Header Ads

Sekolah Buruh Perempuan, Berjuang Merebut Pengetahuan


Luviana- www.konde.co

Jakarta, Konde.co – Amai Setia merupakan salah satu sekolah perempuan yang berdiri di jaman kolonial Belanda, tepatnya di tahun 1911. Didirikan oleh Roehana Koeddoes, sekolah ini kemudian mengajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, dari keterampilan mengelola keuangan, membaca dan menulis, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Banyak sekali rintangan yang dihadapi Roehana dalam mewujudkan cita-citanya. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang, Sumatera Barat.

Lalu berikutnya tersebutlah Sakola Istri, yang didirikan Dewi Sartika di Bandung di tahun 1904. Sebelum sekolah ini berdiri, Dewi memang sudah kerap mengajar anak-anak perempuan berbagai ketrampilan. Mulai dari merenda, memasak, menjahit juga membaca dan menulis kepada saudara-saudaranya. Di sekolah yang sudah berdiri di jaman kolonial Belanda inilah, Dewi Sartika kemudian mengajar ketrampilan para perempuan.

Tentu tak mudah mendirikan sekolah perempuan, lalu mengajak para perempuan untuk bersekolah di masa itu. karena, perempuan di masa itu tak boleh pintar, tak boleh keluar rumah, hanya boleh mengurus anak.

Lalu, satu lagi Kartini, adalah salah satu pendidik yang mengajar anak-anak buruh di belakang rumahnya. Hidup di dalam keraton tak pernah membuatnya lupa pada anak-anak buruh yang tak mendapat pendidikan baik.

Ada banyak perempuan yang kemudian mengajar, mendidik para perempuan di masa-masa kolonial hingga sekarang.

Di Indonesia, di masa sekarang kita bisa menyebut: Sekolah Perempuan Ciliwung yang didirikan Kapal Perempuan, kemudian ada sekolah perempuan desa yang didirikan dari program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Menanggulangi Kemiskinan), sekolah feminis yang dikelola oleh Perempuan Mahardhika, Sekolah Perempuan Poso yang didirikan AMAN Indonesia, Sekolah Perempuan Mosintuwo yang didirikan Lian Gogali, Sekolah Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan sejumlah sekolah perempuan lainnya.

Sekolah perempuan ini rata-rata mengajak para perempuan untuk menguasai ketrampilan, dan yang kedua mengajak para perempuan untuk kritis melihat persoalan. Sekolah perempuan PRT yang digagas JALA PRT misalnya tak hanya mengajak para PRT untuk menguasai ketrampilan yang menunjang pekerjaan PRT, namun juga bagaimana mengajak PRT kritis melihat persoalan, memperjuangkan pekerjaan mereka sekaligus bersolidaritas dengan persoalan PRT lain. Sedangkan Sekolah Perempuan Poso dan Sekolah Perempuan Mosintuwo mengajak perempuan sebagai pengagas perdamaian.

Sekolah perempuan desa banyak mengajak para perempuan desa untuk kritis melihat persoalan perempuan, mengkritisi anggaran desa yang tak berpihak pada perempuan. Sedangkan sekolah feminis mengajak para perempuan untuk kritis dan berjuang untuk perempuan lain.


Sekolah Buruh Perempuan

Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Sabtu 17 Desember 2016 kemarin melakukan hal yang sama, menggagas berdirinya sebuah sekolah perempuan, yaitu Sekolah bagi para buruh perempuan. Sekolah buruh perempuan didirikan di Cakung, Jakarta Utara dimana banyak buruh perempuan anggota FBLP merupakan buruh-buruh perempuan yang bekerja di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung. Umumnya mereka bekerja di bagian garmen. Sutinah misalnya bekerja di bagian Sewing/ jahit di pabrik garmen. Pekerjaannya tiap hari menjahit baju. Sri Rahmawati di bagian mengosok baju.

Para buruh perempuan bekerja selama 9 jam perharinya, minus satu jam untuk beristirahat. Pekerjaan yang harus diselesaikan di pabrik membuat para buruh perempuan lelah dalam bekerja. Belum lagi ketika mereka pulang, harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Jadi seringkali mereka tak sempat untuk berorganisasi atau menambah pengetahuan.

Di KBN Cakung ini 85% buruh-buruhnya bekerja di bagian garmen dan tekstil, sedangkan 15% buruh lainnya bekerja di pabrik elektronik ringan dan sepatu.

Sekolah ini didirikan karena kebutuhan bahwa perempuan yang tidak pernah jadi prioritas dalam perjuangan, baik di pabrik maupun di kalangan buruh di serikat pekerja.

Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika yang menjadi bagian dari Sekolah buruh perempuan ini menyatakan bahwa selama ini, serikat pekerja sering mengabaikan perjuangan buruh perempuan.

Bahkan menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBI) terpilih, Asfinawati jika ada persoalan yang menimpa buruh perempuan, banyak pengurus serikat pekerja yang mengatakan bahwa urusan perempuan merupakan urusan domestik atau urusan rumah tangga mereka, bukan urusan umum. Padahal yang dihadapi perempuan buruh misalnya menyangkut persoalan pengurusan anak, dll yang seharusnya menjadi urusan laki-laki dan perempuan buruh.

Ketua FBLP, Jumisih menyatakan bahkan untuk menyebutkan persoalan rumah tangga mereka, perempuan seringkali masih tertekan karena urusan rumah tangga masih dianggap aib untuk dibicarakan.

“Padahal persoalan perempuan adalah persoalan kita bersama. Persoalan yang menyangkut anak adalah persoalan ayah dan ibunya. Bukan persoalan ibunya semata,” ujar Jumisih.

Hal lain yaitu, banyaknya pelecehan yang menimpa para buruh perempuan dan perusahaan masih melakukan kontrol terhadap tubuh buruh-buruh perempuannya. Peneliti Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Abu Mufakhir mengatakan bahwa banyaknya pelecehan di pabrik di Indonesia sebagai pertanda bahwa perempuan selama ini masih dianggap obyek produksi.

“Banyak perempuan yang kemudian bekerja di pabrik garmen dan tekstil, namun mirisnya para buruh perempuan kemudian dianggap sebagai orang yang tidak punya keahlian jika bekerja di garmen dan tekstil. Inilah yang membuat para buruh dianggap sebagai obyek produksi,” ujar Abu Mufakhir.

Sehingga sekolah buruh perempuan ini harus berdiri, agar buruh perempuan memperjuangkan hak-haknya di rumah dan di tempatnya bekerja. Sekolah ini merupakan langkah awal untuk menggodok para perempuan buruh di tempatnya bekerja, juga di rumah. Namun tak hanya bagi buruh pabrik, sekolah ini juga akan mengajak para buruh jurnalis, Pekerja Rumah Tangga (PRT) untuk bergabung. Hal ini dilakukan agar semua buruh perempuan saling mengenal dan berjuang bersama-sama.


" Di sekolah ini, para buruh perempuan tidak hanya mendengarkan pengalaman orang lain, namun juga bagaimana berjuang merebut pengetahuan untuk perempuan secara bersama-sama," ujar Jumisih.


(Peluncuran Sekolah Buruh Perempuan di Kantor Disnaker Jakarta Utara di Semper, Cakung, Jakarta pada Sabtu 17 Desember 2016/ Foto: Luviana)


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.