Diskriminasi Perempuan Indonesia
Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Diskriminasi apa saja yang masih mendera para perempuan Indonesia hingga hari ini?
Komnas Perempuan mempunyai sejumlah catatan soal ini. Dalam pernyataan persnya, Komnas Perempuan menulis berbagai kebijakan diskriminatif yang terus bertambah.
Kebijakan diskriminatif ini umumnya muncul pasca pelaksanaan Otonomi Daerah tahun 1999. Dan dalam laporan terakhir, isu-isu yang harus serius diperhatikan Indonesia antara lain: kebijakan diskriminatif, perkawinan anak, mutilasi/sirkumsisi genital perempuan.
Melalui temuannya tentang keberadaan 154 kebijakan diskriminatif pada tahun 2010, Komnas Perempuan telah memperlihatkan bagaimana kebijakan diskriminatif telah memberikan dampak buruk bukan saja bagi kehidupan perempuan, tetapi pada kehidupan tata kelola negara dan konsensus kebangsaan.
Kriminalisasi pada perempuan melalui kebijakan yang mengatur tentang ketertiban umum dan prostitusi, pembatasan hak berekspresi melalui kontrol tubuh, ataupun pembatasan hak kebebasan beragama yang berdampak pada tercerabutnya kehidupan perempuan secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, merupakan bentuk penyikapan negara yang tidak mengenali akar persoalan dari pengalaman perempuan. Identitas perempuan yang beragam yang melekat pada perempuan yang sangat berpotensi terdampak secara langsung dan tidak langsung dari kebijakan diskriminatif tersebut, karena kebijakan tersebut tersebar di 33 provinsi dan keberadaan kebijakan diskriminatif meningkat 273% (dari 154 per tahun 2010 menjadi 421 per Agustus 2016).
Azriana, Ketua Komnas Perempuan menyatakan bahwa selama 7 tahun membangun dialog dengan Pemerintah Pusat dan Daerah tentang Prinsip Non- Diskriminasi, Komnas Perempuan memahami bahwa kebijakan diskriminatif ini belum dikenali sebagai “hama” demokrasi, yang mengakar pada krisis kehidupan bernegara yang tidak secara serius ditangani oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
“Di beberapa wilayah politik identitas justru digunakan sebagai cara untuk mengkonsolidasi kepentingan elit, dibungkus dengan simbolisasi moralitas dan agama. Keberagaman identitas menjadi asing, karena definisi demokrasi prosedural didasarkan pada suara mayoritas dan minoritas,” ujar Azriana.
Bagaimana Implementasi CEDAW di Indonesia?
CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) adalah sebuah Kesepakatan Internasional Untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Konvensi ini mendefinisikan prinsip-prinsip tentang Hak Asasi Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia, norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Indonesia adalah salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi ini dan pada 24 Juli 1984 telah meratifikasinya melalui UU RI No. 7 Tahun 1984. Konvensi ini salah satu dari 8 konvensi hak asasi yang diratifikasi Indonesia.
Sejak kelahirannya, Komite CEDAW sudah melahirkan 34 Rekomendasi Umum (General Recommendation/ GR) sebagai perluasan respon atas berkembangnya isu-isu perempuan yang semakin kompleks.
Melalui GR tersebut, Komite mempunyai alat untuk me-review sebuah negara untuk mempertanyakan dan merekomendasikan isu-isu yang lebih kompleks yang belum terumuskan dalam Konvensi aslinya. GR tersebut antara lain seperti: Isu sirkumsisi perempuan (GR 14), Kekerasan terhadap perempuan (GR 12 dan 19), Isu perlindungan buruh migran (GR 26), Perempuan dalam konteks konflik (GR 30) dan terakhir adalah tentang perempuan pedesaan (GR 34).
Sebagai salah satu mekanisme HAM nasional, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggunakan kerangka CEDAW dalam kerja-kerjanya, mengkontribusikan temuan dan pengetahuan untuk memperkaya instrumen HAM, termasuk turut dalam konsultasi merumuskan rekomendasi general yang berbasis modalitas Komnas Perempuan, memfasilitasi Komite CEDAW dengan informasi substantif maupun jaringan yang dibutuhkan dalam kunjungannya ke Indonesia atau pertemuan regional maupun internasional.
Adriana Venny, komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa selain itu, Komnas Perempuan juga intensif menyerahkan laporan reguler kepada Komite CEDAW tentang implementasi Konvensi ini di Indonesia, utamanya tentang kekerasan terhadap perempuan sebagai dasar Komite untuk menyampaikan rekomendasi pada Indonesia.
“Dalam laporan terakhir, isu-isu yang harus serius diperhatikan Indonesia antara lain kebijakan diskriminatif, perkawinan anak, mutilasi/sirkumsisi genital perempuan. Catatan Komnas Perempuan atas pelaksanaan CEDAW di Indonesia antaralain menyebutkan bahwa isu-isu yang berkembang, baik diskriminasi maupun kekerasan semakin kompleks dan massif dibandingkan respon negara dalam menanganinya,” ujar Adriana Venny.
Selanjutnya kekerasan semakin banyak terjadi dan lintas batas (trafficking, drug trafficking, migrasi), namun Konvensi ini saat dijadikan undang-undang terjadi miopisme atau penyempitan ruang perlindungan yang hanya melindungi warga negara tersebut dibanding melindungi perempuan lintas batas.
Komnas Perempuan juga melihat semakin minimnya sosialisasi substansi CEDAW atau UU RI No. 7 Tahun 1984 kepada aparatus negara maupun publik sebagai prinsip hak konstitusional perempuan sebagai manusia dan warga Negara, belum optimalnya pengawalan yang sistemik dan sistematik atas rekomendasi komite CEDAW, keterlambatan laporan RI kepada Komite CEDAW adalah kelengahan tanggung jawab moral Indonesia pada mekanisme HAM internasional dan potensial jadi preseden bagi negara-negara lainnya.
Terkait isu kekerasan terhadap perempuan dan untuk memastikan pelaksanaan mandat CEDAW oleh Pemerintah dalam memberikan perlindungan korban, maka Komnas Perempuan bersama mitra-mitranya membuka akses dan mengolahnya menjadi temuan-temuan penting:
1. Pelaporan Januari-Juni 2017 yang diterima Komnas Perempuan mencapai angka 646 kasus, di mana 90% (584) adalah kasus kekerasan berbasis gender dan sebanyak 10% (62 kasus) adalah kasus yang tidak berbasis gender dan hanya meminta informasi tentang lembaga Komnas Perempuan atau tentang kekerasan terhadap perempuan. Pelaporan pada umumnya dilakukan karena korban menemui kemandekan dalam upaya penanganan kasus-nya dan korban tidak mendapatkan respon yang semestinya guna memulihkannya
2. Kasus kekerasan yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan didominasi oleh kekerasan dalam relasi personal yang mencapai 74% (433 kasus) dari total 584 kasus. Kekerasan di komunitas mencapai angka 17% (101 kasus) dan 9% (50 kasus) adalah kekerasan di ranah negara
3. Pelaporan atas Kasus KDRT selalu tertinggi (74%) dimana kekerasan terhadap istri mendominasi sebesar 298 (68%), 50 kasus KDP (11%) dan kasus kekerasan oleh mantan suami sebanyak 29 kasus (6%), sementara kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 26 kasus (6%). Kasus kekerasan yang rumit adalah kekerasan yang mengapit kekerasan dalam relasi perkawinan, yaitu kekerasan dalam pacaran dan kekerasan paska perceraian oleh mantan suami maupun keluarganya yang selalu dipisahkan dari relasi dalam rumah tangga. Padahal fakta KDRT tetap berlanjut, sekalipun telah terjadi perceraian, dimana pelaku adalah mantan suami, seperti dalam kasus perebutan hak asuh anak, nafkah, pemotongan atau penelantaran hak mantan isteri dan kekerasan lainnya
4. Pengaduan kekerasan di ranah komunitas menempatkan perkosaan sebagai salah satu bentuk dari kekerasan seksual yang mendominasi, dengan persentase sebanyak 32% atau sebanyak 33 kasus, berikutnya adalah kekerasan di tempat kerja sebanyak 21% (22 kasus), kekerasan di tempat umum sebanyak 8% (9 kasus) dan 7% kasus pelecehan seksual (8%). Pengetahuan kekerasan seksual tetap pada jenis perkosaan dan pelecehan seksual. Keberanian melaporkan kekerasan seksual di tempat kerja ke Komnas Perempuan juga sudah mulai terlihat, seperti kasus BN yang dikriminalkan ketika mencoba mengungkapkan kasus kekerasan seksual yang menimpanya
5. Kekerasan di ranah negara yang diadukan ke Komnas Perempuan berjumlah 50 kasus diantaranya yang menonjol adalah kasus kekerasan terhadap perempuan dalam konflik Sumber Daya Alam yang diantaranya juga mengalami kekerasan seksual, kekerasan dalam konteks beragama dan berkeyakinan, kekerasan dalam penggusuran karena tata ruang dan tata bangun, kekerasan terhadap minoritas seksual, diskriminasi terhadap perempuan di bidang politik atau politisasi tubuh perempuan untuk politik, dan sebagainya. Selain itu kekerasan cyber, femicida (pembunuhan perempuan karena dia perempuan juga minim terlaporkan resmi)
6. Untuk merespon berbagai bentuk kekerasan tersebut, Komnas Perempuan menyampaikan temuan-temuan kepada Aparat Penegak Hukum (APH), mengkatalisasi isu-isu diskriminasi dan kekerasan yang belum mendapatkan perhatian negara dan perlindungan legal, mendorong sistem layanan dan rujukan yang komprehensif dan terjangkau hingga ke desa maupun kepulauan, sebagaimana ditegaskan dalam semangat Konvensi, memperkuat dan silang sinergi dengan mitra-mitra strategis untuk memperkuat analisis dan kerja strategis penanganan kekerasan terhadap perempuan di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional, membuat pandangan hukum atau penyikapan pandangan publik dengan berbasis HAM Perempuan dan mendorong reformasi hukum maupun kebijakan untuk menghentikan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
“Maka Komnas Perempuan mendesak negara untuk menghidupkan dengan sungguh-sungguh CEDAW dalam wacana maupun basis kebijakan Negara, mendesak negara untuk tidak mengulang keterlambatan laporan implementasi CEDAW kepada Komite untuk menunjukkan keseriusan komitmen negara, juga untuk menghindari penilaian internasional bahwa Indonesia lengah dan abai pada komitmen HAM Perempuan. Jangan sampai sikap ini jadi preseden bagi negara lain untuk mengabaikan pelaporan kepada Komite,” ujar Azriana.
Selanjutnya Komnas Perempuan juga mengajak kementerian/lembaga untuk melakukan langkah strategis dan responsif menindaklanjuti surat rekomendasi, rujukan dan koordinasi untuk pemulihan korban sebagaimana mandat CEDAW.
Post a Comment