Apakah pada Tempatnya Jika Kita Menolak Kesetaraan?
*Novi Septiana Pasaribu- www.Konde.co
Pernah enggak merasa bangga kalau saudara perempuan kita bisa berprestasi atau cerdas? Dengan senyumnya melambai atau mengucapkan terimakasih pada keluarga yang dukung dan mengusahakan yang terbaik buat dia sehingga melakukan sesuatu yang membanggakan banyak orang, Bisa saja ketika dia menjadi juara kelas atau menang kompentisi nyanyi antar sekolah atau gereja.
Atau orangtua kalian berusaha sekuat tenaga untuk menyekolahkan kalian semua bersaudara (baik laki-laki atau perempuan) karena menyadari pendidikan penting untuk masa depan kalian masing-masing?
Mungkin ada yang pernah senang lihat bapaknya atau bapak orang lain ngasih kebebasan untuk berkesempatan untuk mamak kita ya atau mamak orang lain untuk berkegiatan yang mengembangkan dirinya, Hal ini juga terjadi di beberapa desa di Dairi, Sumatera Utara.
Disana ada kelompok perempuannya (yang isinya ibu-ibu karena anak gadis banyak tidak di desa lagi) yang sekali sebulan diskusi soal organisasi, membahas soal kerusakan lingkungan, perpolitikan daerah atau nasional. Ingatkah kalian, siapa yang kemudian mendukung si ibu meninggalkan rumah untuk ikut pelatihan selama berhari-hari ?
Untuk yang laki-laki yang punya saudara atau teman perempuan , pernah tidak curhat atau minta pendapat bahkan berdiskusi sama mereka soal apapun seperti sekolah, ideologi atau masa depan. Kalian sepakat dan senang karena kalian boleh dapat masukan dari mereka?
Atau kalian (laki atau perempuan) pernah juga merasa marah, terluka dan mengutuki saat tahu teman atau saudara perempuan kalian dilecehkan secara verbal, non verbal atau daring dan tidak menyalahkan mereka.
Mungkin kalian juga kemarin sepakat dan dukung dengan tindakan berani Via Vallen yang men-Screenshot DM pesepak bola yang melecehkan dia.
Merasa heran atau sedih saat teman perempuan kita terlalu memaksaan diri untuk terlihat wow, cantik, menawan kayak suntik putih, ngak makan berhari-hari, berdandan berlebihan kayak apa gitu, jadi konsumerisme untuk produk pabrikan. Semuanya itu dilakukan untuk pacar, gebetan, atau pandangan umum, bisa juga bukan hanya sedih atau heran tapi kita berusaha untuk menghentikan kegilaannya.
Apa itu semua pernah terjadi sama kalian semua? Mungkin ngak semua tapi beberapa ada lah dialami. Terus kenapa? Bukan itu hal yang wajar ? Yah itu benar sekali, itu wajar sekali dan memang seharusnya setiap kita bisa seperti itu.
Tapi tahu tidak bahwa itu juga hal yang sama dialami sama mereka yang sepakat kalau perempuan itu juga manusia dan harus diperlakukan dengan setara.
Tapi ternyata kita sama dengan mereka yang memperjuangkan kesetaraan perempuan. Dan nyatanya kita tidak rugi apa-apa, malah kita merasakan hal postitif baut kita.
Lalu kenapa kita harus menolak ataupun anti dengan kata kesetaraan? Kita sudah melalukan hal-hal dasar dengan pengakuan dalam hati masing-masing. Tinggal menjadikan ini perjuangan bersama karena nyatanya ada banyak perempuan diluar sana yang tertindas oleh system partiarki.
Seperti para buruh perempuan yang mendapat upah lebih rendah karena dia peremuan, tidak dapat cuti haid atau melahirkan, jam kerja yang lebih panjang. Setelah lelah dari perkerjaannya harus dipaksa untuk membersihkan rumah, memasak, memperhatikan anak karena stigma yang ditanamkan bahwa itu adalah pekerjaan perempuan.
Para anak perempuan yang tidak diperbolehkan sekolah, tidak boleh keluar rumah tanpa ada laki-laki disampingnya mau siang atau malam. Diasingkan saat sedang menstruasi atau baru melahirkan karena dianggap najis.
Korban pelecehan atau kekerasaan seksual akibat salah pandang pelaku, yang sialnya diiyakan banyak orang, bahwa perempuan itu lemah, posisinya ada dibawah laki-laki, sebagai bahan candaan-hiburan, atau malah tidak dianggap berharga. Mereka yang mencoba bangkit dari traumatic yang mereka alami.
Tentu ini hanya sebagian dari banyak masalah lainnya. Lalu kenapa kita harus menolak dan membenci mereka yang berjuang untuk kesetaraan perempuan? Bagaimana jika kita saling bergandeng tangan untuk menghancurkan system yang menindas kemanusiaan kita untuk melawan si patriaki itu.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Novi Septiana Pasaribu, penulis, mahasiswa pendidikan sejarah di Medan
Post a Comment