Kekerasan, Pemecahbelahan yang Terjadi pada Perempuan Petani Kendeng
Luviana – www.konde.co
Jakarta, Konde.co – Perjuangan para petani Kendeng di Jawa Tengah hingga kini belum berakhir. Aksi terus dilakukan oleh para petani di Kendeng untuk menghentikan eksploitase alam akibat pembangunan pabrik semen disana.
Temuan Komnas Perempuan atas pendirian dan rencana pendirian pabrik semen serta eksploitasi Kawasan Karts di pegunungan Kendeng Utara dan Selatan menyebutkan, bahwa pembangunan ini juga mengakibatkan adanya konflik pemecahbelahan yang terjadi hingga sampai ke keluarga yang menyebabkan ketegangan bahkan perceraian karena perbedaan keberpihakan pro dan tolak semen.
Yang lebih menyedihkan, anak-anak yang menolak semen diintimidasi guru dan didiskriminasi di sejumlah sekolah.
Hal lain terdapatnya kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan yang dialami perempuan saat emonstrasi menentang pendirian semen, ancaman pada perempuan pembela HAM perempuan oleh preman, aparat, juga oleh tetangga.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan berbagai pola akibat banyaknya pendatang yang kost dan mulai ada gangguan pada isteri pemilik kost, isteri yang bekerja untuk berjualan menopang karyawan pabrik semen yang mulai dicurigai suami dan warga, karena dikhawatirkan menjalani prostitusi terselubung. Selain itu warung-warung kopi yang dahulu dijaga orang tua mulai diganti jadi tempat karaoke dan dilayani oleh perempuan-perempuan muda, diskotik yang menampilkan wajah-wajah perempuan belia untuk mengundang pengunjung.
Selain itu terdapat politisasi agama yang memecah warga dan mem-victimisasi perempuan.
Inilah temuan Komnas Perempuan selengkapnya:
1. Pertama, telah terjadi kehancuran dan kerusakan alam yang parah dengan penambangan batu kapur, dari mengamputasi gunung, menggali hingga nyaris mendekati kedalaman permukaan laut. Tanpa memperhatikan keamanan penambangan hingga terjadi longsor yang mengundang kematian, jatuh ke dalam lubang tambang, hingga dampak banjir di wilayah lain.
2. Hal lain telah terjadi polusi berat udara karena debu yang diakibatkan lalu lalangnya kendaraan pengangkut bahan baku batu kapur tersebut, baik di area penambangan, arena proyek pabrik Semen Rembang, maupun perkampungan yang dilalui mobil tersebut. Debu putih menutupi tanaman, yang dilaporkan warga sudah tidak bisa dikonsumsi ternak, dan mengganggu pernafasan, mata, kulit yang dapat merusak kesehatan warga baik dalam waktu dekat atau panjang.
3. Yang ketiga, telah terjadi konflik horisontal yang merusak kehidupan sosial yang selama ini banyak dirawat oleh perempuan, ketegangan antar warga yang pro dan tolak semen. Retaknya kohesi sosial, tergerusnya budaya saling mengayomi, hilangnya rasa aman oleh tetangga sendiri, misalnya perempuan pemilik tanah yang tolak semen selalu bawa pasir untuk perlindungan diri
karena diancam. Rumah-rumah bersaing memasang pamflet pro atau tolak semen yang menghentikan interaksi dan komunikasi yang semula adalah masyarakat yang rekat. Politik sumbangan dan konsultasi yang dirasakan cenderung banyak melibatkan warga pro semen yang semakin menaikkan ketegangan warga.
4. Keempat, rusaknya ekosistem dan keanekaragaman hayati; perempuan-perempuan Kendeng, mengidentifikasi potensi hancurnya ekosistem, baik air yang disimpan di gunung karts akan hancur padahal tempat bergantungnya pertanian masyarakat, tanaman obat yang diidentifikasi setidaknya 52 jenis sebagai apotik masyarakat yang lambat laun dikhawatirkan akan punah.
5. Kelima, perempuan Surokonto Wetan kehilangan rasa aman akibat kriminalisasi lahan tukar guling PT Semen Indonesia dengan lahan yang selama ini mereka garap sebagai sumber kehidupan, perempuan Surokonto Wetan terancam bermigrasi tanpa kesiapan dan menimbulkan permasalahan baru.
6. Keenam, terganggunya wilayah sakral dan hak budaya masyarakat, karena kehadiran pabrik semen di dekat lokus yang disakralkan dan dijadikan lokus spiritual, salah satunya adalah makam tokoh spiritual perempuan, yang dihormati warga, termasuk makam yang dipercaya warga sebagai keturunan wali. Padahal lokus tersebut bagian dari situs sejarah penting bagi bangsa.
7. Ketujuh, konflik bahkan terjadi sampai ke keluarga yang menyebabkan ketegangan bahkan perceraian karena perbedaan keberpihakan pro dan tolak semen. Yang lebih menyedihkan, anak-anak yang tolak semen diintimidasi guru dan didiskriminasi di sejumlah sekolah.
8. Kedelapan, kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan yang dialami perempuan saat demonstrasi menentang pendirian semen, ancaman pada perempuan pembela HAM perempuan oleh preman, aparat, juga oleh tetangga. KDRT dengan berbagai pola akibat banyaknya pendatang yang kost dan mulai ada gangguan pada isteri pemilik kost, isteri yang bekerja untuk berjualan menopang karyawan pabrik semen yang mulai dicurigai suami dan warga, karena dikhawatirkan menjalani prostitusi terselubung. Selain itu warung-warung kopi yang dahulu dijaga orang tua mulai diganti jadi tempat karaoke dan dilayani oleh perempuan-perempuan muda, diskotik yang menampilkan wajah-wajah perempuan belia untuk mengundang pengunjung. Selain itu politisasi agama yang memecah warga dan mem-victimisasi perempuan.
9. Kesembilan, perendahan dan pengabaian pada perjuangan perempuan Kendeng oleh aparat negara dalam berbagai bentuk: a) mengabaikan analisis dan kekhawatiran perempuan akan kerusakan lingkungan yang dikalkulasi dengan cermat berdasarkan kedekatannya pada alam dan merawat kehidupan. b) Mempertanyakan kemampuan dan mencurigai bahwa perempuan-perempuan ini dipakai dan dipolitisasi. c) Mengabaikan pelaporan kekerasan yang dialami perempuan saat peletakan baru pertama pendirian pabrik semen Rembang, karena hingga saat ini belum ada tindak lanjut atas pelaporan tersebut.
Untuk itu Komnas Perempuan menyatakan sejumlah hal yaitu negara harus berani bersikap, tindak lanjuti keputusan inkrah, hentikan rencana pendirian pabrik semen, karena proses pendiriannya maupun penambangan yang ada, sudah berdampak serius pada kerusakan sosial, konflik horizontal, kekerasan terhadap perempuan dan dampak panjang kerusakan lingkungan.
Seleian itu, Gubernur Jateng segera melaksanakan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap sebagai bentuk tanggungjawab negara terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM warga negara, dan sebagai bagian dari penyelesaian konflik pengelolaan SDA secara bermartabat.
Menghentikan ekspor semen dan menyerukan seluruh pihak untuk meminimalisir penggunaan semen sebagai bahan baku membangun, juga sebagai bagian dari upaya minimalisir eksploitasi alam yang akan merusak ekosistem dan negara harus cermat keluarkan izin, lakukan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) yang independen, akui kajian masyarakat terutama analisa perempuan di komunitas atas wilayahnya, karena mereka yang tahu dekat dengan bumi sebagai sumber hidup, faham wilayahnya dan yang akan terdampak langsung atau tidak langsung. Libatkan perempuan dalam seluruh proses konsultasi secara sejati bukan hanya syarat formal.
Setelah itu menanggulangi konflik dan kekerasan di komunitas, utamanya kekerasan terhadap perempuan yang sudah dan yang akan timbul baik di publik maupun domestik dan mengapresiasi perjuangan perempuan Kendeng dan masyarakat peduli Kendeng yang tidak lelah berjuang untuk merawat ekosistem. Mereka telah melakukan langkah-langkah damai, konstitusional, dengan taat pada proses hukum. Selain itu mereka jeli melakukan kajian lingkungan dengan perpektif integratif baik pada isu lingkungan maupun dampak jangka panjang, termasuk pada perempuan dan merawat hak masyarakat adat.
Post a Comment