Kartini Kendeng dan Semangat Perlawanan Kartini
Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co - Jejak kontribusi Kartini terhadap Hak Asasi Manusia adalah ketika Kartini menentang pemiskinan, kolonialisme dan feodalisme.
Semangat cinta tanah air, sebelum Indonesia terbentuk terlihat ketika Kartini menggugat kolonialisme yang mengundang pemiskinan ekstrim dengan melakukan culturstelsel untuk memenuhi kas kolonial yang kosong.
Kerja eksploitatif dalam culturstelsel ini menetapkan jenis tanaman yang dapat laku di pasar dunia saja, perbudakan yang kejam, penaklukan mental pekerja pribumi. Friksi dan konflik yang diciptakan kolonial, memperburuk pemiskinan pada titik parah, antara lain bencana kelaparan di Grobogan dan Demak (1848) yang dicatatnya. Inilah sisi gelap jejak pemiskinan yang dituliskan Raden Ajeng Kartini, seperti yang dituliskannya:
“… Sejumlah orang Belanda mengumpati Hindia sebagai ‘ladang kera yang mengerikan’. Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan Hindia yang miskin. Orang mudah sekali lupa kalau negeri kera yang miskin ini telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di sini.”
Konteks pemiskinan perempuan dalam kebijakan pembangunan di Indonesia telah menjadi perhatian dan keprihatinan Kartini karena kolonialisme, walaupun berlalu satu abad lebih, tak banyak berubah, hanya beda nama aktor dan pola. Lebih memprihatinkan rakyat miskin berhadapan dengan pemerintahannya sendiri.
Komnas Perempuan menuliskan dalam pernyataan pers pada hari Kartini, 21 April 2017 kemarin bahwa dalam konteks lingkungan, pilihan model pembangunan di Indonesia membuka peluang investasi dan penanaman modal di berbagai sektor, utamanya pertambangan dan kehutanan, melalui UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan dan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pertambangan. Model pembangunan ini menarik minat banyak investor untuk menanamkan modal, baik lembaga keuangan internasional maupun korporasi transnasional. Sekaligus menerima tawaran investor untuk melakukan perubahan kebijakan yang memberi jaminan keuntungan pada korporasi.
Namun lahirnya kebijakan ini membawa arah pembangunan pada pemikiran yang monoculture. Diskursus pembangunan yang monoculture telah melahirkan dikotomi yang merugikan perempuan, mengabaikan pengetahuan perempuan tentang lingkungan dan mengabaikan alternatif pengetahuan lokal. Pembangunan ekonomi semacam ini merusak sumber daya subsistem perempuan, mengukuhkan subordinasi sosial perempuan dan mengundang kekerasan.
"Pilihan model pembangunan seperti ini juga telah menyingkirkan warga negara dari lahan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Design pembangunan ekonomi ini telah memicu kerugian sosial yang sistematis, mengabaikan suara/partisipasi warga dan tindakan yang berlebihan/represif dari negara (menempatkan sektor keamanan ‘vis a vis’ dengan warga terhadap aset korporasi),” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati.
HAM Perempuan dan Kendeng: Catatan Temuan Komnas Perempuan
Komnas Perempuan melihat bahwa Kartini Kendeng, adalah sebuah simbol gerakan yang diambil dari perjuangan pahlawan Kartini yang di jaman kolonial telah menentang pemiskinan, karena eksploitasi sumberdaya alam dan menerobos pengebirian politik karena tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, karena dianggap tidak berpengetahuan.
Kartini Kendeng, lahir dari pemikiran spiritual Kartini, tentang alam, manusia dan Tuhan juga perlawanan atas kekerasan infrastruktur di daerah. Gerakan kolektif Perempuan Kendeng harus menjadi inspirasi bagi perjuangan gerakan perempuan di Indonesia.
“Sejak tahun 2014, Kartini Kendeng mempertanyakan ‘mengapa harus ada pabrik semen?’ Tak terhitung keberatan yang sudah disampaikan pada Presiden, Menteri, Gubernur Jawa Tengah, Bupati-Bupati di Jawa Tengah serta Lembaga HAM. Mereka tidak henti mengingatkan kita tentang Ibu Bumi yang tetap harus dijaga, meski harus berhadapan dengan intimidasi, kekerasan dan stigma negatif dari pejabat dan aparat keamanan. Beragam cara telah ditempuh untuk mempertahankan sumber kehidupan, dari menggunakan jalur hukum hingga menyemen kaki,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Adriana Venny.
Dalam konteks lingkungan hidup, persoalan yang menimpa para perempuan petani Kendeng yang dipantau Komnas Perempuan kemudian mendapatkan data bahwa pembangunan pabrik semen Kendeng telah:
A. Menjauhkan warga dari sumber kehidupannya
B. Berpotensi memusnahkan situs bersejarah, makam leluhur dan mata air, sementara masyarakat Kendeng meyakini air adalah spiritualitas perempuan yang jika dijauhkan
sama dengan menghilangkan jiwa Perempuan
C. Rusaknya ekosistem dan keanekaragaman hayati, padahal air yang disimpan di gunung karts adalah tempat bergantungnya pertanian masyarakat
D. Kemungkinan gagal atau menurunnya hasil panen karena menurunnya daya dukung lingkungan
E. Perempuan akan kehilangan pengetahuan aslinya, tanaman obat yang diidentifikasi setidaknya 52 jenis sebagai apotik masyarakat, lambat laun dikhawatirkan akan punah
F. Terjadi kehancuran dan kerusakan alam yang parah dengan penambangan batu kapur
G. Polusi berat udara karena debu yang diakibatkan lalu lalangnya kendaraan pengangkut bahan baku batu kapur di area penambangan dan perkampungan
H. Retaknya kohesi sosial bahkan hubungan kekeluargaan akibat perbedaan keberpihakan pro dan tolak semen
I. Adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena pekerja dan yang bekerja menunjang pabrik semen
J. Perempuan di Surokontho Wetan yang lahannya dijadikan wilayah tukar guling PERHUTANI Kendal akan kehilangan tanah sumber kehidupan dan memaksa mereka migrasi
K. Terganggunya wilayah sakral dan hak budaya masyarakat, karena kehadiran pabrik semen di dekat lokus yang disakralkan dan lokus spiritual yang dihormati warga. Padahal lokus tersebut bagian dari situs sejarah penting bagi bangsa
L. Kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan yang dialami perempuan saat demonstrasi menentang pendirian semen maupun ancaman pada Women Human Right Defender (WHRD) oleh preman, aparat, juga oleh tetangga
M. Indikasi trafficking dan potensi migrasi paksa karena pabrik semen
N. Perempuan penambang mengalami kematian karena tertimbun longsor saat menambang.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Yunianti Chuzaifah menyatakan bahwa dari peristiwa Kartini Kendeng ini, kita sudah saatnya untuk merefleksikan pemikiran visioner R.A Kartini dalam mengembalikan tanggung jawab negara pada hak asasi yang melekat pada warga negara, yaitu menghormati, memenuhi dan melindungi keberdayaan yang dimiliki oleh warga Negara.
“Para penyelenggara negara untuk konsisten dan menginternalisasi spirit Kartini dalam merawat tanah air dan menentang pemiskinan, dengan menghargai dan melihat gerakan perempuan Kendeng sebagai upaya menyelamatkan bumi dan dampak pemiskinan masyarakat, dan menghentikan seluruh proses eksplorasi yang merusak lingkungan di kawasan pengunungan Kendeng.”
Jakarta, Konde.co - Jejak kontribusi Kartini terhadap Hak Asasi Manusia adalah ketika Kartini menentang pemiskinan, kolonialisme dan feodalisme.
Semangat cinta tanah air, sebelum Indonesia terbentuk terlihat ketika Kartini menggugat kolonialisme yang mengundang pemiskinan ekstrim dengan melakukan culturstelsel untuk memenuhi kas kolonial yang kosong.
Kerja eksploitatif dalam culturstelsel ini menetapkan jenis tanaman yang dapat laku di pasar dunia saja, perbudakan yang kejam, penaklukan mental pekerja pribumi. Friksi dan konflik yang diciptakan kolonial, memperburuk pemiskinan pada titik parah, antara lain bencana kelaparan di Grobogan dan Demak (1848) yang dicatatnya. Inilah sisi gelap jejak pemiskinan yang dituliskan Raden Ajeng Kartini, seperti yang dituliskannya:
“… Sejumlah orang Belanda mengumpati Hindia sebagai ‘ladang kera yang mengerikan’. Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan Hindia yang miskin. Orang mudah sekali lupa kalau negeri kera yang miskin ini telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di sini.”
Konteks pemiskinan perempuan dalam kebijakan pembangunan di Indonesia telah menjadi perhatian dan keprihatinan Kartini karena kolonialisme, walaupun berlalu satu abad lebih, tak banyak berubah, hanya beda nama aktor dan pola. Lebih memprihatinkan rakyat miskin berhadapan dengan pemerintahannya sendiri.
Komnas Perempuan menuliskan dalam pernyataan pers pada hari Kartini, 21 April 2017 kemarin bahwa dalam konteks lingkungan, pilihan model pembangunan di Indonesia membuka peluang investasi dan penanaman modal di berbagai sektor, utamanya pertambangan dan kehutanan, melalui UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan dan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pertambangan. Model pembangunan ini menarik minat banyak investor untuk menanamkan modal, baik lembaga keuangan internasional maupun korporasi transnasional. Sekaligus menerima tawaran investor untuk melakukan perubahan kebijakan yang memberi jaminan keuntungan pada korporasi.
Namun lahirnya kebijakan ini membawa arah pembangunan pada pemikiran yang monoculture. Diskursus pembangunan yang monoculture telah melahirkan dikotomi yang merugikan perempuan, mengabaikan pengetahuan perempuan tentang lingkungan dan mengabaikan alternatif pengetahuan lokal. Pembangunan ekonomi semacam ini merusak sumber daya subsistem perempuan, mengukuhkan subordinasi sosial perempuan dan mengundang kekerasan.
"Pilihan model pembangunan seperti ini juga telah menyingkirkan warga negara dari lahan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Design pembangunan ekonomi ini telah memicu kerugian sosial yang sistematis, mengabaikan suara/partisipasi warga dan tindakan yang berlebihan/represif dari negara (menempatkan sektor keamanan ‘vis a vis’ dengan warga terhadap aset korporasi),” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati.
HAM Perempuan dan Kendeng: Catatan Temuan Komnas Perempuan
Komnas Perempuan melihat bahwa Kartini Kendeng, adalah sebuah simbol gerakan yang diambil dari perjuangan pahlawan Kartini yang di jaman kolonial telah menentang pemiskinan, karena eksploitasi sumberdaya alam dan menerobos pengebirian politik karena tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, karena dianggap tidak berpengetahuan.
Kartini Kendeng, lahir dari pemikiran spiritual Kartini, tentang alam, manusia dan Tuhan juga perlawanan atas kekerasan infrastruktur di daerah. Gerakan kolektif Perempuan Kendeng harus menjadi inspirasi bagi perjuangan gerakan perempuan di Indonesia.
“Sejak tahun 2014, Kartini Kendeng mempertanyakan ‘mengapa harus ada pabrik semen?’ Tak terhitung keberatan yang sudah disampaikan pada Presiden, Menteri, Gubernur Jawa Tengah, Bupati-Bupati di Jawa Tengah serta Lembaga HAM. Mereka tidak henti mengingatkan kita tentang Ibu Bumi yang tetap harus dijaga, meski harus berhadapan dengan intimidasi, kekerasan dan stigma negatif dari pejabat dan aparat keamanan. Beragam cara telah ditempuh untuk mempertahankan sumber kehidupan, dari menggunakan jalur hukum hingga menyemen kaki,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Adriana Venny.
Dalam konteks lingkungan hidup, persoalan yang menimpa para perempuan petani Kendeng yang dipantau Komnas Perempuan kemudian mendapatkan data bahwa pembangunan pabrik semen Kendeng telah:
A. Menjauhkan warga dari sumber kehidupannya
B. Berpotensi memusnahkan situs bersejarah, makam leluhur dan mata air, sementara masyarakat Kendeng meyakini air adalah spiritualitas perempuan yang jika dijauhkan
sama dengan menghilangkan jiwa Perempuan
C. Rusaknya ekosistem dan keanekaragaman hayati, padahal air yang disimpan di gunung karts adalah tempat bergantungnya pertanian masyarakat
D. Kemungkinan gagal atau menurunnya hasil panen karena menurunnya daya dukung lingkungan
E. Perempuan akan kehilangan pengetahuan aslinya, tanaman obat yang diidentifikasi setidaknya 52 jenis sebagai apotik masyarakat, lambat laun dikhawatirkan akan punah
F. Terjadi kehancuran dan kerusakan alam yang parah dengan penambangan batu kapur
G. Polusi berat udara karena debu yang diakibatkan lalu lalangnya kendaraan pengangkut bahan baku batu kapur di area penambangan dan perkampungan
H. Retaknya kohesi sosial bahkan hubungan kekeluargaan akibat perbedaan keberpihakan pro dan tolak semen
I. Adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena pekerja dan yang bekerja menunjang pabrik semen
J. Perempuan di Surokontho Wetan yang lahannya dijadikan wilayah tukar guling PERHUTANI Kendal akan kehilangan tanah sumber kehidupan dan memaksa mereka migrasi
K. Terganggunya wilayah sakral dan hak budaya masyarakat, karena kehadiran pabrik semen di dekat lokus yang disakralkan dan lokus spiritual yang dihormati warga. Padahal lokus tersebut bagian dari situs sejarah penting bagi bangsa
L. Kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan yang dialami perempuan saat demonstrasi menentang pendirian semen maupun ancaman pada Women Human Right Defender (WHRD) oleh preman, aparat, juga oleh tetangga
M. Indikasi trafficking dan potensi migrasi paksa karena pabrik semen
N. Perempuan penambang mengalami kematian karena tertimbun longsor saat menambang.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Yunianti Chuzaifah menyatakan bahwa dari peristiwa Kartini Kendeng ini, kita sudah saatnya untuk merefleksikan pemikiran visioner R.A Kartini dalam mengembalikan tanggung jawab negara pada hak asasi yang melekat pada warga negara, yaitu menghormati, memenuhi dan melindungi keberdayaan yang dimiliki oleh warga Negara.
“Para penyelenggara negara untuk konsisten dan menginternalisasi spirit Kartini dalam merawat tanah air dan menentang pemiskinan, dengan menghargai dan melihat gerakan perempuan Kendeng sebagai upaya menyelamatkan bumi dan dampak pemiskinan masyarakat, dan menghentikan seluruh proses eksplorasi yang merusak lingkungan di kawasan pengunungan Kendeng.”
Post a Comment