Perempuan Dan Perjalanan Menuju Kampung Halaman
* Almira Ananta- www.Konde.co
Setiap pulang ke kampung halaman, saya selalu melihat perubahan. Bisa jadi kita semua merasakannya. Yang dulu muda, kini bertumbuh. Ada yang menua.
Perubahanpun bentuknya macam-macam. Ada perubahan fisik, rambut yang dulu keriting, sekarang lurus.Begitu juga hati. Perubahan hati ini macam-macam. Ada yang keinginannya terpenuhi, namun ada yang tidak. Yang jelas, menurut pengamatan saya, setiap orang yang saya temui selalu berubah.
Dan yang terakhir, perubahan cara berpikir. Tempat, kebiasaan, orang-orang sekeliling, selalu membuat kita banyak berubah. Penyesuaian diri, kemudian kompromi.
Terkadang, ada yang memilih untuk menjauh dulu. Lalu bisa jadi mendekat lagi.
Prioritas hidup setiap orang bisa berbeda dan berubah setiap waktu. Ini bisa setiap saat kita rasakan.
Dan saya termasuk orang yang berubah dengan cepat, sedangkan teman perempuan saya yang lain, lebih lambat dalam berubah.
Selera saya juga terus berubah, dari sebagai penggemar musik jazz di waktu muda, dan kini lebih menyukai musik pop di usia 30 tahun ini, karena menurut saya musik pop lebih mudah dicerna, lebih gampang untuk dinikmati. Bagi saya, jazz jadi rumit karena saya tak punya waktu lagi untuk mengingat siapakah pencipta lagu, orang-orang baru yang menyanyikan lagu jazz, perkembangan musiknya. Dan berapa oktaf harus berhenti. Itu kala dulu, ketika saya banyak memainkan piano di sejumlah pementasan di kota kecil kami.
Sedangkan teman saya, hampir pernah meninggalkan kesukaannya dalam mendengarkan musik. Bayangkan, teman saya ini dulu pencipta lagu indie yang lumayan produktif, kemana-mana selalu bawa organ dan gitar, namun ditinggalkan begitu saja saat dia belajar keluar. Baginya, hidup memang harus berubah. Begitu katanya, pernah suatu kali.
Dulu, saya tak mau menjadikan masalah kecil sebagai sesuatu yang penting, buat saya, simple saja: hidup harus dinikmati. Namun, ini semua menjadi berubah ketika anak perempuan saya lahir. Saya tak lagi simple melihat banyak hal, makin banyak hati-hati, makin banyak menyediakan waktu bagi orang lain. Inilah perubahan yang ada sampai saat ini.
Sedangkan teman perempuan saya, berubah sejak ia tinggal di luar. Jauh dari keluarga, membuat hidupnya tak sesimple dulu. Berjalan pelan, dan harus mandiri setiap saat. Padahal dulu ia sangat easy going, jika ia malas melakukan sesuatu, ia tak akan pernah memaksakan itu. Sekarang, sejak saat ini ia harus berubah. Bangun lebih pagi, memasak, mencuci, bekerja dari pagi semua dilakukannya sendiri. Hidup memang harus berubah, begitu katanya dalam salah satu surat elektronik yang dikirimnya.
Namun, sebenarnya dalam hidup ini: apa yang tidak berubah? Segala sesuatu berubah, baik secara cepat seperti saya, atau lambat seperti teman saya. Umur, pengalaman, lingkungan yang membentuk kita hidup adalah yang bisa mengubah kita setiap saat.
Rambut kami sudah mulai berubah. Rombongan kami juga mulai banyak karena dipenuhi anak-anak. Salah satu teman perempuan kami memilih untuk menjadi lajang dan menjajaki pada banyak kemungkinan baru.
Dan yang pasti, yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
Inilah topik kami dalam pertemuan perjalanan kami menuju pulang ke kampung halaman. Hijaunya pohon dan padi selalu menarik perhatian kami. Tak pernah kami berhenti mengambil gambar, mengambil video, memotret perjalanan kami. Dulu kami hanya berempat, kini kami bersepuluh.
Lupakan dulu problem yang setiap hari kami rasakan, perubahan yang kadang menyesakkan, karena hidup adalah kebersamaan.
*Almira Ananta, Blogger dan Traveller
Post a Comment