Catatan Hitam Buruh Perempuan: Refleksi Jelang May Day
Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co - Setiap tahun menjelang peringatan Hari Buruh Internasional, Komite Aksi Perempuan (KAP) mengeluarkan sebuah “Catatan Hitam Buruh Perempuan”. Catatan ini merupakan peristiwa, tragedi yang menimpa para buruh perempuan di Indonesia dalam setahun ini. Sejumlah catatan hitam di tahun 2016-2017 ini memetakan: sebuah jalan panjang perjuangan buruh perempuan.
Dalam konferensi pers yang digelar Minggu (29/4/2016) hari ini di Jakarta, KAP kemudian memaparkan sejumlah pemetaan yang dilakukan terhadap: buruh perempuan nelayan, buruh migran, Pekerja Rumah Tangga (PRT), buruh di sektor formal dan informal, buruh Lesbian, Biseksual dan Transgender (LBT), buruh media dan pekerja kreatif, buruh perempuan petani.
Mutiara Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardhika menyatakan, pemetaan menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi- Jusuf Kalla telah mengabaikan perjuangan buruh perempuan. Sejumlah kasus yang terjadi pada para buruh perempuan juga menunjukkan negara telah menjadi pelaku kekerasan dan pelanggaran hak para buruh perempuan.
“Dalam Catatan Hitam ini KAP juga menemukan bahwa pemerintah tidak melaksanakan kebijakan dengan standar Hak Asasi Manusia (HAM) bagi perempuan buruh, pemerintah juga terbukti memudahkan investasi dan usaha yang berakibat pada peminggiran kesejahteraan ibu dan para buruh perempuan di Indonesia, tidak adanya perlindungan komprehensif terhadap buruh perempuan, melakukan diskriminasi, pembiaran, pengabaian terhadap dampak buruk buruh perempuan,” ujar Mutiara Ika Pratiwi.
Sejumlah hal penting lainnya tercatat dalam konferensi pers hari ini:
1. Buruh Perempuan Nelayan
Dalam setahun ini, penolakan terhadap reklamasi merupakan perjuangan besar yang dilakukan para perempuan nelayan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa proyek reklamasi berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat, terutama perempuan. Reklamasi juga mengancam keanekaragaman hayati pesisir Indonesia dan mempersulit nelayan untuk melaut, sehingga akan mengancam kedaulatan pangan.
Solidaritas Perempuan Anging Mamiri di Makassar mencatat bahwa akibat dari reklamasi ini telah dirasakan oleh perempuan nelayan dan perempuan pesisir, termasuk di Makassar dan Jakarta.
“Sebelum reklamasi misalnya, seorang perempuan patude (pencari dan pengupas kerang di Makassar) bisa memperoleh penghasilan Rp. 80.000 dalam sehari. Sejak reklamasi, mendapatkan Rp. 20.000 saja sulit. Bahkan di Mariso, Makassar jumlah perempuan patude semakin menyusut. Tempat tinggal dan sumber kehidupannya tergusur hingga banyak dari mereka yang kemudian beralih pekerjaan menjadi buruh pabrik ataupun buruh cuci,” ujar Risca Dwi dari Solidaritas Perempuan.
Kondisi yang sama dirasakan para perempuan pengupas kerang di wilayah Cilincing, Jakarta Utara. Solidaritas Perempuan Jabotabek mencatat bahwa perekonomian yang semakin menghimpit dirasakan oleh masyarakat pesisir Jakarta, khususnya perempuan pesisir. Proyek reklamasi ini semakin memperparah situasi kondisi perempuan disana. Peran gender yang dilekatkan terhadap perempuan, menjadikan dampak buruk reklamasi dirasakan lebih berat dan mendalam oleh perempuan pesisir Teluk Jakarta. Tanggung jawab sebagai penyedia pangan dan pengelola keuangan keluarga menjadikan perempuan harus bekerja lebih untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Ditambah dengan beban kerja domestiknya, ini mengakibatkan banyak perempuan pesisir yang harus bekerja setidaknya 18 jam dalam sehari.
Ini menunjukkan bahwa situasi perempuan tidak pernah diperhitungkan dalam berbagai kebijakan dan program terkait pengelolaan pesisir. Termasuk soal reklamasi, tidak pernah ada data terpilah gender dan kajian dampak spesifik yang berbeda terhadap perempuan yang dilakukan oleh pemerintah.
Solidaritas Perempuan melihat hingga saat ini pemerintah masih mengabaikan berbagai dampak buruk reklamasi bagi masyarakat, perempuan dan laki-laki, maupun lingkungan. Reklamasi justru terus dibangun di berbagai wilayah di Indonesia dan menjadi persoalan nasional. Karena semua proyek reklamasi di Indonesia memiliki kesamaan, yaitu sarat kepentingan pengusaha dan kemudian dilegitimasi oleh penguasa.
“Belum lagi proyek-proyek reklamasi yang telah menggusuri rumah-rumah keluarga nelayan. Reklamasi Teluk Palu di Bali, Tanjung Benoa juga proyek reklamasi di Jakarta yang dilakukan dengan menggusur dan menghilangkan akses nelayan kepada laut dan pesisir. Reklamasi pantai telah menyebabkan banyak ikan mati karena pengerukan pantai, sehingga semakin sedikit kemungkinan mendapatkan ikan melalui cara-cara penangkapan tradisional di bibir pantai. Karena jika para nelayan ini melaut, maka butuh biaya bahan bakar yang lebih besar. Banyak kerugian yang diderita keluarga-keluarga nelayan. Berbagai kebijakan di tingkat nasional maupun daerah dibuat, untuk melegalkan praktek penghilangan penghidupan nelayan, melalui reklamasi. Bahkan terbukti, penyusunan kebijakan tersebut tak ubahnya sebagai praktek jual-beli peraturan,” ujar Risca Dwi.
Bagi perempuan nelayan, ancaman reklamasi menambah beban tambahan. Selama ini perempuan nelayan memiliki peran ganda sebagai pengurus keluarga atau rumah tangga serta membantu mencari nafkah untuk keluarga. Perempuan nelayan selama ini memberikan sumbangan signifikan dalam rantai produksi sektor perikanan. Sambil mengurus keluarga, perempuan nelayan menyiapkan bekal, mencari solar atau pinjaman atau utang untuk membeli solar bagi laki-laki yang akan melaut. Jika pendapatan para penangkap ikan melaut menurun, maka perempuan tetap mengupayakan pendapatan keluarga.
Selama ini, perempuan bekerja menjadi buruh pengupas kerang, pengolah ikan, atau bekerja di sektor non perikanan seperti menjadi buruh cuci dan pekerja rumah tangga, demi bertahan hidup. Namun Solidaritas Perempuan melihat bahwa situasi perempuan tidak pernah diperhitungkan dalam berbagai kebijakan dan program terkait pengelolaan pesisir. Termasuk soal reklamasi, tidak pernah ada data terpilah gender dan kajian dampak spesifik yang berbeda terhadap perempuan yang dilakukan oleh pemerintah.
2. Buruh Migran Perempuan
Sistem migrasi Indonesia hari ini sarat dengan eksploitasi sistematis dan massif melalui kebijakan diskriminatif dan peraturan yang belum dapat memberikan perlindungan menyeluruh bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) buruh migran. Negara mengabaikan dan membiarkan eksploitasi PRT dari keseluruhan tahapan migrasi dengan penipuan, kerja berat, waktu kerja berlebih, gaji tidak dibayar melalui lemahnya posisi tawar pemerintah dalam pemberian sanksi terhadap majikan yang melakukan eksploitasi kerja yang dituangkan dalam perjanjian bilateral.
Diskriminasi perempuan dalam bidang ketenagakerjaan juga semakin menguat, terutama bagi buruh atau pekerja perempuan di sektor domestik, yaitu Pekerja Rumah Tangga (PRT). Diskriminasi berbasis gender, kelas sosial, kelas ekonomi, ras, maupun agama, serta berbagai kebijakan negara telah menghasilkan penindasan berlapis terhadap buruh migran khususnya menimbulkan kerentanan terhadap trafficking. Trafficking juga merupakan praktik eksploitatif yang kerap menjadikan perempuan sebagai target korban.
Data Penanganan Kasus Solidaritas Perempuan 2016, menunjukkan kasus trafficking mencapai 17% sementara kasus pelanggaran hak ketenagakerjaan seperti gaji tidak dibayar mencapai 19%. Pada umumnya satu orang perempuan buruh migran tidak hanya mengalami satu jenis kasus kekerasan, tetapi berbagai jenis kekerasan sekaligus. Namun hingga saat ini belum terlihatnya inisiatif pemerintah untuk membuat peraturan yang melindungi Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran.
“Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) Nomor 260 Tahun 2015 Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah membuat tingkat perekrutan illegal semakin meningkat. Di Karawang, Jawa Barat misalnya, Solidaritas Perempuan menemukan praktik sponsor/agen yang merekrut calon buruh migran sebagai PRT ke Timur Tengah dengan memanipulasi job order/visa kerja atau penyesatan informasi dari calo yang mengatakan bahwa pemerintah sudah membuka kembali Negara Timur Tengah sebagai tujuan bekerja, ujar Risca Dwi.
Kasus ED asal Karawang yang diberangkatkan ke Arab Saudi pasca KEPMEN No. 260 Tahun 2015 adalah merupakan contoh nyata dari kebijakan yang tidak memperhatikan dampak buruk yang terjadi pada situasi migrasi perempuan buruh migran. Calo memberikan informasi yang keliru tentang penempatan di Timur Tengah sehingga ED bekerja ke Arab Saudi. Buruh migran diberangkatkan ke Arab Saudi menggunakan visa kerja selama 90 hari. Dalam kasus tersebut, buruh migran kerap dipindah-pindah kerja oleh majikan dan selama bekerja tidak menerima upah.
KEPMEN No. 260/2015 terbukti juga tidak menawarkan perlindungan, pengakuan, jaminan dan kepastian hukum yang adil terhadap perempuan yang ingin bekerja serta membatasi ruang gerak perempuan untuk mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam bekerja. Hal ini dipengaruhi oleh kesempatan minim yang dimiliki oleh perempuan akibat dari situasi pemiskinan dan akses pendidikan rendah yang menempatkan sebagian besar perempuan buruh migran bekerja sebagai pekerja rumah tangga di luar negeri. Peraturan ini juga jelas mendiskriminasi buruh migran yang hendak bekerja sebagai PRT ke luar negeri dan mengabaikan status PRT sebagai pekerjaan melalui KEPMENAKER No.1 Tahun 2015 tentang Jabatan yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri untuk pekerjaan Domestik.
Berdasarkan pengaduan kasus-kasus yang ditangani Solidaritas Perempuan serta temuan hasil pemantauan, informasi tentang biaya dan kelengkapan dokumen hanya didapat dari calo TKI dan perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Hal ini membuat praktik perekrutan dan penempatan buruh migran sarat dengan indikasi perdagangan manusia, diantaranya:
• Praktik percaloan yang mengaburkan informasi pokok atau penipuan, praktik penjeratan utang, serta maraknya pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh sponsor/PPTKIS termasuk yang melibatkan oknum aparat pemerintah daerah. Melalui proses tersebut, PBM menjadi kelompok yang tereksploitasi dan tidak berdaya.
• Proses penandatangan perjanjian kerja yang dilakukan melalui cara pemaksaan, seperti pemberian waktu singkat untuk membaca perjanjian atau tidak adanya penjelasan akurat dan rinci atas isi dari perjanjian kerja tersebut.
• Praktik pembatasan komunikasi selama dalam penampungan maupun di tempat kerja yang menyebabkan buruh migran berada dalam situasi tidak berdaya untuk mengambil keputusan atau berkonsultasi dengan orang lain dalam pengambilan keputusan termasuk dalam kategori penyekapan.
• Praktik pembatasan informasi mengenai proses migrasi melemahkan posisi pekerja migran yang membutuhkan pekerjaan. Situasi ini membuka ruang pelaku perdagangan orang untuk memanfaatkan situasi rentan yang dihadapi calon pekerja/pekerja migran. Pada akhirnya melahirkan kerentanan lain seperti pemerasan, pelecehan dan kekerasan seksual.
• Jeratan utang, yang merupakan satu modus trafficking juga kerap dialami buruh migran. Salah satu penyebab jeratan utang adalah penerapan biaya tinggi yang dilembagakan oleh peraturan Menteri Tenaga Kerja, menyebabkan calon buruh migran semakin terbebani, tersudut dan terperangkap dalam jebakan utang.
Dalam kasus-kasus yang menimpa buruh migran perempuan, Solidaritas Perempuan juga mencatat, bahwa perempuan buruh migran kerap mengalami kekerasan dan ketidakadilan berlapis, dimana mayoritas Perempuan Buruh Migran mengalami berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak, seperti dieksploitasi jam kerja mereka, pemotongan/tidak dibayar gaji, dipindah-pindah majikan, kekerasan fisik, psikis, dan seksual, kriminalisasi, hingga trafficking dan penghilangan nyawa.
Berbagai kasus terus terjadi dan dialami Perempuan Buruh Migran, dan sayangnya pemerintah tidak mampu membangun mekanisme yang sistematis, termasuk posisi tawar didalam perlindungan hak Perempuan Buruh Migran.
Langkah menghadirkan negara dalam perlindungan buruh migran hanyalah isapan jempol belaka. Kinerja Kementerian luar negeri beserta jajaran perwakilan RI di luar negeri masih bekerja sebatas pelayanan normatif. Bahkan bekerja dengan cara pandang yang diskriminatif terhadap buruh migran yang malah melihat masalah yang dihadapi buruh Indonesia di luar negeri adalah “beban” yang tak harus mereka tanggung. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebagai institusi yang dimandatkan oleh UU No. 39/2004 masih terus "terjebak" dalam masalah duplikasi kewenangan dengan bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di lingkungan Kemenaker.
Tuntutan penurunan biaya penempatan, pengawasan PPTKIS belum melihat Serikat Buruh sebagai organisasi resmi perwakilan buruh migran dan anggota keluarganya bukanlah prioritas kerja. Hingga 2 tahun lebih pemerintahan Jokowi-JK, pemerintahan Jokowi-JK tidak mau mengimplementasikan Konvensi Internasional Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (yang telah diratifikasi dengan UU No. 6/2012) serta tidak akan mau meratifikasi Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak Bagi PRT sebagai salah satu sektor buruh migran (Bersambung).
Post a Comment