Detox Your Relationship
Sica Harum – www.konde.co
Membuang racun pikiran sama pentingnya dengan membersihkan tubuh dari makanan ‘beracun’. Sama krusialnya dengan membersihkan ‘racun’ orang-orang yang mengelilingi kita. Sahabat, klien, bahkan keluarga.
Saya ingat, waktu itu harinya hari Sabtu 13 Juni 2015 silan, ada acara menarik dari Light of Women Community, bertempat di Panin Bank Building di kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat. Salah satu agendanya, fun discussion bertema Detox Your Friendship dibawakan oleh seorang life coach yang juga Certified Behavior Assesor Ely Susanti. Pada awal sesi, Ely sudah membagikan lembaran kertas. Berisi tabel, bertuliskan, nama, durasi, pengaruh dan nilai.
Kemudian ia meminta kami semua menuliskan minimal 20 orang yang sering berinteraksi dalam tiga bulan terakhir. Kami kemudian juga diminta berapa jam seminggu berurusan dengan mereka, dan apa rasa yang didapatkan setelah berinteraksi. Senang kah? Terinspirasi kah? Atau malah lelah tak berkesudahan?
Mira, kenalan baru yang duduk di sebelah saya, berkomentar, “Duh, saya kan ibu rumah tangga.
Kayaknya enggak sampai nih 20 orang.”
Saya nyeletuk. “Coba aja cek nama di WhatssApp Mbak.”
Interaksi tak selalu berarti tatap muka. Dengan kesibukan orang berkantor di Jakarta dan buruknya infrastruktur kota, pertemuan dengan teman bisa disebut sebagai sesuatu yang mewah. Buat yang punya bisnis dan harus ketemu klien pun, sehari menjalani 3-4 meeting saja sudah terasa ‘overloaded’. Maka diskusi dan obrolan pun berpindah ke ruang maya: whatsapp, bb, line ataupun fb messenger dan telegram.
Dan jangan lupa keluarga. Tuliskan nama suami, ayah, ibu, anak, kawan-kawan, sejauh kita sering berinteraksi dengan mereka.
Mira lantas sibuk menuliskan nama-nama di kertasnya. Saya pun begitu. Dengan cepat, 20 nama itu terisi.
Dan mudah saja ditebak, nama-nama yang muncul ialah nama-nama tim di Arkea, usaha penerbitan yang saya pimpin, yang dengan mereka saya berteman dan bekerja bersama. Lalu nama-nama klien, yang dengan mereka saya belajar banyak hal. Lalu nama-nama teman yang dengan mereka saya sering berbagi kabar.
Kemudian ada tabel durasi yang mesti diisi. Saya mengira-ngira saja. Ada yang porsinya rata-rata 5-6 jam perhari, bertemu ataupun tidak bertemu. Hahaha. Intens sekali. Ada yang porsinya sekitar 2 jam per minggu saja.
Pada bagian pengaruh, Ely hanya meminta kami menuliskan positif atau negatif saja. Itu maksudnya, apakah kita merasa tambah ‘berdaya’ setelah berinteraksi. Atau malah tambah lelah setengah mati.
“Yang memberi rasa negatif kepada kita, bukan berarti mereka negatif lho ya. Mereka bisa saja positif di lingkungan mereka.”
Maksudnya, seseorang yang memberi efek negatif kepada kita, bisa saja memberi efek positif kepada lingkungan mereka. Perbedaan ini biasanya muncul karena nilai-nilai yang diyakini ialah hal-hal berbeda.
Ely memberi contoh: seorang guru yoga kenalannya yang menempatkan nilai uang dibawah segalanya. Yang penting bahagia. Itu tak buruk, tapi bisa memberikan ‘efek buruk’ buat mereka yang menempatkan produktivitas profesional sebagai value yang diyakininya. “Bisa saja kita gemes banget dengan orang tertentu karena yang buat kita enggak oke, ternyata buat mereka oke-oke saja.
Ya, saya paham. Pelan-pelan saya menekuri nama-nama yang sudah saya tuliskan dengan kesadaran. Ada nama-nama klien yang mau tak mau harus saya akui begitu menyedot energi dan sangat melelahkan. Saya tahu penyebabnya. Salah satunya ialah ekspektasi yang tak sama antara pihak kami dan mereka.
Saya pikir, hal ini pasti kok dialami dengan semua bisnis. Sungguhpun sebetulnya bisa memilih klien. Namun selalu ada hal-hal di tengah jalan yang kemudian bisa jadi pembelajaran.
Di tengah-tengah refleksi itu, Ely mengingatkan peserta diskusi untuk mengisi kolom terakhir pada tabel, yaitu nilai. Ia memberi rentang dari -5 sampai +5. Namun ‘rasa’ itu diserahkan seluruhnya kepada kami. “Dirasa-rasa saja,” katanya.
Setelah semua terisi, saatnya memberi peringkat. Kalau ‘rasa’ dua orang atau lebih punya poin sama, maka peringkat mereka juga sama. “Lalu pilih lima teratas, dan lima terbawah,” tambah Ely.
Demi ‘membuang racun’ hindari berinteraksi dengan mereka yang ada di peringkat lima terbawah. “Ekstrimnya, hindari mereka minimal 3 bulan ini,” katanya.
Haha. Ekstrim banget. Bagaimana kalau itu bos yang harus ditemui setiap hari, atau malah suami yang tinggal bersama, atau justru ibu atau ayah?.
Ely mengisahkan salah satu kliennya. Karena usia si klien sudah 25 tahun, ia keluar rumah (nge-kost) dan bertemu orang tua di akhir pekan.
“Saat kita bisa bilang apa mau kita ke orang lain, itu lebih enak. Tapi kepada orang tua, mungkin lebih rumit. Jadi salah satu taktiknya, ada yang memilih begitu.”
Ada yang nyeletuk, “Kok kayaknya egois banget, ya.”
Lantas tiba-tiba saya teringat dengan logika masker oksigen di kapal udara: kita baru bisa menyelamatkan orang lain saat kita selamat. Kita bisa membuat bahagia orang lain jika lebih dahulu berhasil membuat diri kita bahagia.
Padahal saya sedang berpikir, harus ada orang yang mau berkorban untuk orang lain, memperjuangkan orang lain.
Bagaimana menurut anda?
Post a Comment