Ibu, Dan Kereta yang Berangkat Senja
Kustiah- www.Konde.co
Bogor, Konde.co - Kereta baru saja berhenti senja, sesaat di Stasiun Bojonggede, Bogor. Seorang ibu tergopoh masuk dan menempati kursi kosong. Ia lalu membenarkan duduk anaknya. Satu anak di gendongan satu lagi duduk di sampingnya.
Kedua anak itu, yang satu berusia sekira 20 bulan dan satu lagi 5 tahun, langsung menatap anakku yang kebetulan duduk di bangku depannya. Anakku sedang memakan roti bolu. Setelah kulihat ibu itu sedikit tenang dengan mengusap keringat di dahinya dengan kain jarik, kusapa kedua anaknya yang masih melihat anakku.
Lalu kutanya anakku, maukah dia membagi bolunya yang ada di kotak makan dengan kedua teman barunya? "Boleh," jawabnya.
Sebelum kuambil bolu di tas aku berbasa basi bertanya kepada sang ibu, hendak kemana mereka pergi? Perempuan itu menjawab pelan akan pergi ke Tanah Abang. Lalu kuberikan irisan bolu kepada dua anaknya.
Tak hentinya ibu itu mengucap terima kasih, lalu mengambil biskuit dari tasnya dan mengulurkannya untuk anakku. Setelah bertukar makanan kecil kuperhatikan ibu itu berkali-kali meminta anaknya yang besar untuk diam, melarang anaknya banyak bicara dan memintanya untuk tak banyak polah.
Karena berada di depannya aku tak bisa tidak melihat ibu itu dengan kedua anaknya. Sesekali kulemparkan senyum lalu kuhibur ibu itu,
"Nggak apa-apa bu. Abangnya pintar kok nggak rewel, sayang sama adiknya," ucapku.
Kulihat wajah ibu itu tampak gelisah. "Saya mau cari suami saya bu. Sudah dua minggu nggak pulang. Nggak ada kabarnya," kata ibu itu masih dengan suara pelan.
Senja itu penumpang di gerbong perempuan tidak banyak. Di pojok tempat kursi prioritas hanya kami bersama anak-anak yang mengisi. Kami duduk berhadap-hadapan.
Setelah kutanggapi berpindahlah dia dan anak-anaknya duduk di sampingku. Dia bercerita sudah dua kali Jumat ia berjualan tas kantong keresek di masjid Istiqlal bersama dua anaknya yang masih kecil.
"Lumayan, uang hasil jualannya bisa untuk menghidupi anak-anak," ujarnya.
Suaminya tak meninggalinya uang. Bahkan kontrakan yang ia tempati di Bojong belum dibayar.
"Jika ibu berkenan saya membawa daster baru masih bungkusan pemberian saudara. Maukah ibu membeli untuk tambahan ongkos kami ke Tanah Abang bu".
Dalam sekejap ibu itu mengambil bungkusan dari tasnya. Sambil sesekali menyusui anaknya ibu yang mengaku berusia 43 tahun dan menikah di usia 38 tahun ini bercerita bahwa suaminya sedang kambuh lagi penyakit 'selingkuhnya'.
"Saat anak saya yang pertama berusia dua tahun suami saya berselingkuh. Setelah ketahuan dia berjanji tak akan mengulanginya. sekarang kok kebangetan, anak-anaknya ditelantarkan demi selingkuhannya".
Mata ibu itu kulihat basah. Dan buru-buru ia menyekanya. Bungkusan plastik masih di pangkuanku. kuingat dompetku tak ada uang lebih kecuali untuk biaya perjalanan, ojek dan jaga-jaga untuk beli jajan anakku. Membeli dasternya yang menurutku tak muat kalau kupakai rasanya kok tak mungkin, tapi tak membelinya malah tak mungkin lagi.
Kubuka tasku, kulihat masih ada uang 80 ribu. Kuserahkan dasternya. Lalu kuserahkan separuh uangku kepadanya. Kembali ibu itu mengucapkan terima kasih berulang kali. Kami berpamitan lalu turun di sebuah stasiun.
Cerita tentang kepedihan perempuan yang tak kunjung usai.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay.com)
*Kustiah, mantan Jurnalis Detik.com, saat ini pengelola www.Konde.co dan menjadi pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Post a Comment