – gendut nanti susah dapat pacar.”

Ataupun, “Kurus banget sih? cacingan ya?.”

Body Shaming yang berarti segala bentuk tindakan, atau komentar terhadap penampilan fisik, secara sadar maupun tidak sadar mendominasi pembicaraan kita, hampir di semua level pergaulan.

Isu tentang diskrimasi gender yang berakibat pada subordinasi perempuan di ruang publik misalnya, seperti pada sektor pendidikan dan lingkungan kerja, maupun beban kerja ganda bagi seorang perempuan adalah salah satu contoh yang menimpa perempuan hingga sekarang ini.

Hal lain yaitu, kerap kita temui candaan, lelucon, tertawaan yang lakukan itu untuk menyapa teman – teman lama, atau di era baru seperti sekarang, semakin mudah menemukan body shaming dalam interaksi – interaksi di media sosial. Hampir semua orang, jika saja mau mengakui, pasti pernah sekali atau dua kali mempraktikkan body shaming walau mungkin ada beberapa yang tidak dimaksudkan ke arah situ.

Misalnya pada pola kerja satu platform social media yang mengedepankan foto. Seseorang kerap dengan entengnya menggerakkan jempol untuk mengetik kalimat yang sifatnya candaan, hiburan, bahkan pujian pada penampilan atau fisik dalam foto yang diunggah di kolom komentar.

Sebagian orang percaya dan menilai bahwa candaan ini bukanlah hal yang dianggap terlalu substansial, hingga seringkali korban body shaming yang berani protes atau melawan, dianggap terlalu baper menyikapi guyonan.

Tapi maukah kita sedikit lebih berhati – hati memilih konteks pembicaraan saat bercengkrama, dan tidak menjadi pelaku body shaming? Sebab jika berusaha memahami, kita tentu sepakat bahwa pelaku body shaming secara tidak langsung turut menurunkan level ketidakpercayaan diri, menyumbang kestressan pada seseorang bahkan bisa sefatal menyebabkan depresi.

Dua dari tiga selebriti asal Amerika yang disebutkan sebagai contoh, Meghan Trainor dan Emma Stone mempunyai cerita yang berangkat dari pengalaman pribadi. Saat keduanya yang sering wira – wiri di bawah lampu kamera, mereka mengalami stigma untuk ukuran tubuh dan penampilan mereka. Padahal parameter ideal bagi kecantikan dan proporsional tubuh itu selamanya tidak akan bisa ditemukan. Manusia hanya akan terus menerus mengatai sesamanya sejak perbedaan itu menjadi keniscayaan. Meghan, mendapat cibiran dengan bentuk tubuhnya yang oversize, sementara Emma dinilai terlalu kurus dan sering dikira sakit dengan bentuk tubuh yang dimilikinya.

Masyarakat kita kebanyakan terjebak, dengan gambaran yang dibuat secara seragam oleh pihak – pihak kapitalis, untuk memudahkan mengontrol dan mengeruk keuntungan dengan memperdayai pemikiran dan selera.

Padahal sebenarnya tubuh dan kecantikan terus menerus mengalami pergeseran tren, bergantung pada dominasi pasar. Industri fashion dan kosmetik adalah alat – alat yang menggerakkan perempuan untuk bergaya seperti barbie.

Di masa semua hal terlihat sama ini, kita akan berdiri pada kondisi yang sulit untuk tampil sebagai diri sendiri. Hal ini menunjukka bahwa perempuan yang berbeda dengan entitas lain harus siap untuk di-bully.

Emma Stone dan Meghan Trainor mereka berdua tak jarang mendengar ujaran – ujaran yang ditujukan langsung kepada mereka untuk memperbaiki body mereka agar terlihat menarik/sama dengan kebanyakan orang. Kalimat “We're shaming each other and we're shaming ourselves, and it sucks." yang kemudian diucapkan Emma Stone untuk mewakili diskursus ini.



*Zur’ah budiarti, a learner and freelancer graphic designer yang senang mengamati society. Memperlakukan blognya sebagai ruang privat, sedang concern belajar memahamkan banyak perempuan dan laki – laki soal feminisme. Salah satu cara yang sudah ditempuh, ialah menelurkan novel yang diterbitkannya secara independen berjudul SEMU.
http://zurahsukasuka.blogspot.co.id/

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.