Perdebatan Soal Aborsi yang Selalu Terjadi
*Shofin Azimah Qolbi- www.konde.co
Akhir-akhir ini, di Queensland, Australia diramaikan dengan aksi masyarakatnya yang mendesak legalisasi aborsi.
Sejak 1899, sudah banyak aktivis Australia terutama negara bagian Queensland yang mendesak dekriminalisasi atau dihapusnya peraturan tentang aborsi yang mengkriminalkan perempuan. Namun selama itu pula usaha mereka tak membuahkan hasil.
Sejak tahun itu, para perempuan yang melakukan aborsi selalu mendapatkan hukuman, tak peduli perempuan yang melakukan aborsi karena ia merupakan korban perkosaan, bayi yang dikandungnya tidak berkembang, dll. Yang jelas secara hukum dan stigma kriminal selalu dilekatkan pada perempuan yang melakukan aborsi.
Namun kini terdapat suatu hal yang sangat berbeda dalam diskursus dekriminalisasi aborsi di parlemen di Queensland Australia disana, sebab legislator perempuan berperan lebih dalam memimpin perdebatan.
Hasil akhirnya, proposal dekriminalisasi aborsi itu berhasil lolos dengan mendapat dukungan suara mayoritas 41 dari 50 suara di parlemen.
Tulisan ini akan membahas mengapa representasi perempuan turut berpengaruh dalam menentukan nasib kebijakan aborsi di sebuah Negara:
Perdebatan Aborsi yang Selalu Terjadi
Aborsi, berikut prosesnya legalisasinya, seakan menjadi perdebatan kontroversial tak berujung di berbagai negara. Terdapat setidaknya 4 perspektif dalam memandang aborsi yang turut melanggengkan perdebatan tersebut, yaitu perspektif medis, hukum, agama dan yang terakhir perspektif feminis.
1. Perspektif Medis
Masalah yang dilihat dari perspektif medis adalah terkait proses pengguguran dan penyelamatan nyawa seseorang.
2. Perspektif Hukum
Sedangkan masalah di bidang hukum adalah terkait legalisasinya secara konstitusional, apakah negara sudah mengakui aborsi ataukah tidak.
3. Perspektif Agama
Perspektif agama mempermasalahkan aborsi karena dianggap bertentangan dengan dalil kepercayaan/ keyakinan agama yang diyakini penganut agama bahwa aborsi adalah tindakan pembunuhan dan ini tidak boleh dilakukan secara agama.
4. Perspektif Feminis
Perspektif lain yang sangat penting dan kerap luput dibicarakan dalam memandang aborsi adalah etika feminis. Etika feminis dapat menjadi solusi sebab memiliki landasan yang mengutamakan care, love, connections, dan relationship yang kemudian memperhatikan keinginan, kebutuhan, dan kepentingan orang perorang.
Sehingga kemudian etika feminis menganalisis masalah aborsi sebagai masalah perempuan dan memberinya pilihan atas tubuhnya (Wurjantoro, 2001). Kecil kemungkinannya seorang perempuan mengambil langkah aborsi hanya karena ia menyukainya. Lebih dari itu, banyak pertimbangan berat nan dilematis yang dilewati perempuan untuk sampai pada keputusan aborsi. Sehingga aborsi merupakan sebuah jalan yang benar-benar dibutuhkan untuk mempertahankan hidup dan menyelamatkan dirinya.
Bagaimana Langkah yang Harus Ditempuh?
Langkah politis yang dapat ditempuh dalam mengupayakan dekriminalisasi dan legalisasi aborsi adalah dengan melibatkan perempuan dalam perdebatan terkait aborsi di parlemen. Hal tersebut dibutuhkan sebab aborsi memang hanya terjadi di kelompok perempuan.
Dengan memaksimalisasi representasi perempuan di parlemen, diharapkan legislator perempuan dapat mengangkat dan mengupayakan segala kebutuhan dan keprihatinan perempuan secara konkret, termasuk kebutuhan legalisasi aborsi.
Namun luasnya pengaruh yang dibuat oleh legislator perempuan akan sangat banyak tergantung pada jumlah perempuan yang ada di parlemen yang memiliki motivasi untuk menghadirkan isu-isu dan kepentingan perempuan (Lovenduski & Karam, 2002).
Kehadiran perempuan sebagai legislator diyakini dapat meruntuhkan dinding pembatas gender, bahkan kehadiran satu perempuan akan dapat mengubah kebiasaan laki-laki. Maka mari membayangkan signifikansi jangka panjang yang akan terwujud apabila jumlah perempuan yang memadai di parlemen sepenuhnya termotivasi untuk mewakili kepentingan perempuan.
Parlemen Queensland, yang selama ini terkenal akan konservatismenya, pada periode ini justru mencetak angka representasi perempuan yang cukup tinggi. Terhitung sejak 2017 hingga sekarang, jumlah perempuan dalam Parlemen Queensland mencapai 30 orang dari 93 total anggota. Belum mencapai 50 persen memang, namun angka tersebut merupakan jumlah yang patut diapresiasi sebab sejak awal terbentuknya Parlemen Queensland pada 1929 hingga 2001, jumlah perempuan dalam parlemen masih bisa dihitung dengan jari tangan manusia.
Tak hanya di parlemen, bahkan komposisi kabinet pemerintahan Queensland periode 2015–sekarang telah mencapai jumlah keseimbangan gender pada kuotanya yang mana jumlah menteri perempuannya mencapai 50 persen dari keseluruhan jumlah menteri. Tepatnya, delapan dari lima belas menteri adalah perempuan, termasuk Perdana Menteri Annastacia Palaszczuk dan Wakilnya Jackie Trad yang juga perempuan. Terlebih, para perempuan pengisi kabinet tersebut masuk melalui sistem merit yang cukup kuat, sehingga dapat dipastikan memiliki kapabilitas yang mumpuni.
Di Indonesia sendiri, regulasi tentang aborsi dimuat dalam Undang-Undang tentang Kesehatan No. 36 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Kedua aturan tersebut tak mengizinkan aborsi kecuali bagi korban pemerkosaan dan jika alasaannya adalah keselamatan si ibu dan bayi yang dikandungnya.
Seharusnya, aborsi dapat menjadi pilihan bagi perempuan manapun yang ingin melakukannya, terlepas dari kedua syarat tersebut. Perempuan, sebagaimana manusia, memiliki otoritas penuh atas tubuhnya. Dengan landasan inilah perempuan seharusnya memiliki hak untuk menentukan nasib bayi yang ada di dalam tubuhnya sendiri.
Sebagai seorang perempuan, Perdana Menteri Annastacia dengan bangga mengangkat urgensi penghapusan aborsi dari pasal pidana yang ada di bawah undang-undang. Menurutnya, masalah aborsi adalah masalah kesehatan yang krusial bagi perempuan di Queensland. Jika proposal dekriminalisasi aborsi tersebut berhasil disahkan, New South Wales akan menjadi satu-satunya negara bagian di Australia yang masih menganggap aborsi sebagai sebuah praktik kriminal.
Selama ini, perempuan Queensland harus menghadapi hukuman penjara hingga 7 tahun jika mengakhiri kehamilannya, dan dokter yang bersangkutan hingga 14 tahun.
Terdapat 7 klinik yang memiliki layanan aborsi di Queensland, namun kelompok anti-aborsi kerap menentang keberadaan klinik-klinik tersebut. Adanya undang-undang yang mempidana aborsi juga menjadi hambatan bagi perempuan untuk mengakses layanan aborsi.
Rancangan proposal yang telah disetujui memungkinkan perempuan Queensland untuk mengakhiri kehamilan hingga usia 22 minggu, dan membuat zona aman yang melarang aktivis anti-aborsi untuk melakukan aksi protes di 150 meter di sekitar klinik aborsi, serta meminta dokter yang enggan melakukan layanan aborsi untuk dapat merujuk pasien ke tempat aborsi lainnya. Namun poin paling penting dalam keberhasilan dekriminalisasi aborsi ini adalah bahwa setiap perempuan berhak memilih untuk melakukan aborsi dalam keadaan apapun.
Keberadaan perempuan dalam jumlah yang signifikan tentu memiliki pengaruh terhadap hasil pemungutan suara pada perdebatan aborsi, yang diharapkan dapat mewadahi kebutuhan perempuan akan aborsi. Tak hanya itu, perempuan dalam parlemen juga dapat memberikan nuansa dan pemahaman yang berbeda dengan parlemen yang didominasi oleh laki-laki.
Freklington contohnya, ia membandingkan ketika parlemen negara mempertimbangkan undang-undang kekerasan domestik, yang mana pada saat itu ada anggota perempuan yang mampu menjelaskan pelecehan dengan menggunakan kasus yang ia alami secara pribadi.
Bahkan dalam perdebatan mengenai aborsi, beberapa anggota parlemen turut menyampaikan pendapatnya dengan begitu emosional hingga menjatuhkan air mata. Dengan demikian, jelas bahwa kehadiran perempuan dapat mengatakan hal-hal hingga ranah personal yang berada di luar kapabilitas laki-laki.
Keberhasilan Perdana Menteri dan Parlemen Queensland dalam memodernisasi hukum tentang aborsi merupakan cerminan dari representasi perempuan yang berkualitas di parlemen Queensland. Anggota parlemen perempuan di Queensland sepenuhnya sadar bahwa seluruh perempuan di Queensland harus memiliki hak untuk membuat keputusan aborsi tanpa takut akan dipidana. Gebrakan dekriminalisasi aborsi ini adalah langkah reformasi yang melepaskan Queensland dari belenggu konservatisme pro-life yang selama ini mengekang hak otonomi perempuan atas tubuh mereka sendiri.
Indonesia merupakan negara dengan suara pro-life atau anti-aborsi yang cukup dominan. Kebijakan yang terus-terusan melarang praktik aborsi adalah buah dari representasi perempuan di perpolitikan Indonesia yang belum cukup berkualitas dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Sampai kemudian hadirlah Undang-Undang tentang Kesehatan No. 36 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang tidak mengkriminalkan perempuan yang melakukan aborsi.
Perlu adanya kesadaran dari anggota legislatif perempuan bahwa affirmative action yang membawanya masuk ke parlemen itu bukan sekadar jumlah semata. Etika feminis dapat menjadi solusi bagi anggota legislatif perempuan dalam merumuskan sebuah kebijakan yang ramah perempuan.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)
Referensi:
Lovenduski, J., & Karam, A. (2002). Perempuan di Parlemen: Membuat Suatu Perbedaan. dalam International IDEA, Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah (hal. 158). Jakarta: AMEEPRO.
Wurjantoro, S. (2001). Penempatan Masalah Aborsi dalam Etika Feminis. Depok: Universitas Indonesia.
*Shofin Azimah Qolbi, Mahasiswa Ilmu Politik, Fisipol, Universitas Indonesia
Post a Comment