Lebaran Tanpa PRT
Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Pada saat lebaran seperti ini, Esti dan suaminya Sonny, tak hentinya mengceritakan rasa capeknya. Mereka harus memandikan anak mereka yang kembar yang masih berumur 1,5 tahun. Setelah itu membersihkan rumah dan yang paling membuat pegal adalah: menyeterika baju.
“Paling capek menyeterika baju,” kata Sonny.
Namun buru-buru ia menambahkan,” Lebih capek lagi menemani anak-anak jalan-jalan.”
Dua anak mereka yang kembar lagi senang-senangnya jalan kaki, maklum, baru 3 bulan lalu mereka bisa berjalan. Ini yang membuat punggung sakit, begitu keluh Sonny. Jika sedang begini, mereka benar-benar merasa bersyukur mempunyai Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang sehari-hari bekerja di rumah mereka. Ada 2 PRT yang bekerja di rumah mereka ketika Esti dan Sonny bekerja.
Jika lebaran seperti ini, mereka baru merasakan betapa capeknya menjaga anak-anak. Selama ini, Esti sebelum bekerja tugasnya belanja dan memasak di rumah, sedangkan Sonny selalu bangun kesiangan karena pulang telah larut. Beginilah rutinitas bekerja di Jakarta.
Di rumah mereka, 2 mbak PRT kemudian menyapu dan mengepel, kemudian menyeterika. Sedangkan untuk mencuci, mereka menggunakan mesin cuci. Setelah pekerjaan rumah selesai, mereka menjaga si kembar. Rutinitas ini sudah dilakukan selama 2 tahun ini sejak Esti hamil besar dan kemudian melahirkan.
“Dengan mbak yang pulang kampung di saat lebaran ini, terasa sekali capeknya kami,” ujar Esti.
Namun apa daya, kebutuhan kita terhadap PRT tak sebanding dengan kondisi kerja yang dialami Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia. Hingga kini kondisinya masih cukup memprihatinkan.
Data yang dihimpun JALA PRT, LBH Jakarta dan LBH APIK bersama International Labour Organisation (ILO) dalam acara Kompilasi Kasus-Kasus (Kompendium) PRT dan PRT Anak di Jakarta pada 16 Juni 2017 lalu menyebutkan, bahwa PRT dan PRT Anak, mengalami diskriminasi dan berbagai kondisi kerja tidak layak.
Padahal, Enny Rofiatul dari LBH Jakarta menyebutkan bahwa Pekerja Rumah Tangga merupakan salah satu Pekerja yang mempunyai kontribusi yang besar dalam kehidupan sosial dan ekonomi di masyarakat.
“Banyak masyarakat kita menggunakan jasa PRT untuk menggantikan kita menyelesaikan tugas kita di rumah agar dapat melakukan aktivitas sosial dan ekonomi di luar rumah. Peran PRT yang cukup signifikan tidak diimbangi dengan timbal balik terhadap pengakuan dan jaminan kerja yang layak. Banyak permasalahan atas pengakuan dan jaminan kerja yang layak bagi PRT mulai dari proporsi jam kerja yang tidak jelas hingga upah kerja yang rendah,” Ujar Enny Rofiatul.
Banyaknya permasalahan terhadap PRT salah satunya disebabkan karena Indonesia belum
mempunyai peraturan hukum untuk memberikan pelindungan terhadap hak-hak PRT sebagai pekerja seperti perlindungan terhadap jam kerja, upah minimum, hak libur, keselamatan dan kesehatan kerja, jaminan sosial dan juga hak-hak lainnya.
Penyebab lain banyak munculnya permasalahan terhadap hak-hak PRT dikarenakan mayoritas PRT tidak memiliki kontrak kerja yang jelas dengan majikan mengenai hak dan kewajibannya sebagai PRT.
Rekam jejak penanganan kasus-kasus PRT yang dilakukan oleh LBH Jakarta dan LBH APIK Jakarta ini kemudian didokumentasikan dalam bentuk Kompendium yang diluncurkan di acara tersebut.
Lita Anggraeni, Koordinator Nasional JALA PRT menyatakan bahwa tujuan dari penyusunan kompendium ini adalah merekam pengalaman tentang kasus-kasus PRT/PRTA yang telah ditangani atau didampingi LBH Jakarta dan LBH APIK Jakarta. Selain itu, kompendium ini juga bertujuan menyebarluaskan pengalaman penanganan kasus tersebut guna menjadi pembelajaran, baik bagi para PRT, organisasi pemberi bantuan hukum kepada PRT/PRTA, maupun aparat penegak hukum.
“Kumpulan kasus dalam Kompendium diharapkan dapat menjadi salah satu referensi yang
berguna dalam menangani kasus-kasus PRT/PRTA dan merespon kebutuhan hukum PRT dan PRTA. Bentuk-bentuk pelanggaran yang dialami PRT, antara lain tidak dibayarkannya upah,pesangon, jaminan sosial, upah lembur, PHK semena-mena, dan lainnya.”
Salah satu dasar persoalan yang menjadi pemicu timbulnya pelanggaran, yakni ketidakjelasan hubungan kerja antara PRT dan majikan. Jika dilihat dari perspektif ketenagakerjaan, majikan bertindak selaku pemberi kerja dan PRT sebagai penerima kerja. Maka, seharusnya hubungan kerja antara PRT dan majikannya dilindungi oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Namun, pada praktiknya hubungan kerja kedua belah pihak kerap tidak diakui.
Hal itu membuat mekanisme penyelesaian masalah menjadi tidak jelas dan tidak ada jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak PRT begitu terjadi pelanggaran hak yang dialami oleh PRT.
Ketidakpastian mengenai pengaturan perlindungan PRT itu mengakibatkan hak-hak mereka untukmemperoleh penghidupan yang layak terus terlanggar. Salah satu penyebab lainnya adalah tidak adanya regulasi yang secara khusus mengatur perlindungan bagi PRT.
Padahal, persoalan yang dialami oleh PRT/PRTA memiliki karakteristik tersendiri. Di antaranya, mereka bekerja di sektor informal dan di ruang yang dianggap privat, yaitu domestik/rumah tangga.
Hal ini menyebabkan sulitnya pihak yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap PRT/PRTA dan kondisi kerjanya.
Melihat kondisi tersebut, sangatlah penting dibuat undang-undang khusus yang mampu memberikan perlindungan bagi PRT. Saat ini, jaringan masyarakat sipil yang fokus pada advokasi perlindungan PRT (JALA PRT) sedang mendorong pengesahan RUU Perlindungan PRT di DPR.
Proses pembahasan sudah dilakukan sejak tahun 2004, tetapi hingga saat ini RUU tersebut belum juga dibahas oleh DPR RI bersama pemerintah. Ketiadaan undang-undang yang memberikan perlindungan kepada PRT itu pada akhirnya melanggengkan pelanggaran hak-hak PRT/PRTA.
Di samping itu, perhatian terhadap perlindungan PRT juga masih minim di kalangan aparat penegak hukum dan masyarakat. Isu PRT masih kurang dipahami oleh aparat penegak hukum (APH), sehingga mereka jarang melihat kasus pelanggaran hak PRT sebagai pelanggaran hukum yang serius. Begitupun masyarakat yang belum menghargai pekerjaan PRT dan hak-hak PRT, bahkan kerap memperlakukan PRT sebagai warga kelas dua. Hal ini tidak terlepas dari kultur di masyarakat
Lalu apa saja kasus-kasus yang menimpa PRT di Indonesia dan bagaimana praktek penanganannya? (Bersambung).
(Dirangkum dalam Buku “Kompilasi Penanganan Kasus PRT dan PRT Anak di Indonesia, JALA PRT, LBH APIK, LBH Jakarta dan ILO, Jakarta, Juni 2017)
Post a Comment