Mengapa Kita Harus Menolak Kekerasan di Dunia Kerja?
Poedjiati Tan dan Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Apakah yang dimaksud dengan dunia kerja? Dunia kerja adalah ruang yang terdiri ruang produksi dan ruang reproduksi. Artinya, ruang itu ada di rumah, di jalan, di tempat kerja.
Namun selama ini yang diakui sebagai ruang kerja hanyalah ruang produksi dimana para pekerja bekerja di luar atau secara publik. Dan ruang reproduksi atau ruang di rumah dimana biasanya banyak perempuan yang bekerja secara domestik, melakukan kerja-kerja pengasuhan anak, membereskan rumah, tak pernah diakui sebagai ruang kerja.
Hal inilah yang membuat Internasional Labour Organisation (ILO) kemudian membuat kategori soal dunia kerja, yaitu ruang kerja dimana para buruh atau pekerja bekerja di rumah hingga ia pulang kembali ke rumah.
Mutiara Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardhika dalam konferensi pers dan pernyataan gerakan bersama akhiri kekerasan di dunia kerja di LBH Jakarta, Selasa 30 Oktober 2018 yang dilakukan oleh organisasi buruh dan masyarakat sipil hari ini, menyatakan bahwa sejatinya ruang lingkup dunia kerja itu mencakup dalam tempat kerja secara fisik dan psikis, termasuk ruang publik dan domestik di mana ruang-ruang itu adalah tempat kerja, di tempat-tempat di mana pekerja dibayar atau mengambil makan, perjalanan dari dan ke tempat kerja, selama perjalanan yang berhubungan dengan pekerjaan, di acara-acara atau aktivitas sosial yang berhubungan dengan pekerjaan, dan selama training yang berhubungan dengan pekerjaan dan melalui komunikasi yang berhubungan dengan pekerjaan yang difasilitasi oleh teknologi informasi dan komunikasi.
Disanalah dimungkinkan ada banyak lagi persoalan seperti kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang dilakukan secara fisik dan psikis.
Pada waktu perekrutan misalnya, perempuan pekerja sering mendapatkan pelecehan hanya karena ia cantik atau karena ia kurang cantik. Hal ini banyak terjadi dalam perekrutan yang mensyaratkan wajah cantik dan menarik dalam lowongan pekerjaan.
Hal lain, pelecehan juga dilakukan ketika tubuh perempuan dianggap kurang tinggi dan bentuk badan yang kurang proporsional. Ada lagi syarat lain yaitu harus sehat jasmani dan rohani dimana para diffable sulit memenuhi kriteria ini.
Di tempat kerja, macam-macam kekerasan yang terjadi yaitu dari pelecehan hingga ancaman tidak diangkat sebagai pegawai tetap jika tidak mau diajak kencan. Jumisih dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) misalnya menyatakan bahwa banyak buruh di pabrik yang kemudian mendapatkan kata-kata kasar dari mandor di pabrik.
“Ini merupakan bentuk kekerasan psikis yang menimpa buruh, seperti buruh perempuan yang berambut cepak yang kemudian dilecehkan dengan pertanyaan, hei, jadi kamu bisa hamil tidak? Ini bentuk pelecehan psikis,” kata Jumisih.
Hal lainnya, bekerja lembur tak dibayar, tak diupah baik, sampai mendapatkan kekerasan dalam rumah seperti yang dialami para Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Dalam perjalanan pulang, pekerja perempuan yang pulang malam banyak mengalami ketidaknyamanan karena merasa ketakutan pulang malam, takut berada di angkutan umum, takut mendapatkan kekerasan, perkosaan dan label buruk ketika pulang malam.
Di rumah, para ibu yang bekerja masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga, menemani anak belajar, menyelesaikan pekerjaan rumah. Padahal ketika semuanya bekerja di luar rumah, maka tanggungjawab di rumah ini adalah tanggungjawab laki-laki dan perempuan. Di luar ini, banyak pekerjaan ibu yang tidak pernah dianggap sebagai pekerjaan.
Banyaknya kekerasan yang menimpa pekerja perempuan ini, maka International Labour Organisation (ILO) berencana membuat sebuah konvensi untuk melindungi semuapekerja. Konvensi ini bertujuan untuk mengakhiri kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, LGBT dan laki-laki di dunia kerja, agar mereka mempunyai hak yang sama.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Indonesia seperti JALA PRT, Kalyanamitra, Perempuan Mahardhika, Federasi Buruh Lintas Pabrik, SAPA Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), www.Konde.co, LBH Jakarta, KSBSI, KSPI, KSBI, serta organisasi masyarakat sipil lainnya melakukan advokasi terhadap kekerasan di dunia kerja.
Organisasi masyarakat sipil sudah bertemu dengan pemerintah untuk mengusulkan pembuatan konvensi mengakhiri pelecehan dan kekerasan di dunia kerja ini. Dalam konferensi di Genewa yang membahas konvensi ini di tahun 2018 lalu, Elly dari KSBSI menyatakan bahwa baru sedikit negara yang mendukung konvensi ini. Indonesia termasuk negara yang abstain menyatakan dukungan. Maka organisasi buruh dan masyarakat sipil harus bekerja keras agar konvensi ini menjadi konvensi yang disetujui negara-negara lain.
Lita Anggraini dari JALA PRT menyatakan bahwa negara sudah seharusnya memiliki tanggungjawab untuk mempromosikan situasi dunia kerja yang inklusif, bebas dari diskriminasi, kekerasan dan pelecehan, serta memfasilitasi adanya instrument pencegahan perilaku tersebut dalam berbagai elemen, sektor dan situasi.
“Namun, realita yang ditemukan secara global menunjukkan situasi yang jauh dari inklusifitas, terjadinya pelecehan dan kekerasan yang dipandang sebagai situasi normal. Menyikapi besarnya tindak diskriminasi, kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, khususnya kekerasan berbasis gender, ILO menyerukan perlunya diambil langkah fundamental situasi tersebut, melalui peraturan universal. Pada Sesi ke-325 (Oktober 2015), ILO memutuskan untuk menyusun standar tentang perlindungan dari kekerasan dan pelecehan di di dunia kerja. Konvensi ini sedang dan akan memasuki pembahasan final dalam 3 kali Sidang Perburuhan Internasional dari tahun 2018 sampai dengan 2020. Sementara prosesnya sangat alot karena mendapat pertentangan khususnya dari kelompok pengusaha. Karenanya Negara dalam hal ini pemerintah, serikat pekerja/buruh dan semua warga Negara harus memperjuangkannya dan termasuk mendesak kelompok pengusaha untuk memberikan dukungan.”
Bahwa negara harus mengembangkan hukum, regulasi, dan kebijakan yang menjamin hak atas kesetaraan dan non-diskriminasi bagi seluruh pekerja, termasuk pekerja perempuan dan sekaligus pekerja yang masuk termasuk dalam satu atau lebih kelompok yang secara tidak proporsional terpengaruh oleh kekerasan dan pelecehan, di antaranya: pekerja muda, buruh migran, pekerja dengan disabilitas, pekerja dari masyarakat adat dan kesukuan, pekerja minoritas dari latar belakang yang berbeda.
Konvensi ini tentu saja sangat mendasar dan mendesak untuk diadvokasi bersama antar secara terintegrasi, antar isu, segmen, baik dari level lokal, nasional hingga internasional dan berbagai pemangku kepetingngan. Karena akses pekerjaan, ha katas pekerjaan dan kesejahteraan dalam situasi kerja yang bebas dari diskiminasi, kekerasan dan pelecehan adalah hak semua umat manusia.
Mengapa Kita Membutuhkan Konvensi ILO tentang Mengakhiri Kekerasan dan Pelecehan dalam Dunia Kerja?
1. Karena kekerasan dan pelecehan dalam dunia kerja merupakan ancaman terhadap martabat, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan semua orang. karena tidak hanya akan menimpa calon pekerja, pekerja, tetapi juga akan menimpa keluarganya, komunitasnya, dan masyarakat secara keseluruhan.
2. Karena kekerasan dan pelecehan juga mempengaruhi kualitas publik dan layanan pribadi, dan dapat mencegah warga Negara untuk mendapat akses kesempatan dan perlakuan yang sama terutama perempuan, disabilitas dan berbagai kelompok minoritas karena suku, ras, keyakinan, orientasi, ranah pekerjaan
3. Karena kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam dunia terjadi dalam berbagai bentuk, seperti; kekerasan fisik, kekerasan seksual (termasuk perkosaan dan serangan seksual), kekerasan verbal, bullying, kekerasan psikologi dan intimidasi, pelecehan seksual, ancaman kekerasan, kekerasan ekonomi dan keuangan, dan memata-matai, selama ini masih dibiarkan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam dunia kerja memberikan dampak negatif yang serius pada partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dan produktifitas kerja.
4. Pentingnya inklusifitas, pendekatan yang terintegrasi, pendekatan responsif gender mengakhiri kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Termasuk memperhatikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat mempengaruhi pekerjaan, produktivitas dan kesehatan dan keamanan. Oleh karenanya dunia kerja, lembaga dan pemerintahnya dapat membantu dengan tindakan nasional lainnya, untuk mengenali, mencegah, menanggapi, dan mengatasi terjadinya dan akibat dari kekerasan dalam rumah tangga.
5. Pentingnya cakupan mengenai dunia kerja, sebagai situasi yang merupakan salah satu ruang yang rawan terjadinya kekerasan dan pelecehan karena ada relasi kuasa; tempat kerja secara fisik public hingga domestik, tempat dalam jangkauan waktu antara seperti saat dalam perjalanan dari dan ke tempat kerja, kegiatan di luar tempat kerja yang berhubungan dengan kerja, termasuk melalui wujud dalam sarana komunikasi.
6. Pentingnya cakupan yang disebut sebagai pekerja, mencakup orang-orang dalam pekerjaan jenis apapun, terlepas dari status kontrak, dan sektor ekonominya—formal maupun informal—termasuk: pekerja yang sedang training, magang, sukarelawan, pencari kerja, dan pekerja yang sudah terPHK atau yang ditangguhkan.
7. Memiliki sebuah Konvensi dan Rekomendasi tentang kekerasan dan pelecehan dalam dunia kerja, memberikan landasan hokum dan jaminan perlindungan bagi semua pihak baik itu pekerja, manajemen dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menghadapi masalah ini
8. Pentingnya peraturan dari pencegahan, penerapan hingga monitoring evalausi. Negara harus mengadopsi hukum-hukum dan peraturan nasional yang melarang segala bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, dan khususnya segala bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk harus mengembangkan hukum, regulasi, dan kebijakan yang menjamin hak atas kesetaraan dan non-diskriminasi bagi seluruh pekerja
Post a Comment