Header Ads

LGBT dan inklusi sosial: apa kata survei


File 20180209 51706 idnppx.jpg?ixlib=rb 1.1

Survei menyebutkan LGBT masih disingkirkan secara sosial pada tataran komunitas, tapi lebih diterima secara sosial dalam keluarga.
Africa Studio/shutterstock.com



Irwan Martua Hidayana, Universitas Indonesia

Serangan terhadap orang-orang LGBT (Lesbian, gay, biseksual, dan transgender) di Indonesia meningkat lagi belakangan ini, mengulang perdebatan sengit yang terjadi pada 2016. Hal ini dipicu oleh penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap sebuah permohonan untuk melarang perilaku seks pranikah dan seks sesama jenis pada Desember tahun lalu. Upaya untuk melarang perilaku seksual ini sekarang sudah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat yang sedang membahas revisi KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).


Liputan media kembali menyoroti LGBT sebagai ancaman, degradasi moral, dosa dan bisa dipidana. Di tengah-tengah “kampanye” anti-homoseksualitas, pada 25 Januari 2018 dirilis sebuah survei nasional tentang sikap masyarakat terhadap LGBT. Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) ini barangkali adalah yang pertama di bidang ini. Menggunakan multistage random sampling, 1.220 responden diwawancarai dalam survei ini.


Beberapa temuan utamanya meliputi:


• 58,3% responden tahu atau pernah mendengar tentang LGBT.




Dari mereka yang tahu tentang LGBT:


• Mayoritas (87%) menganggap LGBT adalah ancaman.


• 79% merasa tidak nyaman mempunyai tetangga LGBT.


• Sekitar 46% bisa menerima jika anggota keluarga mereka adalah LGBT.


• Sekitar 58% berpandangan bahwa LGBT berhak hidup di negeri ini.


• 50% berpandangan bahwa negara harus melindungi LGBT.






Lebih diterima dalam keluarga


Secara umum, survei ini menunjukkan tingkat inklusi sosial dalam masyarakat Indonesia terhadap LGBT. Inklusi sosial adalah sebuah proses dalam upaya meningkatkan partisipasi individu-individu dan kelompok-kelompok kurang beruntung dalam masyarakat. Inklusi sosial meliputi upaya meningkatkan berbagai peluang, memberikan akses terhadap sumber daya, penerimaan sosial, dan penghormatan hak.


Tampaknya LGBT masih disingkirkan secara sosial pada tataran komunitas, tapi lebih diterima secara sosial dalam keluarga. Survei ini juga menunjukkan bahwa persepsi terhadap orang-orang LGBT dalam masyarakat tidak selalu negatif.


Sayangnya, dalam survei ini tidak jelas apa yang dimaksud dengan “ancaman LGBT”. Ancaman macam apa yang dirasakan orang terhadap LGBT? Mengingat perdebatan-perdebatan yang terus berlangsung tentang LGBT, saya rasa yang disebut “ancaman LGBT” adalah ancaman moral dan LGBT sebagai penyakit.


Di samping itu, istilah LGBT mempunyai beberapa makna bagi masyarakat umum. Pertama, LGBT sering merujuk pada homoseksualitas. Kedua, istilah ini terkait dengan penampilan fisik seperti laki-laki yang keperempuan-perempuanan, perempuan tomboy atau berlintas busana (cross-dressing), terutama waria-perempuan transgender. Ketiga, LGBT kadang-kadang diyakini “menular”, seperti penyakit. Mudah dijumpainya para waria, hingga kadar tertentu, mengurangi stigma. Meski begitu, sering kali mereka menempati status sosial rendah (pekerja seksual, pengamen, penata rambut) dan karena itu waria sering mengalami pelecehan.


Beda survei, beda hasil


Sebuah survei tentang stigma dan inklusi sosial terhadap gay dan waria yang saya lakukan pada 2012 bersama dua kolega dari Universitas La Trobe University, tapi belum diterbitkan, menunjukkan hasil cukup berbeda. Di Jakarta, Makassar, dan Surabaya kami mewawancarai 611 orang di tempat-tempat umum seperti terminal, taman, dan mal. Sekitar 40% responden, yang mengenal gay (waria), merasa tidak nyaman jika anggota keluarga mereka adalah gay (waria). Tetapi, sekitar 22% dari mereka yang mengenal gay (waria) dan 55% dari mereka tidak mengenal komunitas tersebut merasa tidak nyaman hidup berdekatan dengan gay (waria).


Hasil-hasil ini berbeda secara signifikan dengan survei SMRC. Kendati demikian, survei SMRC itu menangkap sikap kemasyarakatan umum yang tampaknya berubah terhadap LGBT. Survei itu mengungkapkan bahwa eksklusi sosial terhadap LGBT meningkat, terutama di tingkat komunitas—sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya tingkat penerimaan memiliki tetangga LGBT.


Penting untuk digarisbawahi bahwa survei dan wawancara kami dengan para informan kunci para 2012 itu mendukung sebuah “hipotesis kontak”. Dalam hipotesis ini mengenal seorang laki-laki gay atau seorang waria terkait dengan respons lebih positif dan manusiawi terhadap mereka. Di antara mereka yang kenal dengan orang gay atau waria, sekitar 60% bisa menerima jika anggota keluarga mereka adalah gay atau waria. Bagaimana pun juga, temuan ini sangat berbeda dengan hasil survei terbaru SMRC tersebut.


Sebagian data kami menunjukkan bahwa bukannya berempati terhadap ketidakberuntungan yang dialami laki-laki gay dan waria, respons yang lebih umum adalah rasa kasihan. Para informan kunci menggunakan rasa kasihan untuk memperlihatkan kepedulian mereka, tetapi sikap ini justru menyebabkan marginalisasi lebih besar, bukan partisipasi dan inklusi yang lebih besar. Sikap ini memperkuat gagasan bahwa gay dan waria—dan LGBT pada umumnya—tidak bisa benar-benar dipahami dari luar.


The ConversationSurvei SMRC tentang LGBT adalah sebuah upaya penting untuk memahami persepsi masyarakat Indonesia. Survei reguler dan lebih ketat sangat perlu dilakukan untuk menangkap dinamika sikap masyarakat terhadap LGBT. Walau banyak dalam data ini yang mencemaskan, data ini juga menunjukkan banyak itikad baik dan optimisme. Lebih dari itu, berdasarkan studi kami, sebagian besar dari mereka yang diwawancarai benar-benar menginginkan yang terbaik bagi komunitas-komunitas tersebut, tapi tak banyak yang punya akses pada model-model produktif dan realistis untuk mencapai inklusi sosial yang lebih besar.


Irwan Martua Hidayana, Associate Professor, Department of Anthropology, Universitas Indonesia


Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.