Mari Mulai Bicara Kekerasan Seksual pada Anak
Luviana – www.konde.co
Tangerang, Konde.co- Pendidikan kekerasan seksual tak melulu punya anak-anak atau orang dewasa saja. Karena bicara tentang kekerasan seksual adalah bicara tentang memecah mitos. Teori feminis mendeskripsikan bahwa kekerasan seksual terjadi karena ada relasi kuasa.
Banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual karena kuasa laki-laki. Yang lebih luas yaitu penguasaan dari yang kuat pada yang lemah.
Dalam hal relasi anak dan orangtua di rumah misalnya, atau siswa dan guru di sekolah, ini kembali mendeskripsikan sebuah relasi apa yang mengganggu atau yang selama ini memaksa.
Jadi jika anak-anak harus belajar soal apa itu kekerasan seksual biar tidak menjadi korban dan juga pelaku, maka orangtua dan juga guru harus melakukannya, karena orangtua dan guru adalah salah satu tempat bagi anak untuk bertanya.
Faktor kedua, karena justru pelaku kekerasan seksual terhadap anak justru banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat.
Dalam sebuah seminar yang diadakan Sekolah Umum Surya Bangsa Puribeta di Ciledug, Tangerang pada Sabtu, 22 September 2016 lalu, Staff Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Devi Fitriana mengatakan bahwa pelajaran pertama untuk kekerasan seksual, tentu adalah harus ada keterbukaan antara anak dan orangtua.
Lalu keduanya harus saling support dalam tindakan. Dalam soal pendidikan seksualitas misalnya, orangtua tidak bisa bilang: ini tak boleh, itu tak boleh. Anak-anak harus diberitahu alasan-alasan, mengapa orang dewasa bicara ini dan itu, lalu ini tidak boleh dan itu boleh. Merekapun harus dilibatkan dalam keputusan orangtua dan di sekolah.
Dengan melibatkan anak sejak awal, paling tidak melibatkan mereka dalam pembicaraan dalam putusan apapun, akan membuat mereka lebih tenang dan belajar untuk menghargai orang lain. Mereka juga dihargai sebagai pribadi yang mampu berpikir dan memecahkan masalah.
Devi Fitriana mengatakan bahwa ini merujuk pada pentingnya pendidikan seksualitas sejak dini dan melibatkan anak-anak dalam pembicaraan. Selama ini memang banyak orangtua yang beranggapan bahwa membicarakan seksualitas adalah sebuah hal yang tabu. Jorok. Tidak pantas.
Maka membicarakan seksualitas secara terbuka, dengan sendirinya untuk meruntuhkan mitos tabu tersebut.
Mitos inilah yang kemudian menjalar kemana-mana dan membuat anak menjadi tidak terbuka ngobrol soal seksualitas.
Feminis kontemporer mendeskripsikan bahwa dengan berbicara tentang seksualitas, maka kita akan berbicara tentang banyak pengalaman konkret.
“Awalnya kita bisa berbicara tentang pengenalan tubuh pada anak-anak. Selama ini ada banyak penyebutan tentang organ tubuh yang berbeda-beda, misalnya penyebutan vagina dan penis. Mengapa bicara vagina dan penis, namun dengan istilah yang diganti. Mengapa diganti? karena banyak orang yang menganggapnya tabu atau jorok,” kata Devi Fitriana.
Padahal anak-anak umumnya masih dalam masa perkembangan. Keingintahuan mereka besar. Jika ada kata atau kalimat yang mereka tidak paham, mereka pasti langsung bertanya. Orangtua seharusnya memanfaatkan moment ini untuk menjelaskan pada anak-anaknya.
Kiat-Kiat Menjelaskan Soal Seksualitas pada Anak
Lalu bagaimana cara memberikan informasi tentang seksualitas pada anak?
Devi Fitriana bersama PKBI mempunyai kiat-kiat sendiri. Misalnya, dengan menggunakan boneka. Anak-anak bisa diberi informasi pendidikan seksualitas dengan menggunakan boneka peraga. Mereka diberitahu, alat-alat vital mana yang tidak boleh dipegang. Yang tidak boleh dipegang adalah payudara, pantat, vagina dan penis bagi laki-laki. Jika ada yang memegang, maka harus berteriak atau melapor, karena inilah yang dinamakan pelecehan seksual.
Sebelumnya, telah dilakukan pendidikan soal kekerasan seksualitas pada siswa-siswa Sekolah Umum Surya Bangsa, tak hanya menggunakan boneka sebagai alat peraga, namun juga dengan lagu dan menggunakan metode bercerita dan konseling. Ini membuat anak-anak terbuka untuk bercerita.
Cara memberikan informasinyapun berbeda pada umur-umur anak. Anak umur 7-9 tahun cukup hanya dikenalkan bagian tubuh saja dan yang tak boleh dipegang oleh siapapun kecuali ibu.
Namun untuk anak umur 10 tahun ke atas, sudah harus dibekali dengan pengertian soal mensturasi karena pada umur-umur tersebut anak perempuan sudah mulai menstruasi. Dan anak laki-lakipun harus diberi informasi lengkap soal mimpi basah.
“Pada masa inilah anak membutuhkan orangtua. Maka akan sangat baik jika anak-anak diberitahu, sebelum mereka mengalami menstruasi dan mimpi basah. Informasi ini berguna untuk anak agar mereka tidak mengalami kebingungan. Karena ada anak laki-laki yang bercerita tiba-tiba berfantasi waktu tidur dan anak perempuan yang mengalami nyeri saat haid. Namun mereka tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya”
Kasus Kekerasan Seksual pada Anak
Kasus kekerasan seksual sendiri sangat banyak terjadi pada anak-anak Indonesia. Peneliti Kajian Gender Universitas Indonesia, Iva Kesuma menyatakan bahwa banyak pelaku kekerasan seksual pada anak justru dilakukan oleh orang-orang terdekat anak. Hal inilah yang membuat orangtua harus selalu waspada.
Di Tangerang misalnya, ada pelecehan seksual yang dilakukan sopir ojek yang biasa mengantar anak perempuan ke sekolah. Di daerah lain ada yang dilakukan oleh ayah tiri atau kakeknya.
Data kekerasan seksual yang dihimpun Komnas Perempuan dalam kurun 10 tahun terakhir, menyebutkan terdapat 93 ribu kasus kekerasan seksual, 70 persen pelakunya adalah anggota keluarga dan orang-orang terdekat.
Indonesia kini justru sudah dikategorikan sebagai zona berbahaya kekerasan seksual anak. Maka Iva Kesuma mengusulkan agar di sekolah dan di rumah misalnya, selalu ada kampanye mengatasi kekerasan seksual dan bullying pada anak. Misalnya dengan ada guru khusus dimana bisa mengatasi persoalan anak dan mengajak anak-anak berbicara. Atau dengan melakukan kampanye stop kekerasan seksual dan bullying di kelas-kelas. Atau dengan memilih duta-duta kekerasan seksual dan duta bullying dari anak-anak. Begitu juga di rumah.
Dwi Ayu dari Komnas Perempuan mengatakan bahwa komitmen sekolah dan orangtua ini harus segera diwujudkan misalnya di sekolah, bisa dibuat peraturan bahwa baik murid dan guru tidak boleh menjadi pelaku kekerasan. Guru kemudian menandatangani kesepakatan ini dan kesepakatan ini bisa dibaca oleh setiap orang yang tahu. Demikian juga di rumah.
Data catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2016 menyebutkan, kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal, dari jumlah kasus sebesar 321.752, maka kekerasan seksual menempati peringkat 2, yaitu dalam bentuk perkosaan sebanyak 72% (2.399 kasus), dalam bentuk pencabulan sebanyak 18% (601 kasus), dan pelecehan seksual 5% (166 kasus).
Sedangkan di ranah publik, dari data sebanyak 31% (5.002 kasus) maka jenis kekerasan terhadap perempuan tertinggi adalah kekerasan seksual (61%), dan ranah negara (yang menjadi tanggung jawab) terdapat Kekerasan Seksual dalam HAM masa lalu, tes keperawanan di institusi pemerintah, dan lainnya. Pelaku Kekerasan Seksual adalah lintas usia, termasuk anak-anak jadi pelaku
“Maka saat ini yang diperlukan yaitu undang-undang penghapusan kekerasan seksual, karena negara harus turun tangan atas banyaknya kekerasan seksual ini.”
(Foto kedua, Seminar Bagaimana Mengatasi Kekerasan Seksual dan Bullying pada Anak di Sekolah Umum Surya Bangsa, Ciledug, Tangerang pada Sabtu, 22 September 2016. Foto: Yenni Apriani)
Post a Comment