Perempuan, Bagaimana Memaknai Kasih Sayang?
“Hingga menjelang usia 22 tahun, saya memang belum pernah berpacaran sekali pun. Jangankan berpacaran, didekati laki-laki saja saya sudah merasa risih. Tapi, bukan berarti saya tidak tahu bagaimana perempuan dan laki-laki berpacaran. Beberapa teman perempuan saya sering menceritakan tentang pacarnya masing-masing kepada saya. Pada awalnya, jelas yang mereka ceritakan tidak jauh dari sisi romantis, perhatian, dan segala kebaikan si pacar. Sampai-sampai saya sempat dibuat tergoda untuk merasakan berpacaran karena cerita mereka.”
*Luluk Khusnia- www.Konde.co
Selama ini, sebagian besar orang mengidentikkan Februari sebagai bulan kasih sayang. Setiap di antara mereka berlomba-lomba menunjukkan kasih sayang kepada orang-orang terkasih, atau terkhusus pasangannya masing-masing. Lalu, apa yang sebenarnya sedang kita peringati di bulan Februari ini? Kasih sayang itukah? Kasih sayang yang seperti apa?
Selama ini saya sering tergoda untuk berpacaran. Tapi, beberapa lama kemudian, saya melihat banyak kejadian dan cerita teman-teman perempuan yang berangsur-angsur mulai berubah. Ada yang tubuhnya mulai dipaksa dipegang-pegang si pacar, ada juga yang dipaksa berciuman. Apakah teman-teman saya itu menolak diperlakukan demikian? Jelas tidak. Bagaimana mungkin menolak, ketika si laki-laki justru mengatakan bahwa ajakan itu sebagai bukti atau tanda kasih sayang? Jika tidak mau menuruti ajakan itu, maka si laki-laki akan menganggap si perempuan sudah tidak sayang kepadanya dan mengancam akan memutuskan hubungan saat itu juga.
Saya sampai berpikir, apakah berpacaran semengerikan itu? Apakah seorang perempuan harus tunduk sepenuhnya kepada laki-laki, menuruti semua keinginan laki-laki, bahkan dengan mudah memberikan tubuhnya untuk laki-laki?
Tidak berhenti sampai di cerita teman-teman saya itu, masih ada hal lain yang lebih mengerikan, yang saya temukan ketika sedang melakukan praktik kuliah lapangan di kepolisian: perempuan dan anak-anak di bawah 18 tahun yang dicabuli dan diperkosa oleh pacarnya sendiri.
Lagi-lagi, kasus-kasus itu terjadi dengan pola dan motif yang hampir sama. Ada yang dilakukan saat perayaan hari jadian, hari ulang tahun, perayaan tahun baru, dsb. Si perempuan dibahagiakan hatinya, dibawa ke tempat yang sepi, dibujuk dengan rayuan dan kata-kata sayang, lantas diajak berhubungan seksual. Semua itu dianggap sebagai bukti kasih sayang: kasih sayang yang dikehendaki laki-laki, tapi sebenarnya tidak dikehendaki pihak perempuan. Bahkan, si laki-laki berjanji akan bertanggung jawab dan menikahi si perempuan kalau terjadi hal yang tidak diinginkan setelah berhubungan seksual, seperti kehamilan misalnya.
Namun, apakah janji itu ditepati? Hanya segelintir yang mau bertanggung jawab, itu pun lantaran didesak banyak pihak. Selebihnya, ada yang kabur, ada yang semakin berkelit dalam proses hukum, dsb.
Apa yang telah saya lihat, saya dengar, bahkan saya rasakan, setidaknya telah membuat saya berpikir bahwa selama ini perempuan masih belum memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri. Hampir semua di antara perempuan-perempuan yang saya ceritakan itu, berdalih tidak berani menolak bujuk rayu dan kata-kata sayang si pacar ketika diajak bertindak terlalu “jauh”.
Ada yang tidak berani menolak karena mendapatkan ancaman. Ada pula yang tidak berani menolak karena merasa berhutang budi atas semua kebaikan dan kasih sayang yang diberikan oleh pacarnya. Dan pada akhirnya, laki-laki bisa dengan bebas menikmati tubuh si perempuan. Saya kira hal serupa juga terjadi pada perempuan-perempuan lain di luar sana: terpaksa menerima ajakan laki-laki.
Berbicara mengenai kasih sayang, kali ini saya akan coba menunjukkan satu hal yang saya anggap cukup meresahkan. Bagi saya, saat ini kita justru sedang memperingati kasih sayang yang mulai disalahartikan dan disalahgunakan. Ya, dalam peringatan kasih sayang ini, sebenarnya kita juga diingatkan bahwa ada hal yang tidak baik-baik saja di balik sesuatu yang kita namakan kasih sayang.
Apa yang saya katakan ini bukannya tidak beralasan. Dalam Lembar Fakta Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan (Catahu Komnas Perempuan) yang diterbitkan pada 7 Maret 2017, tercatat ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan di sepanjang tahun 2016. Kasus-kasus tersebut ditangani oleh 359 pengadilan agama (245.548 kasus) dan 233 lembaga mitra pengada layanan (13.602 kasus) yang ada di Indonesia. Pada tahun yang sama, 1.022 pengaduan kasus juga masuk di Komnas Perempuan, 903 kasus di antaranya merupakan kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga atau relasi personal (KDRT).
Sedangkan pada tahun 2017, Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kasus KDRT didominasi oleh kasus perkosaan (1.389 kasus) dan pencabulan (1.266 kasus). Selain itu, 135 kasus perkosaan juga terjadi dalam perkawinan. Pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah KDRT adalah pacar, yakni sebanyak 2.017 orang.
Bukankah sudah seharusnya kita tidak menutup mata dengan fenomena semacam ini? Kasus-kasus yang disebutkan di atas sebenarnya ada dan terjadi di sekitar kita.
Dalam hubungan pacaran misalnya. Berapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi dalam hubungan pacaran? Sudah berapa kasus yang kita dengar, terkait seorang perempuan yang dicabuli atau bahkan diperkosa oleh pacarnya? Dan, ada berapa bayi yang terlahir dari hubungan pacaran, lalu perempuan yang harus menanggung semuanya, merawat bayinya sendiri dan laki-lakinya pergi?. Pernahkah kita berpikir bahwa ada di antara kasus-kasus itu yang terjadi atas nama kasih sayang?
Menurut saya, menyerahkan tubuh perempuan pada laki-laki atau bahkan berhubungan seksual, bukan bukti mutlak dari kasih sayang. Meskipun di satu sisi, berhubungan seksual juga bisa mempererat hubungan, tapi coba perhatikan, di luar sana masih banyak pasangan yang kemudian memilih berpisah setelah berhubungan seksual pra-nikah secara paksa.
Ingat, jika kau tidak nyaman dengan “ajakan” pacarmu yang laki-laki itu, maka kau sangat berhak untuk menolaknya. Tanyakan pada dirimu, apakah “ajakan” pacarmu itu bagian dari kasih sayang atau nafsu? Kau punya kendali atas tubuhmu sendiri. Jangan biarkan pacarmu itu dengan mudah menjamahmu atau bahkan membawamu ke atas ranjang, tanpa ada persetujuan darimu. Ada kalanya kau perlu berhati-hati dengan kebaikan, rayuan, ataupun janji dari pacarmu, agar tidak menyesal di kemudian hari…
Jadi, mari kita pikirkan kembali…
Apakah kasih sayang itu dibuktikan ketika bibir laki-laki melumat bibir perempuan secara paksa?
Apakah kasih sayang itu dibuktikan ketika penis laki-laki berhasil memasuki vagina perempuan tanpa ada kesepakatan dari keduanya?
Dan, apakah kasih sayang itu dibuktikan dengan kehadiran janin-janin yang tidak dirawat oleh laki-laki?
Tidak! Bukan itu yang dinamakan kasih sayang…
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)
*Luluk Khusnia, Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang yang sedang menempuh semester akhir S1. Aktif sebagai pers mahasiswa.
Post a Comment