Perjuangan Perempuan di Sepanjang Sungai
*Abdus Somadh- www.Konde.co
Jogja, Konde.co - Apa yang telah terjadi pada para perempuan di Bantaran kali (bantaran sungai) di Yogyakarta? Dan bagaimana perempuan disana kemudian menjadi ujung tombak sebuah perubahan? Dari menabung, mengajak masyarakat menentukan perubahan, kini telah terjadi perubahan besar di bantaran kali di Yogyakarta tersebut. Abdus Somadh, menelusuri perubahan tersebut:
Perempuan kerap kali menjadi objek pelemahan identitas. Di kalangan masyarakat perkampungan, perempuan sangat rentan akan diskriminasi. Posisi perempuan seolah-olah sudah paten. Hanya akan bisa bekerja pada satu ranah domestik. Kalau dalam beroganisasi dianggapnya tidak akan mampu menggerakkan karena tidak terlalu kuat fisik dan mental.
Stigma tersebut masih melekat di tubuh perempuan. Perempuan seolah-olah sudah punya kodratnya! Begitulah sering kali kita dengar dari tetuah desa dalam memandang perempuan.
Namun hal tersebut tidak berlaku bagi perempuan yang mendedikasikan perjuangannya dalam sebuah organisasi Paguyuban Kalijawi. Berdomisili di Yogyakarta, organisasi ini berdiri sejak tahun 2012. Mereka mampu menggerakkan perempuan-perempuan bantaran Sungai Gajah Wong dan Sungai Winongo untuk sadar diri akan posisi perempuan dalam memperjuangkan hak ruang hidup. Satu hal yang menjadi pedoman mereka adalah kesetaraan dan keadilan. Semua berhak melakukan apapun dan beraktivitas apa saja dengan seadil-adilnya.
Paguyuban Kalijawi terdiri atas 21 kelompok di sejumlah kampung. Mereka aktif bergotong royong menata permukiman demi menjaga kelestarian sungai dan lingkungan di sekitarnya. Bahkan mereka kerap kali melakukan musyawarah bersama untuk menyelesaikan permasalahan secara bersama-sama. Paradigma tersebut terus ditempuh sampai saat ini.
Menabung, Sebagai Tonggak Perjuangan Perempuan
Aktivitas yang benar-benar menjadi tonggak perubahan warga adalah gerakan menabung Rp.2000 sehari. Banyak yang menganggap gerakan tersebut sepele. Namun apa yang terjadi? Mereka berhasil mengumpulkan uang Rp. 600.000.000 dalam kurun waktu kurang lebih 5 tahun.
Bagi mereka menabung adalah solusi perekonomian kampung. Iuran tabungan yang mereka kumpulkan menjadi dana yang bisa digunakan anggota sewaktu-waktu. Mereka ingin membuktikan bahwa sesuatu yang kecil dapat melakukan perubahan yang besar.
Saya berkesempatan bertemu dengan ketua Paguyuban Kalijawi. Ainun, warga bantaran menyebutnya demikian. Ia menceritakan bahwa dalam perjalanannya, uang tersebut digunakan dalam berbagai hal, seperti dalam urusan sosial, ekonomi, kesehatan sampai pendidikan.
“Jika dalam bidang sosial mereka sudah berhasil membantu warga merenovasi rumah yang rusak. Total yang direnovasi mencapai 165 rumah sejak tahun 2012 sampai 2014. Selain itu, warga juga berhasil membuat balai warga yang terbuat dari bambu. Kegunaannya diperuntukkan sebagai ruang terbuka bagi warga untuk melakukan aktivitas apapun. Upaya ini sudah berlangsung selama 5 tahun. Total kini mereka memiliki 3 balai di sepanjang sungai Gajah Wong dan Winongo,” kata Ainun.
Perubahan di Bantaran Kali
Paguyuban Kalijawi yang dimotori oleh para perempuan ini kemudian menjadi sebuah tolak ukur pencapaian perbaikan perubahan status sosial warga bantaran kali di seluruh Indonesia. Mereka juga menjadi salah satu paguyuban yang sering menghadiri kegiatan internasional di luar negeri dengan topik pembahasan dinamika sosial-ekonomi warga bantaran kali.
Paguyuban Kalijawi mencoba membuka pandangan kita. Sejatinya gerakan perempuan kadang tidak hanya dilakukan dengan demonstrasi turun ke jalan, berdiskusi panjang. Namun bisa dilakukan di lingkungan terdekat. Bagi mereka sedikit, namun begitu bermanfaat bagi warga. Dari hal tersebut perubahan nyata dirasakan.
Mengutip pernyataan sebuah majalah yang diproduksi oleh Gerwani dalam memandang perempuan, perjuangan perempuan tidaklah hanya dibatasi pada kampanye nasional atau masalah-masalah yang berhubungan dengan keibuan, tetapi perjuangan bagi emansipasi perempuan adalah secara menyeluruh.
Banyaknya Toko Berjejaring di Internet, Perempuan Melawan Dominasi Kapitalisme
Salah satunya adalah kapitalisme. Kapitalisme sering menjadi momok yang cukup mengerikan bagi perjuangan kaum perempuan. Eksploitasi besar-besaran selalu menghampiri kehidupan mereka. Sudah banyak kita temui bagaimana proses kapitalisme menggerogoti perempuan mulai dari memamerkan lekuk tubuh sampai pada merekontruksi pola pikir menuju budaya konsumtif. Dalam masyarakat feodal, kapitalisme semakin menggila. Porsi untuk menundukkan perempuan lebih besar. Kaum perempuan selalu menjadi korban, mereka dihina dan diperbudak.
Pada studi kasus bantaran kali, praktek-praktek kapitalisme mulai merebak di kampung-kampung ditandai dengan munculnya toko-toko berjejaring. Hal ini secara tidak langsung menjerumuskan pada penghancuran ekonomi warga. Banyak diantara mereka kemudian memilih tutup warung. Karena tak kuasa membendung dominasi kapital.
Hal tersebut juga dirasakan oleh Paguyuban Kalijawi. Mereka yang notabene hidup sebagai kelas bawah dan tinggal di bantaran kali dimanja dengan produk kapitalisme. Mereka terdistori akan diri mereka sendiri. Bagi Kalijawi memilih belanja di tempat yang nyaman, ber-AC dan penuh dengan aneka makanan adalah sebuah ketidakwajaran. Bagi mereka pula, ketika kaum miskin beralih menjadi konsumtif ini adalah satu bentuk keberhasilan kapitalisme menindas mereka.
Mengatasi hal tersebut, Paguyuban yang beranggotakan hampir 300 orang ini kemudian mencoba melawan dominasi kapital di kawasan bantaran kali. Mereka menyadari akan dinamika kampung yang tidak lagi ideal. Perputaran uang orang miskin sudah dialihkan ke pemodal.
Mereka mencoba memutar otak, agar uang orang miskin tetap berputar di kalangan orang miskin. Dasar pemikiran tersebut membuat Kalijawi mendorong semangat kebersamaan yang diterjemahkan dengan membentuk sebuah skema belanja bersama. Belanja bersama merupakan sebuah konsep belanja di kalangan warga yang menyesuaikan kebutuhan masing-masing keluarga. Modal belanja bersama diambil dari tabungan warga.
Dalam prosesnya belanja bersama akan dilakukan di kampung. Warga akan membeli sesuai dengan kebutuhan warga. Belanja barang akan dilakukan langsung ke petani atau ke tempat produksi. Wargalah yang mengontrol pasar dengan mengatur nilai jual-beli suatu barang. Pada prinsipnya mereka sedang menjalankan konsepsi dari warga kembali ke warga.
Perempuan Kalijawi menjadi satu titik keberangkatan dalam memperjuangkan ruang hidup dalam melawan kapitalisme. Tidak banyak yang bisa melakukannya. Dalam hal ini mereka cukup tangguh.
(Para Perempuan organisasi Paguyuban Kalijawi dalam sebuah kegiatan menabung dan mengelola uang di Yogyakarta. Foto: Abdus Somadh)
*Abdus Somadh, Editor Selamatkanbumi.com, aktivis di jaringan agraria di Yogyakarta.
Post a Comment