Selamat Tinggal Ibu: Hidup, Pekerjaan dan Segalanya Sungguh Menyakitkan
Kematian Mita Diran, perempuan Indonesia yang bekerja secara non stop selama 30 jam sebagai copy writer di tahun 2013 menjadi penanda tingginya jam kerja bagi para pekerja media kreatif, juga tentang pentingnya perlindungan bagi para pekerja. Jam kerja yang panjang dan tekanan untuk sukses, telah memakan korban nyawa para pekerja tak hanya di Indonesia, tapi juga seluruh Asia. Ini adalah kisah-kisah itu:
Kematian Pekerja di Jepang
“Selamat tinggal, ibuku tersayang. Hidup, pekerjaan, dan segalanya sungguh menyakitkan.”
Setelah mengirimkan pesan ini kepada ibunya, Seorang perempuan pekerja di Jepang bernama Matsuri Takahashi melompat dari asrama perusahaannya di Tokyo tanggal 25 Desember 2015.
Saat itu Takahashi adalah seorang pegawai di Dentsu, sebuah agensi periklanan terbesar di Jepang. Kematiannya secara resmi diakui sebagai kasus karoshi—kematian akibat kerja berlebihan. Undang-undang karoshi Jepang melingkupi baik tindakan bunuh diri maupun kematian akibat penyakit yang disebabkan kerja berlebihan.
Meskipun Dentsu telah memiliki perjanjian kerja bersama yang membatasi waktu lembur sebanyak 70 jam per bulan, Takahashi yang berusia 24 tahun menjalani lembur lebih dari 100 jam.
Ia mencatat hari-hari menyakitkan itu di Twitter:
“Mendapat kata-kata yang sangat kasar tentang dokumen yang kukerjakan seharian saat libur. Hati dan tubuhku benar-benar hancur,” tulisnya di salah satu cuitan.
(Matsuri Takahashi dan ibunya, Yuimi di Tembok Besar Cina, Mei 2013 (Sumber: The Mainichi)
Budaya Kerja di Dentsu Terkenal Sangat Menuntut.
“Kami perusahaan yang mengutamakan klien,” seorang pegawai Dentsu berusia 50-an memberi tahu Nikkei Asian Review.
Ia dan rekan kerjanya diharapkan melakukan apapun untuk memuaskan klien mereka.
“Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di kantor atau stasiun televisi. Aku tidak punya banyak waktu untuk pulang ke rumah,” ujarnya, mengingat hari-hari pertamanya bekerja pada tahun 1980-an.
Budaya perusahaan yang ketat telah membantu Dentsu membangun jaringan yang sangat erat dengan para pengiklan, media, dan bahkan pemerintah. Perusahaan tersebut menawarkan gaji yang tergolong paling tinggi di Jepang dan menarik lulusan dari universitas ternama. Dengan sekitar 7.000 pegawai yang tersebar di beragam bisnisnya, Dentsu memiliki pengaruh yang sangat luas di Jepang.
Namun kedatangan media sosial dan periklanan internet telah mengubah bisnis periklanan secara drastis. Gaya pemasaran yang tradisional—saat seorang pramuniaga bertanggung jawab atas klien dari perusahaan tertentu dan memastikan mereka memperoleh kolom iklan di koran dan televisi—tidak lagi menjadi yang utama.
Berbeda dari periklanan konvensional, periklanan internet perlu diubah dan diperbarui secara rutin sesuai umpan-balik yang diterima.
“Periklanan internet tidak menghasilkan banyak keuntungan, tetapi membutuhkan usaha yang besar dan keterampilan yang berbeda dari periklanan konvensional,” ujar seorang pegawai di agensi periklanan internet terkemuka.
Takahashi bekerjadi bagian periklanan internet Dentsu.
Bagaimanapun, periklanan televisi masih menjadi sumber pemasukan utama perusahaan, dengan penjualan non-konsolidasi mencapai 44% di tahun 2015. Itulah mengapa, “Logika dalam periklanan televisi adalah logika yang berlaku di Dentsu,” pegawai yang berusia 50-an tadi berkata.
Para manajer yang tidak terlalu melek teknologi sering kali memberi perintah yang tidak jelas atau tidak tepat kepada bawahan mereka. Bagi pekerja yang berusaha memenuhi harapan dari bos mereka, kerja berlebihan sering kali menjadi satu-satunya pilihan.
Setelah ibunda Takahashi mengumumkan kabar bunuh diri putrinya di bulan Oktober, Dentsu melarang pekerjanya bekerja di kantor setelah pukul sepuluh malam.
Namun mengubah budaya perusahaan yang telah tertanam kuat mustahil terjadi dalam semalam.
“Bahkan jika kami diberitahu supaya tidak bekerja lembur, sulit bagi kami untuk mematuhinya, mempertimbangkan hubungan kami dengan klien,” pegawai Dentsu lainnya berkata.
Meskipun peristiwa bunuh diri Takahashi—dan pesan penuh deritanya di Twitter—telah membantu mengungkap kembali permasalahan ini, karoshi bukanlah isu baru di Jepang.
Menurut kementerian tenaga kerja Jepang, terdapat 96 kematian akibat penyakit yang secara resmi diakui berhubungan dengan kerja berlebihan dalam setahun hingga Maret 2016.
Sepanjang 12 bulan tersebut, 93 peristiwa bunuh diri atau percobaan bunuh diri diakui sebagai akibat bekerja berlebihan. Fenomena ini menjadi sangat terkenal di lingkup internasional, sampai-sampai kata “karoshi” dicantumkan dalam kamus Bahasa Inggris.
Walaupun rinciannya berbeda-beda, negara-negara lain di Asia juga berkutat dengan isu yang sama. Berdasarkan data mutakhir dari Organisasi Buruh Internasional (ILO), 32% pekerja di Korea Selatan bekerja 49 jam atau lebih per minggu. Perbandingan ini mencapai angka 30% di Hong Kong, 25% di Singapura, dan 21% di Jepang. Angka-angka ini berbeda jauh dengan negara-negara Barat: Amerika Serikat di angka 16%, dan Perancis 10% (Bersambung)
KENTARO IWAMOTO dan YU NAKAMURA, Staf penulis Nikkei. Nobuyuki Okada, wakil editor Nikkei di Tokyo dan Seiya Tsuji, staf penulis di Tokyo, Mariko Tai di Beijing, dan Joyce Ho di Hong Kong berkontribusi dalam laporan ini.
Tulisan ini diterjemahkan dari http://asia.nikkei.com/Features/Overworked/Karoshi-Economic-prosperity-at-a-personal-cost oleh Priska Nurina dari Task Force Suicide Primary Prevention atau Gugus Tugas Pencegahan Bunuh Diri dari komunitas Into The Light. Terjemahan ini dipublikasikan oleh www.buruh.co pada April 2016 untuk tujuan pendidikan dan pencegahan bunuh diri terutama pada pekerja kreatif.
Post a Comment