Consent Seksual Perempuan
*Dewi Nova - www.konde.co
Consent Seksual sebagai Harkat Manusia
Tubuh yang terbuka pada tubuh lain --yang membawa tanda atau kedatangan kenikmatan seksual-- berjalan saling pikat dalam kerendahan hati dan gradasi cahaya welas asih.
Tubuh yang berpilin dengan perasaan terhalus, kualitas religius[2] dan kesadaran --yang menunjukan putusan politik untuk berkata ya atau tidak atas berlangsungnya peristiwa seksual. Semua itu berjalan bersamaan, ketika seseorang memberikan consent seksual[3] sebagai perayaan harkat kemanusiaanya.
Harkat manusia --yang bertubuh itu sendiri—terbebas dari himbauan formalisasi agama/keyakinan, idiologi, norma masyarakat, sistem pengetahuan dan hal lain produk konsensus manusia. Consent seksual sebagai wujud harkat manusia yang terbebas dari ancaman secara emosional, ekonomi, sosial, politik dan budaya. Consent seksual yang jujur dan nyaman, tanpa ancaman dan atau paksaan dari manusia lain yang relasi kuasanya tidak imbang atas basis apapun.
Kenikmatan seksual anak kandung consent seksual. Kenikmatan seksual serupa kenikmatan beragama/berkeyakinan. Ia pertanda harkat manusia sedang bekerja. Harkat manusia yang tidak diberikan sesiapa tetapi Pencipta.
Persetujuan atau consent seksual adalah tanda kemanusiaan-kedaulatan manusia itu sendiri. Pengabaian, penyerangan terhadap consent seksual adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Seseorang yang mengabaikan consent seksual orang lain telah mengabaikan kemanusiaan orang yang dilanggar consentnya dan menghancurkan sendiri harkat kemanusiaannya.
Peristiwa Perampasan Consent Seksual
Consent seksual perempuan sering diabaikan pada peristiwa perkosaan. Misalnya pada kasus perkosaan isteri oleh suami atau dalam relasi intim lainnya –pacaran, persahabatan, dll—; pekerja seks oleh pelanggan; PRT oleh majikan; perempuan bersahaja oleh laki-laki populer –penyair, artis, agamawan, politisi; perempuan aktivis kemanusiaan oleh laki-laki aktivis kemanusiaan; dan terhadap perempuan yang dengan sadar menjalankan kemerdekaan seksualnya, yang sering ditafsirkan sebagai perempuan “free sex” karenanya wajar untuk diserang seksualitasnya, sebagai konsekuensi ketidakpatuhannya pada regulasi seksual.
Juga terhadap perempuan lesbian, biseks dan transgender dari perempuan ke laki-laki, ketidakpatuhannya pada regulasi seksual hetero dianggap menantang keduanya –norma hetero dan norma patriarki- dan mengundang perkosaan untuk tujuan kemarahan atau koreksi orientasi seksual dan identitas gender.
Consent seksual perempuan juga dirampas antara lain pada kasus pernikahan anak, pernikahan untuk motif penyelamatan ekonomi keluarga-keluarga yang dimiskinkan, pernikahan motif politik dll. Dalam kasus tersebut marital rape (perkosaan dalam pernikahan) dimanipulasi sebagai pleasure dan prokreasi dalam keluarga, bahkan ‘kesolehan’ keluarga kaya terhadap keluarga yang dimiskinkan.
Consent seksual perempuan tidak ditimbang, karena pelaku menafsirkan kehadiran, cara berpenampilan dan cara komunikasi perempuan bukan dari sudut pandang perempuan tersebut. Tetapi dari sudut pandang kontruksi kemenjadian lelaki yang ‘direstui’ oleh norma dan regulasi seksual sebagai mahluk yang tidak tahan mengendalikan hasratnya, kuasa yang lebih penuh dari perempuan –boleh menggoda bahkan memaksa- dan Priveledge –laki-laki boleh nakal dan mudah dimaafkan, bahkan bebas dari hukuman, bila perempuannya menggoda atau dianggap berkontribusi pada peristiwa perkosaan.
Budaya Memperkosa
Priveledge konstruksi menjadi laki-laki yang patriakis tidak jatuh dari langit. Ia ditopang oleh norma-norma dan regulasi seksual, aparatus yang menegakannya, edukasi-edukasi yang membuat kita permisif bahkan terlibat di dalamnya dan bersekongkol memperkokoh Budaya Memperkosa[4] – mengabaikan consent seksual perempuan.
Norma dan regulasi seksual tidak pernah berdiri sendiri, ia berpilin dengan kepentingan politik, dominasi ekonomi, ras, etnik, agama/keyakinan tertentu. Norma dan regulasi seksual tidak selalu serta merta dan secara langsung menganjurkan perkosaan. Tetapi melalui norma atau regulasi yang melakukan pengaturan-pengaturan tertentu sehingga membuka ruang kondusif bagi berlangsungnya dan pembenaran atas perkosaan.
Antara lain, pembatasan ruang gerak dan ekpresi warga perempuan. Misalnya, kepentingan kesatuan RI berkompromi pada lahirnya qanun di Aceh yang, antara lain, mengontrol busana muslim yang paling benar dan tidak berduaan. Hasilnya, penangkapan atas argumen busana lebih banyak menyasar perempuan. Juga efek rejim represi seksual, antara lain perkosaan terhadap perempuan yang sedang menjalani proses Qanun khalwat (berduaan bukan dengan pasangan sah) oleh Wilayatul Hisbah (pengawas pemberlakuan Qanun Syariah Islam). Dan penyebarluasan video yang mempertunjukan sipil menggerebek dan melecehkan perempuan yang kepergok berduaan dengan bukan pasangan sah, di bawah ancaman akan dilaporkan ke Dinas Syariah.
Norma perempuan yang harus menjaga diri, di satu sisi, mengakibatkan cara berpikir dan sikap menyalahkan perempuan bila perkosaan terjadi, bukan memeriksa norma pelaku dan masyarakat yang memungkinkan perkosaan terus terjadi. Di sisi lain, bila perempuan berpikir dan bertindak tidak sejalan dengan norma tersebut, dianggap memberikan persetujuan untuk dilecehkan hingga diperkosa. Aparatus penegak norma dan regulasi-regulasi tersebut, adalah kita semua yang membiarkan norma dan regulasi tersebut disahkan masyarakat dan negara, lalu mewujud dalam praktik keseharian.
Sedangkan, edukasi budaya memperkosa ditanamakan dari hal yang paling kasar –seperti sebaran foto di sosmed yang menunjukan gambar pacul yang banyak untuk mengancam perkosaan pada warga perempuan, paska kasus dating rape menggunakan pacul— hingga yang dianggap benar: Tidak peduli bahkan memberi gestur menyalahkan pada perempuan yang diteriakan kata-kata merendahkan karena penampilannya (sering berkelindan dengan etnis, jenis pekerjaanya, dan waktu/jam dia berada di ruang publik dll).
Permisif pada budaya memperkosa itu akan memburuk bila situasi ekonomi-sosial memburuk. Antara lain permisif kita pada trafiking anak perempuan dan perempuan di pengungsian Timor Barat, kawin paksa pada anak perempuan paska Tsunami di Aceh. Permisif pada anak perempuan dan perempuan yang rentan di perkosa saat menjual jasa seks di lingkungan kita. Permisif pada para penyerang atas nama agama yang mengancam perkosaan pada perempuan Ahmadiyah. Pada praktiknya kemunduran/kerusakan sumber daya alam, konflik, kapitalisme dan konsumerisme yang menurunkan daya hidup masyarakat akan mendorong anak perempuan dan perempuan sebagai penyelamat ekonomi yang memperburuk mereka pada situasi perkosaan yang permisif.
Demikian juga permisif kita pada dominasi kebenaran tunggal baik itu berbasis agama maupun militerisme beresiko memburuknya regulasi seksual sebagai alat kontrol tertua otoriterian terhadap warga, yang lagi-lagi akan lebih banyak mengorbankan perempuan.
Yang Dapat Dilakukan, Lakukanlah
Consent seksual perempuan tidak berdiri sendiri. Ia terus bernegosiasi dengan dinamika sosial, politik, budaya dan ekonomi yang melingkupinya. Bergerak dinamis, berbeda antara perempuan yang lebih diuntungkan oleh sistem dan perempuan yang diperburuk hidupnya oleh sistem yang eksis.
Karena itu dalam kita membaca consent seksual perempuan, bahkan ketika perempuan mengatakan ya, kita mesti teliti dengan sedikitnya tiga hal berikut: (1) relasi kuasa antara yang dianggap memberikan persetujuan kepada yang (merasa) mendapatkan persetujuan; (2) konteks atau situasi keagamaan, budaya, politik, sosial dan ekonomi yang sedang dihadapi oleh yang memberikan persetujuan; (3) segala bias kepentingan dan norma-norma dominan yang menafsirkan persetujuan seksual baik dari yang (merasa) mendapatkan persetujuan maupun pihak ketiga –kita, publik, dll—yang mengetahui peristiwa ‘persetujuan seksual’ tersebut.
Tanpa meneliti ketiganya, kita mudah jatuh pada persetujuan semu atau persetujuan anggapan kita (perspektif orang ke-tiga) bukan persetujuan sejatinya yang empunya (perspektif orang pertama). Tanpa ketelitian, kita mudah masuk pada tafsiran agresi seksual menjadi kenikmatan seksual atau pro-kreasi. Kita menolak fakta perkosaan menjadi data suka sama suka. Dan tanpa turut memperkosa langsung, kita telah beramai-ramai menghidup-langgengkan budaya perkosaan.
Untuk memungkinan consent seksual perempuan berlangsung, kita perlu gotong-royong menciptakan ruang yang kondusif. Antara lain memulihkan penopang budaya perkosaan menjadi budaya manusiawi. Mengajari diri sendiri dan pasangan untuk memahami dan mempraktikan kenikmatan sek melalui penghormatan consent masing-masing sepenuhnya. Mengajari anak-anak perempuan dan laki-laki untuk memahmi consent seksual sejak dini, dll.
Dalam konteks regulasi, misalnya dengan memberikan dukungan pada Advokasi terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan penolakan gerakan perempuan dan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) terhadap uji materiil KUHP di Mahkamah Konstitusi yang diajukan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) --yang berpotensi merepresi seksualitas warga terutama perempuan dan LGBT.
Juga memberikan dukungan pada masyarakat yang sedang mempertahankan lingkungan-ruang hidupnya, antara lain masyarakat Kendeng di Jawa Tengah dan masyarkat Antajaya di Jawa Barat. Karena, hilangnya ruang hidup beresiko mempertaruhkan anak perempuan dan perempuan pada budaya perkosaan berwajah pernikahan dan jasa seks tanpa perlindungan kerja.
Eling lan waspada pada pergerakan-pergerakan penunggalangan kebenaran atas nama apapun. Karena pergerakan seperti itu akan mengaganggu ruang perbedaan, ruang hidup bersama dan menguatkan cara berpikir bertindak diskriminatif yang kondusif bagi timbulnya kekerasan, termasuk perkosaan. Eling lan waspada pada pergerakan-pergerakan yang mengusung nilai-nilai final – tertutup – harga mati.
Yang tertutup dan final mengarah pada otoriterian yang akan memperburuk represi kebebasan sipil, yang antara lain, sering menggunakan represi seksual. Eling lan waspada pada otoriterian kapitalisme yang membuat kita betah dan bangga dalam konsumerisme yang terus menerus mengeskploitasi seksualitas perempuan dan membuat kita merasa keren menjadi bagian dari sistem ini –tidak peka pada ketidakadilan.
Tidak artinya tidak
...
Tidak bukan sekadar kata, ia kalimat lengkap
tidak membutuhkan kalimat lebih lanjut
para lelaki harus mengerti siapapun perempuan yang mengatakannya
apakah perempuan itu seorang kenalan, teman,
kekasih, pekerja seks
atau bahkan isteri anda
Tidak berarti Tidak
ketika seseorang mengatakan tidak
kita harus menghentikannya
Pembelaan pengacara terhadap klien yang dituduh menganiaya dan mengancam kematian laki-laki
yang memperkosanya pada film Pink.
(Artikel ini dibincangkan pada nonton bareng film Pink dan Diskusi Rape Culture & Women’s Sexual Consent Issue yang diselenggarakan Kriminologi FISIP UI, PKBI, Komnas Perempuan dan Perempuan Berbagi, dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2016).
[2] Kualitas religius yang dimaksud dalam tulisan ini bukan merujuk pada penilaian atas kesolehan seseorang dalam formalitas agama-agama tetapi kemampuan manusia untuk merasakan jejak dan cahaya Pencipta. Pada sebagian pengalaman kualitas religius ini dirasakan atau hadir dalam peristiwa seksual dengan consent melimpah.
[3] Consent bukan hanya tentang mendapatkan izin, tapi tentang memastikan hubungan seksual yang terjadi didasarkan pada saling berkeinginan dan antusiasme. Sumber: Rosanna Brunwin. 2015. The Problem With How We’ve Defined Consent. Online dari: http://everydayfeminism.com/2015/11/the-problem-with-consent/, akses 20 November 2016
[4]satu set keyakinan yang mendorong dan mendukung agresi seksual laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan, kekerasan yang bermula dari transgresi (pemaksaan) seksual ringan hingga perkosaan. Masyarakat kemudian memandang kekerasan sebagai sesuatu yang seksi dan seksualitas sebagai sesuatu yang dilarang. Dalam rape culture, peneroran terhadap fisik dan emosional perempuan dibenarkan sebagai sebuah norma, serta laki-laki dan perempuan mengganggap bahwa kekerasan seksual adalah fakta kehidupan yang tak dapat terelakkan. Tanpa kita sadari bahwa sesuatu yang kita terima sebagai yang tak terelakkan tersebut dapat berubah. Emilie Buchwald, Pamela R. Fletcher & Martha Roth. 2005. Transforming A Rape Culture: Revised Edition. USA: Milkweed Editions.
* Dewi Nova, Penulis Perempuan Kopi dan pediri organisasi relawan Perempuan Berbagi, dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com
PEREMPUAN BERBAGI lahir dari pengalaman sehari-hari sebagai ibu, anak perempuan, remaja perempuan, perempuan lanjut usia, perempuan berpasangan/tidak berpasangan. Pengalaman yang melampaui batas ketubuhan, seksualitas, dan kontruksi gender. Perempuan yang dalam arti mencakup keragaman orientasi seksual, ekspresi, dan peran gender. Nilai-nilai yang kami tanam dan rawat: Memilih memahami menolak menghakimi; Merayakan keragaman menolak penunggalan; Merajut dan merayakan sumber daya perempuan dan daya lain yang berkontribusi kepada kedaulatan perempuan, tak terbatas pada secara politik, ekonomi dan budaya; Menolak berkontribusi kepada sistem dan praktik hidup apapun yang menurunkan derajat hidup perempuan; Menumpulkan sistem yang opresif dengan ragam aksi dan metodologi menuju kedaulatan perempuan; Merawat jalinan gerakan dengan kekuatan sevisi dalam hidup pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa-bangsa sedunia.
Program gotong-royong yang kami jalankan antara lain: pelatihan peka dan responsif untuk menemani dan mendukung korban kekerasan; pelatihan kelas menulis, penerbitan dan diskusi buku terkait kedaulatan perempuan dan penyelengaran tradisi kampanye 16 Hari Penuh Cinta++ yang diselenggarakan dari 20 November (hari transgender) – 22 Desember (hari perempuan Indonesia) melalui berbagai kegiatan –panggung seni, diskusi publik dan pelatihan pendampingan korban. Kami membuka gotong-royong dengan individu dan lembaga yang memiliki visi selaras untuk bersama-sama mewujudkan dunia yang menghormati kedaulatan perempuan, berharmoni dengan kedaulatan budaya, politik, sosial, konomi dan penghormatan pada alam raya.
(perempuan.berbagi@gmail.com http://perempuan-berbagi.blogspot.co.id/)
Post a Comment