Tinggalkan Dulu Gadgetmu
Luviana- www.konde.co
Jakarta, Konde.co – Bagaimana sebaiknya membuka akses internet untuk anak-anak? kekuatiran para orangtua atas penggunaan internet ini sebenarnya merupakan kekuatiran yang sudah pernah terjadi sebelumnya, ketika dulu anak-anak mulai mengakses televisi.
Pada masa sebelumnya, banyak orangtua resah ketika televisi hadir di tengah kita. Ia menyeruak masuk dalam ruangan dan dinikmati oleh anak-anak. Padahal tak semua acara tv boleh dikonsumsi anak. Ada sinetron yang khusus untuk orang dewasa yang kemudian melibatkan anak dan tayang di jam-jam anak, ada tayangan infotainment yang juga diputar di jam-jam anak-anak nonton TV. Lalu ada pula iklan untuk orang dewasa yang tayang di jam-jam anak.
Begitu pula dengan internet. Ada banyak situs yang tak boleh diakses anak. Namun internet sudah hadir di tengah-tengah kita. Sejumlah penelitian tentang anak dan pengaruh televisi serta gadget menyebutkan bahwa anak-anak yang mengakses TV dan gadget yang terlalu banyak akan mengganggu perilaku anak, mengganggu psikologi anak dan juga penggunaan waktunya. Sering kita lihat, anak-anak menjadi sibuk melihat TV dan gadget, sehingga lupa belajar dan bermain dengan teman-temannya. Banyak orangtua yang mengeluhkan ini.
‘Padahal saya sudah bilang, ayo belajar dulu. Tinggalkan dulu gadgetmu. Tapi prakteknya susah banget,” kata sejumlah orangtua yang pernah saya temui.
Internet memuat gambar-gambar yang bagus, film-film yang menarik, dan juga game yang menarik bagi anak-anak. Inilah yang membuat anak-anak sulit meninggalkan gadget.
Anak dan Penggunaan Internet
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan pada 2011-2014 tercatat 1.022 anak menjadi korban kejahatan dunia online yaitu mencakup:
1. Pornografi
2. Prostitusi anak
3. Objek rekaman CD porno
4. Kekerasan seksual
5. Bullying
Selain itu 24 persen dari jumlah anak-anak di atas mengaku memiliki materi pornografi berupa teks, gambar maupun video yang diakses melalui beragam alat seperti telepon genggam, kamputer, laptop, dan di beragam tempat yang menyediakan akses internet seperti rumah, sekolah, ruang publik dan warung internet.
Sekitar 90 persen anak mengaku terpapar pornografi sejak usia 11 tahun ketika mencari data online untuk mengerjakan tugas sekolah, mendapat kiriman dari teman atau orang asing yang dikenal di dunia maya.
Dalam acara Penghargaan Karya Jurnalistik Terbaik tentang Anak AJI-UNICEF 2016 di Jakarta, 29 November 2016 lalu, Perwakilan UNICEF Gunilla Olsson menyatakan bahwa anak-anak akan rentan terhadap bahaya yang ditimbulkan media sosial.
“Anak-anak muda ini rentan terhadap bahaya yang ditimbulkan dari media sosial, seperti pelecehan seksual, perundungan (bullying), atau pelanggaran privasi,” jelas Ibu Gunilla.
“Sehingga sangat penting bagi media untuk memonitor hak-hak anak ini,” kata Gunilla Olsson.
Sementara itu hasil riset yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan dukungan UNICEF pada 2011-2012 terhadap 400 anak di pedesaan dan perkotaan menunjukkan 80 persen anak-anak usia 10-19 tahun telah mengakses internet. Jumlah pengakses terbanyak adalah anak berusia 14-15 tahun (26 persen), dengan tingkat pendidikan terbanyak SMP (39 persen). Mayoritas mengakses internet dengan tujuan untuk mengakses sosial media, selain mengerjakan tugas, bermain game. Sekitar 24 persen mengaku membangun komunikasi dengan orang yang baru dikenal di internet.
Dari riset ini juga muncul pengakuan hanya 42 persen responden yang memahami bentuk kekerasan di dunia maya. Dari itu, 13 persen diantaranya mengaku pernah mengalami perisakan, lebih spesifik 5 persen diantaranya menjadi korban perisakan di dunia maya lebih dari sekali baik melalui media sosial yang kemudian berlanjut melalui pesan singkat.
Kondisi ini disebabkan karena beragam faktor diantaranya karena rendahnya larangan mengakses media sosial di sekolah (sebaliknya sekolah membatasi akses data), edukasi yang rendah tentang internet sehat di sekolah dan rendahnya pendampingan orang tua pada anak saat mengakses internet di rumah.
Hanya sekitar 50,9 persen anak dan remaja yang menjadi responden riset ini mengaku mendapat petunjuk atau aturan mengakses internet dari orang tua, sekitar 20,8 persen mengaku mendapat pedampingan langsung saat berselancar di dunia maya dari orang tua. Serta hanya 16,7 responden yang mengaku berteman dengan orang tua mereka di media sosial.
Perlunya Situs Layak Anak
Data menunjukkan penetrasi internet di Indonesia saat ini masih berada pada angka 33 persen dari jumlah penduduk. Data terakhir yang dirilis We Are Social berdasarkan data BPS, pada awal tahun 2016, pengguna internet aktif di Indonesia mencapai 88,1 juta dari 259,1 juta jiwa penduduk. Jumlah ini masih dibawah rata-rata penetrasi internet dunia yang mencapai 46 persen.
Meski demikian, tingkat rata-rata waktu yang dihabiskan untuk mengakses internet, Indonesia menempati posisi nomor enam setelah Brazil, Filipina, Afrika Selatan, Thailand dan Argentina, mencapai 3-5 jam per hari. Dari jumlah di atas, 79 juta pengakses internet mengaku aktif di media social. Dari jumlah itu sekitar 15 juta pengakses internet usia 12-17 tahun.
Setidaknya mereka mengaku telah memiliki akun sosial media facebook.
“Keamanan anak di dunia digital semakin mengkhawatirkan. Beberapa kejahatan di dunia maya, muncul dari apa yg mereka posting,” kata Suwarjono, Ketua AJI Indonesia dalam kesempatan yang sama.
Seperti pisau bermata dua. Jumlah digital native pada usia anak dan remaja ini di satu sisi mengembirakan karena, anak-anak Indonesia tidak asing dengan teknologi informasi. Tapi di sisi lain menjadi mengkhawatirkan karena pemahaman dan kemampuan anak-anak memproteksi diri dari dampak negatif dan kejahatan dunia maya masih rendah.
Kondisi ini mendapat perhatian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan UNICEF Indonesia kembali menggelar bagi jurnalis yang memberikan perhatian pada isu anak. Tahun ini mengambil tema Digital Safety and Protection on Children.
Suwarjono mengatakan penghargaan ini bagian dari kampanye Digital Safety on Children dan salah satu bentuk kepedulian terutama terkait menjaga anak-anak sebagai generasi penerus bangsa.
“Sekaligus pertanggungjawaban AJI pada publik,” kata Suwarjono.
Gunilla Olsson menekankan pentingnya peran jurnalis dalam meningkatkan kepedulian dan mendorong diskusi publik tentang tantangan dan pencapaian yang ada, saat mengimplementasikan hak-hak anak di Indonesia.
“Anak-anak tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk melindungi dan menyuarakan hak-hak mereka, sehingga jurnalis dapat menolong mereka dengan menyampaikan suara mereka dan menekankan betapa pentingnya masalah ini (digital safety and protection on children, red) kepada masyarakat luas,” kata Gunilla.
Menkominfo Rudiantara mengatakan bahwa pemerintah berjanji untuk melindungi anak dari situs yang tak layak untuk anak. Rudiantara juga berjanji untuk mempromosikan situs layak anak. Situs-situs ini adalah situs yang layak diakses oleh anak-anak. Dengan adanya situs layak anak, maka orangtua menjadi tahu apa situs yang layak ditonton anak-anaknya.
Post a Comment