Header Ads

Refleksi 20 Tahun Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan


*Luviana - www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Memperjuangkan penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia selama 20 tahun bukan hal yang mudah.

20 tahun ini ditandai dengan maraknya gerakan buruh perempuan dan petani perempuan. Namun ini juga ditandai dengan maraknya jumlah peraturan daerah yang diskriminati terhadap perempuan.

Hal lain, yaitu pengaturan terhadap tubuh dan keputusan perempuan yang makin marak, misalnya pemakaian baju yang diatur, perkawinan yang diatur dan pilihan-pilihan hidup perempuan yang diatur. Hidup perempuan menjadi tidak mudah dalam kondisi ini.

Sebelumnya, sejumlah peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di wilayah konflik bersenjata pada masa Pemerintahan Orde Baru, telah membuka kesadaran berbangsa bahwa segala bentuk ketidakadilan termasuk Kekerasan terhadap Perempuan harus dihentikan.
Kesadaran ini semakin menguat dan terkonsolidasi pada saat terungkapnya peristiwa kekerasan seksual yang dialami oleh sejumlah perempuan etnis Tionghoa dalam Kerusuhan Mei 1998.

Tuntutan masyarakat agar negara bertanggungjawab atas kekerasan seksual yang terjadi dalam Kerusuhan Mei 1998, adalah puncak konsolidasi kesadaran berbangsa untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Kala itu Presiden RI memutuskan untuk mendirikan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sebagai respon terhadap tuntutan masyarakat agar Pemerintah proaktif terhadap penghentian segala bentuk kekerasan terhadap seluruh perempuan di Indonesia, bukan saja terhadap kasus kekerasan seksual pada Tragedi Mei 1998.

Sebagai putri sulung Reformasi, Komnas Perempuan memandang momentum 20 tahun Reformasi sekaligus 20 tahun kelahiran Komnas Perempuan, adalah tonggak penting untuk merefleksikan seluruh upaya yang telah dilakukan oleh Negara, masyarakat dan juga Lembaga HAM dalam memajukan, memenuhi dan melindungi HAM perempuan, khususnya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

Refleksi ini akan melengkapi refleksi yang telah dilakukan Komnas Perempuan bersama gerakan perempuan pada bulan Mei 2018. Secara khusus refleksi ini memberikan perhatian pada perkembangan reformasi hukum dan kebijakan untuk pemenuhan HAM perempuan, pengembangan sistem pemulihan bagi perempuan korban kekerasan dan perlindungan bagi Perempuan Pembela HAM.

Ketua Komnas Perempuan, Azriana Manalu menyatakan hal ini dalam acara peringatan ulangtahun Komnas Perempuan pada Selasa, 31 Oktober 2018. Azriana menyatakan bahwa dalam 20 tahun perjalanan Reformasi, ada kemajuan yang dicapai dari sisi reformasi hukum dan kebijakan. Namun ada tantantang lain yang harus dihadapi.

Sejumlah kebijakan yang melindungi HAM Perempuan telah diterbitkan, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Pada level nasional, tercatat telah diterbitkan 20 kebijakan yang secara langsung berkontribusi pada upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kebijakan tersebut antara lain, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Saksi/Korban, dan sejumlah regulasi lainnya terkait layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan serta pengarusutamaan gender. Situasi yang sama juga ditemukan di level daerah. Tidak kurang dari 349 kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan HAM perempuan telah diterbitkan di sejumlah daerah.

“Namun demikian, 20 tahun perjalanan reformasi juga membuka ruang terjadinya kekerasan atas nama agama, fundamentalisme, radikalisme dan populisme. Komnas Perempuan juga menemukan 421 kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya, yang tersebar dari tingkat nasional maupun daerah. Keberadaan 421 kebijakan diskriminatif ini menjadi penghambat bagi upaya penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan pemenuhan hak asasi perempuan. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa Prinsip Non Diskriminasi dan Kesetaraan Substantif yang dimandatkan oleh UU Nomor 7 Tahun 1984, belum dikenali secara utuh dan mendalam oleh para pengambil kebijakan,” kata Azriana.

Bagian lain dari upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang penting untuk direfleksikan pada momentum 20 tahun perjalanan Reformasi adalah, pengembangan sistem pemulihan bagi perempuan korban kekerasan. Salah satu temuan penting Komnas Perempuan terkait isu ini adalah, paska 10 tahun peristiwa kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998, korban tetap membungkam dan tidak mau memberikan kesaksian di hadapan publik.

“Berdasarkan informasi dari Pendamping Korban, Komnas Perempuan mengidentifikasi 7 faktor yang menjadi alasan korban bungkam yaitu sikap negara yang dianggap melanggengkan impunitas pelaku dengan membiarkan kontroversi ada tidaknya kasus kekerasan seksual terkait Peristiwa Mei 1998 berlangsung di masyarakat, lalu substansi maupun praktik hukum di Indonesia diragukan akan memberikan keadilan bagi perempuan korban kekerasan seksual.”

Jaleswari Pramodhawardhani dari Kantor Staf Presiden (KSP) menyatakan dalam acara ini bahwa Komnas Perempuan dalam perjalanannya tetap berdiri tegak dengan banyaknya tantangan, Komnas Perempuan juga dinilai telah memberikan masukan yang baik bagi kebijakan-kebijakan negara.

Jaleswari mengungkapkan ada berbagai hal yang sudah berubah pada pemerintahan Presiden Jokowi, misalnya pembangunan air bersih, dibangunnya pasar desa, infrastruktur, angka kematian ibu dna bayi yang menurun dan kemandirian ekonomi.

Untuk itulah kehadiran Komnas Perempuan dinilai efektif dalam memberikan masukan soal kebijakan bagi perempuan.

(Foto/Ilustrasi:Pixabay)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.