Menolak Menikah Muda, Memilih Menjadi Srikandi Koperasi
Kustiah- www.Konde.co
Selain bekerja dan kuliah, Sukma menyempatkan diri mengajar di sekolah menengah pertama. Dan yang membuat ia kembali prihatin ketika banyak muridnya putus sekolah dan memilih menikah muda. Dulu ia juga menolak menikah muda dan memilih melanjutkan cita-citanya. Apa yang dilakukannya untuk anak-anak perempuan dan ibu-ibu di tempat ia tinggal?
Awalnya, kemiskinan yang dilihat Sukma, juga ditemui di mana-mana, di sekolah dan di lingkungan tempat dia tinggal, menggerakkan Sukmariyah, 36 tahun, untuk melawannya.
Menjadi miskin bukan keinginan Sukma, panggilan Sukmariah.
Kala kanak-kanak hingga muda Sukma sudah terbiasa bergelut dengan kemiskinan. Bapak ibunya buruh tani, sama seperti kebanyakan warga di kampungnya di Desa Rancagede Kaler, Kecamatan Munjul, Kabupaten Tangerang.
Desa yang berada di ujung Jakarta, berdekatan dengan Rangkasbitung ini sebagian besar penduduknya bekerja sebagai buruh tani dan buruh bangunan. Disini banyak anak-anak perempuan yang dinikahkan ketika muda.
Mungkin hidup Sukma juga tak akan jauh berbeda dengan nasib kawan-kawan sebaya dan tetangganya yang menikah muda jika ia tak punya keinginan kuat untuk mengubah nasib. Menyadari dilahirkan dari keluarga sederhana dengan empat bersaudara Sukma menanam keinginannya kuat-kuat untuk mengubah hidupnya supaya lebih baik.
Menolak Menikah Muda
Di saat teman-temannya menikah di usia muda Sukma remaja justru memilih terus melanjutkan sekolah hingga akhirnya lulus sekolah menengah atas (SMA). Ia menyatakan bahwa ia menolak untuk menikah muda.
Sukma lalu memilih untuk kursus menjahit, karena tak punya biaya untuk melanjutkan kuliah. Ia menelateni ilmu barunya dan memilih menjadi tukang jahit konveksi dengan menjahit seragam sekolah, seragam Pegawai Negeri Sipil (PNS), hingga menjahit sepatu hasil pesanan.
Usaha yang ia jalani sejak tahun 2004 ini perlahan berkembang pesat.
Kondisi ekonominya mulai membaik. Di tengah-tengah kesibukannya bekerja ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah.
"Kondisi miskin semakin membuat saya terlecut untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi," ujarnya kepada penulis di kediamannya beberapa waktu lalu.
Selain bekerja, kuliah, Sukma masih menyempatkan diri mengajar di sekolah menengah pertama. Dan yang membuat ia kembali prihatin banyak muridnya putus sekolah karena tak punya biaya. Anak-anak yang putus sekolah ini kemudian ada yang memilih bekerja dan ada yang menikah.
Tak hanya itu, Sukma tinggal di antara warga yang sebagian besar hidup dalam garis kemiskinan. Tak ayal, sering ia mendapat keluh kesah tetangganya yang membutuhkan uang untuk modal usaha atau sekadar menyambung hidup. Jumlah pinjaman yang diajukan ke Sukma tak besar. Kadang sekitar Rp 200-500 ribu. Namun, meski tak besar kesulitan hidup yang dihadapi para tetangganya rupanya membuat Sukma gusar.
Srikandi Koperasi dan Menjadi Pengusaha
Lulusan Universitas Hamka Jakarta ini lantas berpikir untuk membuat koperasi simpan pinjam. Barangkali, pikirnya, dengan adanya koperasi warga bisa terbantu. Tetapi, masalah baru muncul. Ternyata, meskipun ada uang warga tak juga keluar dari kesulitan ekonomi. Bahkan utang jadi menumpuk.
"Saya dapat kesimpulan baru bahwa yang dibutuhkan orang miskin tak selalu uang," katanya.
Sukma akhirnya menambah fasilitas koperasi yang awalnya hanya berupa simpan pinjam menjadi koperasi yang memberikan fasilitas pendampingan kepada anggotanya jika ingin membuka usaha. Bentuk pendampingan dilakukan mulai dari memilih usaha yang diminati, meminjami modal, melakukan pembukuan, hingga menjembatani ke lembaga pemberi pinjaman modal.
Bidang usahanya kini meliputi konveksi, usaha peternakan lele, peternakan bebek, usaha mikro kecil menengah pembuatan keripik, pembuatan sepatu, bengkel, dan masih banyak bidang usaha lainnya.
Awalnya Sukma mengaku sering menemukan kesulitan saat membentuk bidang usaha yang bernaung dalam koperasi yang ia beri nama 'Gerakan Sukses' atau 'Gerakan Sahabat Usaha Kecil Segera Sejahtera'. Pasalnya, untuk mengubah cara berpikir masyarakat yang biasa menerima tak bisa dilakukan dengan cepat. Jadi perlu pendampingan sekitar dua tahun untuk meyakinkan binaannya bisa mandiri.
"Mereka perlu contoh konkret. Bukan lainnya," ujar Sukma.
Maka, dengan sabar ia menanyakan usaha yang diminati, meminjami modal, dan memberikan bibit jika usaha yang didirikan dalam bentuk peternakan ikan, bebek, atau kambing.
Menurut Sukma, kesenangan memilih usaha anggota koperasinya memperngaruhi kelancaran usaha. Sebelumnya, sering usaha yang buat anggota koperasinya gagal karena ternyata mereka tak menyukai. Akhirnya, Sukma mengikuti 'passion' dan keahlian yang dimiliki anggotanya.
Koperasi semua ia jalankan dan kelola sendiri. Untuk modal Sukma mengandalkan dari hasil usaha konveksi yang ia miliki dan dari dana anggota yang berjumlah sekitar 220 orang. Kini, dengan makin berkembangnya usaha Gerakan Sukses Sukma bekerjasama dengan sejumlah perusahaan yang bisa menyalurkan dana sosialnya untuk memberikan pinjaman dan bekerjasama dengan pihak perbankan.
Saat ini Gerakan Sukses sudah berhasil mendampingi UMKM sebanyak 80 kelompok yang tersebar di beberapa kecamatan di daerah Kabupaten Tangerang dan sekitarnya. Setiap kelompok biasanya terdiri dari 10 orang pengusaha UMKM. Gerakannya juga telah berkembang ke sektor pendidikan. Jika orang tua sulit mengembangkan usahanya Sukma akan 'mengambil' anaknya untuk di sekolahkan.
"Saya harus memutus mata rantai kemiskinan dengan berbagai cara. Salah satunya lewat anaknya," ujarnya.
Anak-anak yang disekolahkan Sukma sekarang mencapai seratus anak lebih.
Sahana (30), salah satu pemilik UMKM pembuatan keripik binaan Gerakan Sukses mengakui kerja keras Sukma. Awalnya, Sahana adalah pedagang jajanan di sekolahan. Ia sering mengaku kesulitan ekonomi apalagi suaminya merupakan korban pemutusan hubungan kerja di pabrik tempatnya bekerja. Sahana lantas mendatangi Sukma untuk berkonsultasi dan berdirilah UMKM pembuatan keripik pisang.
Ia dulu mendapat pinjaman modal koperasi sebanyak Rp2 juta dan pendampingan usaha. Kini, makin berkembang UMKM miliknya Sahana berencana mengajukan pinjaman modal CSR dari salah satu perusahaan pelat merah untuk menambah modal. Dalam sebulan Sahana bisa menjual keripik sebanyak 600 kilo dengan harga per kilonya rata-rata Rp30 ribu.
"Saya tak yakin ada orang seperti kak Sukma yang mau membantu dan memikirkan nasib orang lain," ujarnya.
Ahmad Humaidi (37), peternak bebek asal Kedawung, Mekarbaru, Banten juga berujar sama. Dulu, sebelum bergabung dengan Gerakan Sukses Ahmad hanyalah seorang peternak bebek yang hanya memiliki 200 ekor bebek.
"Dari tahun ke tahun bebek saya ya hanya segitu," kata bapak satu anak ini.
Usaha peternakannya tak pernah berkembang sampai kemudian dia mendapatkan pelatihan tentang budi daya bebek dan mendapatkan suntikan modal. Kini, bebeknya telah bertambah menjadi 500 ekor dengan penghasilan bersih Rp400 ribu per harinya.
"Dulu saya tidak tahu kalau bebek ternyata memiliki masa produktif. Sekarang, berkat pelatihan dan bergabung dengan Gerakan Sukses, usaha peternakan saya maju," ujarnya.
(Foto: Sumariah/ Kompasiana.com)
*Kustiah, Mantan Jurnalis Detik.com, saat ini pengelola www.Konde.co dan Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta
Post a Comment