Header Ads

Bolehkah Dipecat Karena Gangguan Bipolar?


*Guruh Riyanto- www.Konde.co

Mau tanya, adakah undang-undang yang berkaitan dengan ketenagakerjaan yang mengatur tentang karyawan yang mengalami gangguan psikologis. Apakah karyawan yang bipolar atau sakit psikologis boleh dipecat? Begitu tulis salah satu perempuan di Whats App group buruh. Ia menanyakan perihal nasib temannya yang mengalami bipolar.

Bipolar adalah adalah gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrem berupa mania dan depresi, karena itu istilah medis sebelumnya disebut dengan manic depressive. Suasana hati penderitanya dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan yaitu kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang berlebihan tanpa pola atau waktu yang pasti.

Penggiat Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) LION atau Local Initiative for OSH Network (Prakasa Jejaring K3 Lokal) mempunyai jawaban untuk ini.

Berdasarkan Pasal 153 ayat (1) huruf a UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan (antara lain): pekerja/ buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.
Berdasarkan ketentuan tersebut, artinya larangan untuk mem-PHK pekerja yang sakit (berkepanjangan atau terus-menerus), hanya selama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut. Setelah bulan ke-13, barulah pengusaha dapat mem-PHK nya.

Dalam kasus ini, harus di pastikan apakah diagnosa tersebut PAK atau hanya diagnosa sakit biasa (bukan PAK).

Apabila diagnosa dokter berupa penyakit biasa (bukan PAK), perusahaan dapat mem-PHK setelah bulan ke 12 dengan ketentuan pekerja tersebut sebagai peserta BPJS, dengan kata lain perusahaan telah mendaftarkan pekerja kepada BPJS.

Apabila diagnosa dokter berupa PAK, selain perusahaan tidak di perbolehkan melakukan PHK, perusahaan diharuskan melaporkan kejadian PAK tersebut kepada dinas selambat-lambatnya 2X24 Jam setelah adanya diagnosa dari dokter, serta perusahaan diwajibkan melakukan rehabilitasi hingga sembuh.

Hal tersebut berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 609 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat Kerja.

Terkait gangguan psikologis memang tidak langsung dimasukan dalam 31 jenis PAK menurut KEPPRES 22/1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja. Namun berbeda apabila merujuk pada Lampiran I Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja, menyebutkan penyebab penyakit akibat kerja dibagi menjadi 5 (lima) golongan, yaitu:

1. Golongan fisika
Suhu ekstrem, bising, pencahayaan, vibrasi, radiasi pengion dan non pengion dan tekanan udara

2. Golongan kimia
Semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, uap logam, gas, larutan, kabut, partikel nano dan lain-lain.

3. Golongan biologi
Bakteri, virus, jamur, bioaerosol dan lain-lain.

4. Golongan ergonomi
Angkat angkut berat, posisi kerja janggal, posisi kerja statis, gerak repetitif, penerangan, Visual Display Terminal (VDT) dan lain-lain.

5. Golongan psikososial
Beban kerja kualitatif dan kuantitatif, organisasi kerja, kerja monoton, hubungan interpersonal, kerja shift, lokasi kerja dan lain-lain
Dengan penjelasan tersebut, baiknya kita kembali merujuk kepada proses dokter dalam men-diagnosa pekerja tersebut, apakah ganguan psikologis tersebut di golongkan dalam golongan psikosial atau bukan. Karena penting kiranya saat dokter melakukan proses diagnosis terhadap penyakit seseorang menggali informasi sedalam-dalamnya terkait pola dan beban kehidupannya (termasuk pekerjaannya).

Apabila telah terjadi PHK dengan alasan sakit sebelum bulan ke 12, PHK tersebut dapat di katakan tidak sah/ batal demi hukum, menurut ayat 2 pasal 153 Undang-Undang Ketenaga Ketenagakerjaan yang berbunyi “Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayata (1) batal demi hukum dan pengusaha waajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan”

Namun, apabila setelah lebih dari 12 bulan pekerja masih mengalami sakit yang berkepanjangan, cacat akibat kecelakaan kerja dan dirasa tidak dapat melakukan pekerjaannya kembali, pekerja tersebut dapat mengajukan PHK kepada perusahaan dengan ketentuan 2 kali Pesangon, 2 kali penghargaan dan 1 kali ketentuan penggantian Hak, hal tersebut tercantum dalam Pasal 172 Undang-Undang no 13 tahun 2013 menyebutkan “Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) keli ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

Sedangkan penghitungan uang pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian Hak, tercantum dalam Pasal 156 UU no 13 tahun 2013, yang berbunyi”
(2) Perhitungan uanga pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:

1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

3. masa kerja 2 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

7. masa kerja 6 (enam) atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

8. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang darai 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

9. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :

1. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

2. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

3. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

4. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

5. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

6. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

7. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

8. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;

3. pengganti perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

4. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama


(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Guruh Riyanto, bekerja sebagai jurnalis dan aktif di Serikat buruh Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI). Tulisan ini atas kerjasama www.Konde.co dan www.Buruh.co

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.