Kartini dan Spiritualitas Seorang Perempuan
Estu Fanani – www.konde.co. Pemikiran Kartini mengenai spiritualitas dan juga ketuhanan adalah hal yang menantang. Mengapa? Karena Kartini sedikit menuliskan dan mengeksplorasi pengalaman dan pemikirannya tentang spiritualitas, ketuhanan dan keagamaan dalam surat-suratnya yang singkat. Pergulatan batin dan spiritualitas Kartini di masa itu menjadi menarik karena lingkungan masyarakatnya yang masih kental menghayati agama lokal, meskipun Kartini sendiri dan keluarganya merupakan penganut agama Islam.
Kartini merupakan perempuan yang meyakini Tuhan itu ada dan Tuhan itu menyayangi, melindungi serta menyelamatkan ummatnya. Bahkan pemikiran dan keyakinan Kartini pada Tuhan berkembang tidak hanya pada Islam. Kartini memahami dan mungkin juga mempelajari agama-agama lain seperti Kristen, Budha, Yahudi, dll. Kemungkinan pemikiran dan pemahaman ini berkembang karena Kartini bergaul dan berinteraksi dengan banyak orang secara langsung maupun tidak langsung, misalnya dengan kawan korespondensinya Stella Zeehandelaar, atau dengan suami-isteri Abendanon. Masa itu, umumnya mempelajari agama dalam hal ini agama Islam dilakukan oleh ulama atau kyai pengasuh pesantren hanya agar orang Islam Jawa bisa membaca saja tanpa diajarkan apa artinya dari setiap ayat. Begitupun dengan agama Kristen. Hal inilah yang menjadi kritik dari Kartini terhadap para pemimpin dan institusi agama, sebagaimana dalam suratnya kepada EC. Abendanon 31 Januari 1903 “Jika orang hendak mengajarkan agama juga kepada orang Jawa, ajarlah ia mengenal Tuhan yang Esa, mengenal Bapa pengasih dan penyayang, Bapa semua mahluk, Bapa seorang Kristen, orang Islam, orang Budha, yahudi dan lain-lain. Ajarlah dia agama yang sebeneranya, yaitu agaa yang melekat di rohani, sehingga orang dapat memeluk agama itu, baik sebagai orang Kristen maupun sebagai orang Islam dan lain-lain.”
Demikianlah Kartini sangat meyakini Tuhan dengan sangat pribadi. “Ada Seseorang yang melindungi kami. Ada Seseorang yang selalu dekat dengan kami. Dan Seseorang itu akan menjadi pelindung hati kami, tempat kami berlindung dengan aman dalam hidup kami selanjutnya.” Sangat pribadinya Tuhan bagi Kartini, hingga dia mengasosiakan Tuhan dengan cahaya dalam suratnya “Akhir-akhir ini kami sangat banyak merenung, sangat banyak. Sangat jauh, sangat jauh. Cahaya itu kami cari, padahal Cahaya itu sangat dekat letaknya, selalu bersama-sama kami, ada di dalam diri kami!”
Kartini remaja mungkin memang bukan orang yang mempunyai pemahaman mendalam tentang agama, namun pengalamannya berhadapan dengan persoalan-persoalan sosial yang terkait dengan keimanan menjadi kekuatannya. Sejak kanak-kanak, Kartini diberikan pelajaran membaca Al-Quran, selain pelajaran yang diberikan keluarganya, seperti menyulam, menjahit, dll. Hal yang tidak disukainya adalah pelajaran membaca Al-Quran karena dia tidak bisa memahami apapun selain hanya bisa membaca. Bahkan ibunya pernah memarahi Kartini karena ia tidak mau mengikuti pelajaran itu. Penyebab lain Kartini tidak menyukai pelajaran membaca Al-Quran adalah ketidakmampuan gurunya dalam menjawab pertanyaan murid-muridnya.
Hal itulah yang menyebabkan Kartini berpendapat bahwa ia beragama Islam karena faktor keturunan seperti yang diceritakan kepada Stella dalam suratnya pada tanggal 6 November 1899. Dan, sebenarnyalah saya beragama Islam karena nenek moyang saya beragama Islam. Bagaimana saya mencintai agama saya, kalau saya tidak mengenalnya? Tidak boleh mengenalnya? Al-Quran terlalu suci untuk diterjemahkan, dalam bahasa apapun juga. Disini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Disini orang diajari membaca Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Samalah halnya seperti engkau mengajar saya membaca buku bahasa Inggris dan saya harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan arti kata sepatah pun dalam buku itu kepada saya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana.
Dari surat di atas, Kartini mengatakan bahwa ia beragama Islam karena warisan, salah satu penyebabnya adalah ketidakpahaman Kartini tentang Islam yang nantinya membuat jarak antara ia dengan Islam sehingga seringkali ia mengambil sikap kritis terhadap agamanya itu, namun dia akan tetap memeluk agamanya. Dalam suratnya kepada Ny. Nellie Van Kol tertanggal 21 Juli 1902, Kartini menyatakan hal ini dengan tegas. “Tentang agama... marilah sekarang saya katakan ini saja dulu, supaya Nyonya jangan ragu: yakinlah Nyonya bahwa kami akan selalu memeluk agama kami yang sekarang. Bersama-sama Nyonya kami berharap dengan sangat, moga-moga kami memperoleh rahmat, agar suatu ketika dapat membuat wujud agama patut disukai dalam pandangan umat lain.” Namun ada saat di mana Kartini kemudian tertarik mempelajari agama Islam ketika berjumpa dengan seorang Kyai Sholeh Darat di rumah pamannya di Semarang. Dan kemudian Kartini meminta untuk Kyai Sholeh Darat menyelesaikan menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Kelak Kyai Sholeh Darat menghadiahkan terjemahan Al-Qur’an itu kepada Kartini.
Nama Kyai Sholeh Darat tidak pernah dituliskan secara eksplisit oleh Kartini dalam surat-suratnya, namun kegembiraan Kartini menerima terjemahan Al-Quran pernah ia tuliskan dalam suratnya kepada E.C. Abendanon pada tanggal 17 Agustus 1902. Saat itu Kartini hanya menulis ada orang tua yang memberikan terjemahan Al-Quran kepadanya. “Wahai! Kegembiraan orang-orang tua mengenai kembalinya anak-anak yang tersesat kepada jalan yang benar demikian mengharukan. Seorang tua di sini, karena girangnya yang sungguh-sungguh tentang hal itu menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa. Kebanyakan ditulis dengan huruf Arab. Sekarang kami hendak belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab. Kamu barangkali tahu, bahwa buku-buku Jawa itu sukar sekali didapat, karena ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja yang dicetak.”
Surat-surat Kartini menggambarkan kegelisahan dan pengaruh yang mewarnai kehidupan spiritualitas Kartini. Tidak hanya Kejawen, Islam dan Kristen, bahkan Kartini juga pernah menganggap dirinya sebagai anak Budha. Walaupun konteks pengakuannya sebagai anak Budha itu hanya didasarkan pada pengalaman dirinya yang pernah sakit keras dan berobat ke berbagai dokter namun tak kunjung sembuh sampai pada akhirnya ia disembuhkan dengan ramuan air abu sesaji seorang “pesakitan” Tionghoa. Hal ini ia ceritakan dalam suratnya kepada Ny. Abendanon pada tanggal 27 Oktober 1902. “Ketahuilah Nyonya, bahwa saya anak Budha, dan itu sudah menjadi alasan untuk pantang makan daging. Waktu kecil saya sakit keras; para dokter tidak dapat menolong kami; mereka putus asa. Datanglah seorang Cina (orang hukuman) yang bersahabat dengan kami, anak-anak. Dia menawarkan diri menolong saya. Orang tua kami menerimanya, dan saya sembuh. Apa yang tidak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar, barhasil dengan “obat tukang jamu”. Ia menyembuhkan saya dengan menyuruh saya minim abu lidi sesaji kepada patung kecil dewa Cina. Karena minuman itulah saya menjadi anak leluhur suci Cina itu, yaitu Santik Kong dari Welahan.”
Pemahaman Kartini akan ketuhanan membawanya pada sebuah pemahaman universal, bahwa semua diciptakan oleh Tuhan yang Esa. Manusia dipersatukan dan dipersaudarakan. Agama diberikan Tuhan sebagai berkat bagi semua makhluk, dan manusia diciptakan tanpa tanpa melihat strata, pangkat, warna kulit, dsb. Dan keyakinan ini tidak berdiri sendiri dan tidak sekedar keberagamaan seseorang. Namun ia memberikan implikasi pada hubungan antar bangsa, antar budaya, antar agama, dan sebagainya. Sehingga tidak mengherankan jika Kartini mengritik tidak hanya ajaran Islam, namun juga Kristen. Kartini menginginkan agar agama-agama bisa saling bekerja sama demi kepentingan kemanusiaan, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Meskipun Kartini mempunyai pemahaman bahwa semua manusia bersaudara karena satu Tuhan, namun bukan berarti ia tidak memahami realitas yang terjadi dalam hubungan antarumat beragama, seperti pernyataannya dalam surat yang ditujukan kepada Stella pada tanggal 6 November 1899 ketika jiwanya bergejolak dalam keraguan, Kartini menulis “Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya mempersatukan semua manusia, justru sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat mengerikan. Orang-orang seibu-sebapak ancam-mengancam berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Esa, dan Tuhan Yang Sama.”
Pergulatan spiritualitas Kartini tidak berhenti sebatas dirinya dan Tuhan. Namun juga pada praktik keberagamaan yang terjadi disekitarnya. Kartini sangat prihatin dan berpikir keras melihat persaingan sengit antar agama yang terjadi di masyarakat yang kemudian melupakan aspek kemanusiaan dari masyarakat sendiri. Bagaimana Kartini melihat para pemeluk agama saling berebut pengaruh, menghina dan membenci untuk menjadi agama yang paling banyak pengikutnya dan melupakan bahwa agama itu bersifat melayani dan penuh kasih sayang serta menjadi rahmat bagi semua makhluk ciptaan Tuhan. Sehingga dalam suratnya kepada Ny. Van Kol 20 Agustus 1902, Kartini menulis “... bahwa manusialah yang berbuat jahat, yang dengan sombong menggunakan nama Tuhan untuk menutupi perbuatan-perbuatan jahat... bahwa pada mulanya semuanya bagus, tapi manusia membuat yang bagus itu menjadi buruk. Aduhai! Betapa tidak ada toleransi dari pihak kebanyakan orang yang memegang teguh agama!”
Kegelisahan Kartini terhadap praktik keberagamaan di masa itu terus bergelut dipikirannya. Karena keyakinannya bahwa agama adalah jalan menuju kebaikan, sehingga ketika praktik-praktik keberagamaan itu sendiri menyalahi tujuan agama, hanya ada kegalauan, kegundahan dan kegelisahan. Dan kembali dalam suratnya kepapda Ny. Van Kol tanggal 12 Desember 1902, kartini menegaskan “...bukan agama yang tiada kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang membuat buruk segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu. Sepanjang hemat kami agama yang paling indah dan paling suci adalah kasih sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seseorang mutlak harus menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang penyembah berhala pun dapat juga hidup dengan kasih sayang yang murni.”
Kartini menyatakan bahwa semua agama pada dasarnya sama saja. Tidak ada satu agama yang lebih tinggi dari agama lainnya. Semua agama adalah jalan yang diberikan Tuhan untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Adriani pada tanggal 24 September 1902, dikatakan oleh Kartini bahwa semua agama menuju kepada kebaikan. “Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tapi kesemuanya itu menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan dan kami sendiri menyebutnya Allah.”
Apabila Kartini menyebut tentang jalan-jalan yang berbeda, tetapi menuju tujuan yang sama, maka setidaknya hal itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang sinkretis. Namun dalam hal ini, sinkretisme Kartini bukanlah sinkretisme dogmatis, melainkan sinkretisme etis. Sinkretisme etis yang dimaksud adalah Kartini menganggap semua agama pada hakikatnya sama-sama mengajarkan kebaikan, namun seringkali justru pemeluknya sendiri yang membuat agama menjadi dipandang tidak baik karena perilakunya. Kartini memandang bahwa dalam setiap perbedaan agama ada suatu titik temu yakni mengenai ajaran kebaikan. Disinilah letak pemahaman Kartini yang meniadakan sekat antara agama dan kehidupan keseharian. Kartini memahami agama tidak secara dogmatis. Kartini memahami agama sebagai spiritualitas pribadi yang mengejawantah dalam sikap dan perilaku serta budi pekerti di kehidupan keseharian manusia. Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa Kartini menginginkan semua orang berdamai, tidak saling benci, tidak berperang, dan bersama-sama memikirkan masalah perbaikan kemanusiaan karena pada dasarnya semua agama menuju kepada kebaikan dan kesejahteraan manusia sebagai makhluk Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
- Karimah, Asma. Tragedi Kartini: Sebuah Pertarungan Ideologi. Bandung: Asy-Syaamil, 2001.
- Soeroto, Sitisoemandari. Kartini: Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung, 1979.
- Sumartana, Th. Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Jakarta: Grafiti, 1993.
- Surat-surat Kartini, Renungan tentang dan untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno. Jakarta: Djambatan, 1979.
- Toer, Pramoedya Ananta. Panggil aku Kartini saja. Jakarta: Hasta Mitra, 2000
Post a Comment