Benarkah Pernikahan itu Hanya Sekali Seumur Hidup?
*Aifiatu Azaza Rahmah- www.Konde.co
Kamu pernah jatuh cinta? Sebenar-benar cinta? Yakin? Lantas, cinta yang bagaimana? Oke, pastikan kamu sudah mencatat baik-baik semua jawaban dari pertanyaan barusan ya.
Saya sebenarnya tidak akan membicarakan perihal apa itu cinta. Berdebat dengan kamu hanya untuk memastikan makna dari sebuah kata. Pun saya bukan filsuf yang akan menerjemahkan semua hal absurd kehidupan di muka bumi. Sebab saya hanya ingin mengajak kamu berjalan-jalan ke dunia di mana dimana saya tinggal, melihat dengan kedua pasang mata saya, mendengar beragam hal, dan merasakan kehidupan di sekitar saya. Kamu mau?
Di dunia tempat saya tinggal, jika sudah memutuskan mencintai seseorang, maka kebanyakan akan memilih untuk menjalin sebuah relasi/ hubungan. Bisa pacaran. Bisa juga pernikahan. Keduanya, di sistem sosial kami, ada-ada saja segaduh perayaan untuk memberi cipratan kebahagiaan.
“PJ (baca: Pajak Jadian) dong!” teriak seorang karib jika salah satu sahabatnya telah mengubah status kejombloannya menjadi taken. Akan ada perayaan kecil yang cukup membahagiakan, mentraktir makan kawan satu geng barangkali.
Perayaan lebih besar lagi, jika dua sejoli telah saling bertemu dengan keluarga besar masing-masing. Menentukan tanggal pernikahan di hari baik bagi sebagian orang. Memilih gaun pengantin. Menentukan dekorasi dan riasan wajah saat resepsi, gayanya bisa bermacam-macam, mulai dari tradisional sampai yang mengikuti tuntunan dunia perinstagraman. Itu semua hanya untuk memenuhi ceremony yang dilaksanakan bisa sampai tiga hari dengan mengundang kerabat, warga sekampung, dan segala jenis teman (kecuali mantan).
“Datang ya ke pernikahanku. Maaf undangan dikirim via online ya,” kata karib di kota lain melalui aplikasi masa kini yang hanya bisa dipakai pada jejaring ponsel pintar.
Kedua perayaan itu, bagi saya cukup membahagiakan, bisa datang bertemu kawan, makan gratis dan mendapat buah tangan, souvenir pernikahan. Tidak peduli jika akan muncul pertanyaan kapan nyusul atau mana pasanganmu sebagaimana ketika perempuan datang ke pesta perkawinan tanpa pasangan. Yang jelas, saya selalu melihat, diantara hiruk-pikuk pesta itu, diantara keduanya, sama-sama memiliki kemungkinan. Perpisahan. Perselingkungan. Maka sejarah akan mencatat mengenai putus pacaran, menjadi mantan, atau putus pacaran, menjadi manten. Pun pernikahan, ada kemungkinan perceraian, dan status sosial kembali mengalami perubahan, duda atau janda.
Bukankah diantara kedua hubungan tadi ada klaim tentang cinta?
Balikan atau rujuk atau cinta lama bersemi kembali, menjadi sesuatu yang perlu banyak dipertimbangkan lagi. Terutama alasan kenapa hubungan sebelumnya bisa berakhir dan bagaimana orang tersebut memandang pasangannya.
Ada semacam kesadaran individu untuk tetap mempertahankan hubungan ataupun memilih untuk berpisah dengan dorongan mencari sesuatu yang dikenal sebagai kebahagiaan sehingga selama hidup nanti hanya terjebak dengan satu orang yang tepat dan diinginkan. Tidak melulu karena mendengar cerita atau postingan jejaring sosial orang lain yang terlihat bahagia kemudian menjadi ikut-ikutan saja.
Jadi di dunia saya juga mengenal tentang agama yang menyatakan bahwa perkawinan itu sakral dan hanya dilakukan satu kali saja. Namun banyak kawan saya yang lain tidak mau meyakini itu. Kami justru meyakini bahwa pacaran atau pernikahan tidak cuma sekali. Kami menolak poligami, dan kami yakin bahwa semua orang berhak untuk pergi jika mengalami kekerasan dalam berelasi, tidak bahagia ketika pasangannya melakukan kekerasan. Perselingkuhan di belakang.
Tidak usah menyesal jika pernah mentraktir makan kawan, namun setelah itu putus di tengah jalan. Tidak usah menyesal jika sudah pernah mengundang banyak orang, ada resepsi, ada baju mewah, ada bulan madu yang diumumkan di sosial media. Karena sebenarnya, kita berhak untuk keluar dari semua itu jika kita tidak bahagia. Saya akhirnya menyetujui satu hal bahwa: kita berhak untuk bahagia, baik ketika masih pacaran, menikah atau keluar dari relasi-relasi itu. Bukankah begitu? Hidup tak melulu sebuah ruang bagi yang berpasangan, namun ruang ini adalah ruang seluas samudera, bagi siapapun. Baik yang berpasangan atau tidak.
Disudahi dulu ya, jalan-jalan di dunia saya. Sekarang cobalah kembali ke paragraph awal, apa ada perubahan dari jawabanmu?
*Aifiatu Azaza Rahmah, hanya seorang yang lebih suka berbicara dengan tulisan. Biasanya bermain di akun facebooknya.
Post a Comment