Header Ads

Hari PRT Internasional, Negara Meninggalkan Perempuan Pekerja Rumah Tangga


Luviana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Di seluruh dunia pada tanggal 16 Juni 2017 diperingati sebagai hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) internasional. Namun walaupun sudah dirayakan di seluruh dunia, nasib PRT masih jauh panggang daripada api.

Data yang dikeluarkan JALA PRT dan LBH Jakarta menunjukkan bahwa PRT Indonesia justru semakin terdiskriminasi, bekerja dalam situasi  perbudakan modern dan rentan kekerasan. Hal lain, PRT masih belum diakui sebagai pekerja dan mengalami pelanggaran atas hak-haknya baik sebagai manusia, pekerja dan warga Negara.

Berdasarkan Rapid Assesment yang dilakukan oleh JALA PRT di tahun 2010, jumlah PRT diperkirakan mencapai 16.117.331 orang. Dan berdasarkan survey International Labour Organisation (ILO) tahun 2016, terdapat sebesar 4,5 juta PRT lokal yang bekerja di dalam negeri.

Dalam faktanya,  seperti diungkapkan Koordinator JALA PRT, Lita Anggraeni, situasi hidup dan kerja PRT sama sekali tidak mencerminkan bahwa PRT menjadi bagian dari Pembangunan Berkelanjutan dan Nawacita yang selama ini dikampanyekan Presiden Jokowi-Jusuf kalla.


Kasus yang Menimpa Pekerja Rumah Tangga di Indonesia

Dalam catatan JALA PRT, tercatat di dalam negeri sampai dengan Mei 2017, terdapat 129 kasus kekerasan PRT diantaranya:

1. Pengaduan upah tidak dibayar

2. PHK menjelang Hari Raya dan THR yang tidak dibayar. 

3. Di samping itu, dari survei  Jaminan Sosial JALA PRT terhadap 4296 PRT yang diorganisir di 6 kota: 89% (3823) PRT tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan.

4. 99% (4253) PRT tidak mendapatkan hak Jaminan Ketenagakerjaan.

5.Kemudian mayoritas PRT membayar pengobatan sendiri ketika sakit  termasuk dengan cara berhutang, termasuk berhutang ke majikan dan kemudian dipotong gaji.

6. Meskipun ada Program Penerima Bantuan Iuran (KIS) namun PRT mengalami kesulitan untuk bisa mengakses program tersebut karena tergantung dari aparat lokal untuk dinyatakan sebagai warga miskin. Demikian pula untuk PRT yang bekerja di DKI Jakarta dengan KTP wilayah asal juga kesulitan untuk mengakses Jaminan Kesehatan baik dari akses Jaminan ataupun layanan.

7. Sebagai pekerja, PRT masih dikecualikan dalam peraturan perundangan mengenai jaminan sosial. Sehingga PRT tidak mendapatkan hak Jaminan Kesehatan dan Jaminan Ketenagakerjaan dari majikan dan pemerintah.  Angka 4296  bisa merepresentasikan 10,7 juta (Data JALA PRT) atau 4,5 juta (Data Surver ILO Jakarta 2016) yang mayoritas tidak mendapatkan Jaminan Sosial.  Bahkan dalam catatan pengaduan lapangan, 56 PRT mengalami PHK ketika meminta hak Jaminan Kesehatan.

Berdasarkan catatan pengaduan ketenagakerjaan yang didata LBH Jakarta, sepanjang tahun 2016 terdapat 18 pengaduan kasus PRT, diantaranya kasus upah tidak dibayar berbulan-bulan, PHK sepihak, PHK menjelang hari raya, THR tidak dibayar.

“Tidak diakomodirnya PRT dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebabkan PRT tidak memiliki jaminan perlindungan sebagaimana pekerja pada umumnya. Jika pekerja dapat mengadukan permasalahannya kepada Dinas Tenaga Kerja, maka PRT tidak dapat melakukannya. Permasalahannya terhenti di tingkatan aparat hokum. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, dimana akses keadilan untuk menempuh upaya hukum tidak disediakan oleh negara,” ujar Lita Anggraeni.

Dalam hal upah, PRT masih jauh sekali dari perlindungan dengan upah dari berbagai wilayah kota besar: Medan, Lampung, DKI Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Makassar berkisar 20-30% dari UMR. Artinya mayoritas PRT hidup dalam garis kemiskinan dan bahkan tidak bisa mengakses perlindungan sosial dan mendapatkan hak dasar ketenagakerjaan.


Situasi yang Kontradiktif

Situasi tersebut kontradiktif dengan Program Pembangunan Berkelanjutan yang dicanangkan oleh Pemerintah. Khususnya dalam Tujuan 1 termasuk di dalamnya pentingnya warga Negara mendapatkan Perlindungan Sosial, dan Tujuan 8  mengenai Pekerjaan Yang Layak.

PEMERINTAH dan DPR semakin tidak mempedulikan dan meninggalkan PRT sebagai Pekerja dan Warga Negara yang telah berkontribusi besar dalam roda perekonomian nasonal. 13 tahun RUU Perlindungan PRT (PPRT) di DPR dan Pemerintah belum dibahas dan demikian pula Pemerintah tidak bersedia meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT.

“Hal ini juga sebenarnya ada dalam janji Nawacita Presiden Jokowi- JK Janji Kampanye Jokowi-JK yang tertuang dalam Visi Misi resmi  yang disampaikan  ke KPU dan disarikan dalam Nawa Cita memasukan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) di dalam visi misi. Tak hanya itu pada hari buruh  1 Mei 2014 Jokowi secara langsung menyatakan dukungan untuk disahkannya UU PPRT,” ujar Lita Anggraeni.

Perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga juga dicantumkan di halaman 23 Nawa Cita, yang berbunyi “Peraturan perundang-undangan dan langkah-langkah perlindungan bagi semua Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bekerja di dalam maupun di luar negeri.”

Oleh karena itulah, dalam momen Peringatan Hari PRT Internasional ini, JALA PRT bersama LBH Jakarta, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) menuntut kepada pemerintah dan DPR untuk segera menjadikan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) masuk dalam Prioritas Prolegnas Tahunan dan segera mengesahkan UU Perlindungan PRT.

Selanjutnya menuntut kepada Presiden RI, Joko Widodo dan DPR RI untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 mengenai Kerja Layak bagi PRT sebagai tindak lanjut sikap politik pemerintah Indonesia yang disampaikan dalam Pidato Politik Presiden RI dalam Sesi ke-100 Sidang Perburuhan Internasional, 14 Juni 2011 dan pemenuhan janji Nawacita Presiden RI untuk memberikan perlindungan bagi PRT di dalam negeri dan di luar negeri.

Dan mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah secara institusional, administratif dan juga hukum untuk melindungi dan memberdayakan PRT dan PRT migran Indonesia.

“Juga kami mendesak dan menuntut kepada Pemerintah RI dan DPR RI untuk mengintergrasikan prinsip-prinsip dalam hak asasi manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak dan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya; Konvensi ILO No. 189 mengenai Kerja Layak PRT dalam penyusunan dan perwujudan peraturan perundang-undangan di tingkat nasionaluntuk PRT yang bekerja di Indonesia dan PRT yang bekerja di luar negeri,” ujar Lita Anggraeni.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.