Survive-nya Pelaku Star Up
Sica Harum- www.Konde.co
Saya sering mendengarkan cerita tentang bagaimana para perempuan survive sebagai pelaku star-up (pebisnis baru di bidang teknologi informasi). Mereka tabah-tahan banting dan ingin selalu memperbaiki diri. Perempuan yang penuh semangat ini selalu wira-wiri dalam hidup saya.
Namun kisah kali ini justru saya dapatkan dari seorang laki-laki:
Dalam sebuah sesi diskusi di Ideafest 2016, saya tak sengaja masuk ke salah satu panel yang membahas “the real life of startup”. Ruangan cukup penuh. Saya tiba ketika tiga orang di depan sudah berbincang-bincang. Dua narasumber dan moderator sama-sama sedang membangun start up mereka masing-masing. Dan bisnis mereka sudah berjalan, malah cukup besar.
Salah satu narasumber, bukan pemain baru. Bisnisnya mulai dari studio desain, lalu jualan kaos secara online. “Saat ramai bom Marriot, tiba-tiba orang Indonesia naik nasionalismenya. Itu kemudian jadi core bisnis baju dengan spirit nasionalisme sepanjang tahun ga perlu nunggu bom. Gile kan ya, bom aja bisa jadi ide bisnis,” kata salah satu founder yang berbicara di depan.
Dimulai dari bootstrap -sampai ia betulin AC sendiri karena sayang bayar tukang- sampai kemudian diguyur dana milyaran rupiah.
“Kaget, lah. Shock. Dulu susah cari duit, kemudian duit dipake terus tapi ga abis-abis,” katanya.
Ia memindahkan kantor ke bangunan tiga lantai di kawasan Kemang di Jakarta yang mentereng. Karyawan bertambah menjadi 60 orang dari awalnya cuma 10. Uang masih banyak. Sampai kemudian, habis dalam waktu tak lebih dari satu tahun.
“Uangnya habis lumayan cepat tanpa hasil yang berarti.”
Karyawan pun harus di-PHK, 50 orang dirumahkan dalam waktu dua minggu.
“Itu adalah hari-hari terberat saya.”
Pernikahannya juga kandas, dan ia tak menyalahkan.
Katanya, “Siapa yang kuat bertahan hidup dengan orang yang selalu depresi.”
Lalu berikutnya, ditinggal (sekaligus dikadali) mitra bisnis, ditinggal investor.
Habis.
Ia pulang ke rumah orang tua, sehari-hari bertemu ayahnya, akuntan yang tak pernah setuju ia berbisnis. Ia sengaja bersembunyi di kamar, tidur jam 4 pagi bangun jam 10 malam, agar tak harus bertemu orang rumah. Cukup lama sampai ia bisa berpikir lagi.
Lalu, apa kabar dia sekarang?
Well, saya lihat dia berdiri dan bercerita dalam sebuah forum di gelaran skala nasional, dan tampak baik-baik saja. Tetap single -katanya enggak ada waktu- tetap memiliki bisnis clothing line dengan brand baru dan teknologi yang berkembang. Brand lamanya masih ada, berjalan seiringan dengan yang baru. Mungkin ada yang akan komentar “he is just a lucky bastard”. Setelah gagal, ia dapat lagi investor yang bersedia guyur dana milyaran (lagi). Kata dia, “Pengalaman gagal itu juga bisa ‘dijual’.”
Sebelum hari itu, saya tak pernah tahu siapa dan ceritanya, meski saya sesekali mendengar namanya disebut para pelaku startup. Tapi siang itu, saya seperti bisa melihat bekas luka selama dia strugle di masa-masa sulit. Seperti umumnya sisa luka petarung. Luka yang pada akhirnya tak mematikan, tapi mengering lalu menyisakan bekas.
Bekas luka sebagai tanda berjuang. Well, I think it’s cool. Salut.
Post a Comment