Tes Keperawanan Adalah Bentuk Serangan Seksual
Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co - Tes keperawanan, bukanlah hal baru dalam sejarah diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia.
Namun anehnya, tes keperawanan sampai saat ini masih dianggap sebagai sebuah tes yang wajar untuk perempuan dengan tujuan untuk mengetahui apa seorang perempuan pernah melakukan hubungan seksual atau belum, masih perawan ataukah tidak.
Metode tes keperawanan yang berupa tes 2 jari adalah sebuah bentuk serangan seksual, dimana hal ini diberlakukan untuk calon Polwan dan tentara perempuan di Indonesia (sebagai bagian dari tes kesehatan).
Tes tersebut juga pernah hampir diwajibkan oleh Dinas Pendidikan Kota Prabumulih Sumatera Selatan bagi calon siswi SMA di Prabumulih pada tahun 2013 lalu.
Pandangan yang sama kembali disampaikan baru-baru ini oleh seorang pejabat publik yaitu seorang hakim, Dr. Binsar M. Gultom, S.H., S.E., M.H. dalam bukunya yang berjudul Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia” halaman 194:
"Untuk itu, harus ada tes keperawanan. Jika ternyata sudah tidak perawan lagi, maka perlu tindakan preventif dan represif dari pemerintah. Barangkali, pernikahan bisa ditunda dulu. Mengapa harus demikian? Karena salah satu yang membuat terjadinya perpecahan dalam rumah tangga karena perkawinan dilakukan dalam keadaan terpaksa, sudah hamil terlebih dahulu," ujar Binsar menyikapi banyaknya angka perceraian di Indonesia (Detiknews, Minggu 10 September 2017). Jika memang masih ragu, lanjut Binsar, orangtua bisa menindaklanjuti dengan melibatkan tim medis (Antaranews, Minggu 10 September 201). Demikian pernyataan Dr. Binsar M. Gultom, S.H., S.E., M.H. dalam wawancara dengan media.
Dari sini terlihat bahwa tes keperawanan merupakan praktik diskriminatif terhadap perempuan karena dilatari oleh prasangka berbasis gender mengenai moralitas perempuan dalam masyarakat yang merendahkan martabat perempuan, menyakitkan secara fisik, memalukan secara psikis, dan menimbulkan efek trauma bagi perempuan, tidak memiliki manfaat medis, dan jelas bertentangan dengan konstitusi, utamanya Pasal 28I Ayat 2 untuk hak bebas dari diskriminasi dan Pasal 28G Ayat 1 tentang hak atas perlindungan diri, harkat dan martabat, dan Pasal 27 Ayat 1 tentang hak kesamaan di hadapan hukum dan pemerintahan.
Organisasi perempuan Kalyanamitra dalam pernyataan persnya melihat bahwa tes keperawanan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, terutama melanggar 3 Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia yaitu : Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Konvensi Sipol), khususnya dalam pasal 7 tentang larangan terhadap kekejaman, tindakan tidak manusiawi dan merendahkan martabat seseorang, Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) khususnya Pasal 16, dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) khususnya Pasal 1 dan 12.
Ketua Kalyanamitra, Listyowati menyatakan bahwa tes keperawanan juga bertentangan dengan Perma (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perma merupakan aturan bagi hakim untuk mengadili perempuan secara adil, tidak hanya secara hukum acara, tetapi juga secara substantif.
Dalam Perma itu, ada 4 hal yang dilarang bagi hakim:
1.Pertama, Hakim tidak boleh menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan yang berhadapan dengan hukum.
2.Kedua, hakim tidak boleh membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat dan praktik trandisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender.
3.Ketiga,hakim tidak boleh mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku.
4.Keempat,hakim dilarang mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengadung stereotip gender.
Tes keperawanan yang didasarkan pada ada tidaknya selaput dara sangat lemah pembuktiannya secara medis, karena setiap individu kondisinya berbeda dan berubah selaput daranya karena faktor-faktor yang tidak selalu berhubungan dengan aktifitas seksual.
“Tes keperawanan yang melibatkan tim medis, meskipun dilakukan atas permintaan orang tua, akan melanggar hak atas integritas fisik dan psikologis seseorang, dimana setiap orang berhak memutuskan segala tindakan medis atas tubuhnya serta berhak menolak tindakan medis yang dilakukan diluar persetujuan dirinya. Situasi ini memperlihatkan bukan hanya pemahaman yang rendah dan perspektif yang buruk tentang Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, tetapi juga tidak ada niat baik sebagai aparat penegak hukum untuk menjalankan mandat konstitusi dalam melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi Hak Asasi Manusia,” ujar Listyowati.
Tes keperawanan, jelas tidak dapat digunakan sebagai pencegah perceraian, menyelesaikan masalah kehamilan pada remaja, maupun menjawab permasalahan dampak buruk aktifitas seksual bagi kelompok muda.
“Lebih jauh, tes keperawanan tidak relevan digunakan sebagai mekanisme formal perekrutan aparat negara (sebagaimana praktek di instansi kepolisian dan militer). Maka kami mengutuk yang dinyatakan oleh Dr. Binsar M. Gultom, S.H., S.E., M.H selaku Hakim dengan alasan apapun karena tes keperawanan adalah sebuah bentuk tindakan diskriminatif yang melanggar konstitusi, prinsip DUHAM, Konvensi SIPOL, CAT dan CEDAW, serta kebijakan terkait HAM lainnya di tingkat nasional.”
Kalyanamitra juga meminta kepada Dr. Binsar M. Gultom, S.H., S.E., M.H. untuk menarik kembali atau mencabut ide/gagasan tes keperawanan baik seperti yang dinyatakan dalam bukunya “Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia” terkait tes keperawanan.
Selain itu mereka juga meminta Komisi Yudisial lebih tegas dalam menjalankan fungsinya untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim, seperti pada kasus Dr. Binsar M. Gultom, S.H., S.E., M.H atas pernyataan dan tulisannya dalam buku tersebut, serta memberikan sangsi yang tegas kepada beliau.
“Mendesak seluruh lembaga negara untuk mencegah atau mencabut segala kebijakan terkait dengan praktek tes keperawanan atas alasan apapun sebagai bukti komitmen pemerintah untuk menjalankan secara konsisten dan sungguh-sungguh Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Sekaligus mengajak masyarakat untuk sama-sama menghentikan tekanan sosial pada perempuan untuk melakukan tes keperawanan sebagai pembuktian atas kehormatan dirinya karena melanggar Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Asasi Perempuan,” ujar Listyowati.
Post a Comment