Pembunuhan Berbasis Gender. Apakah Itu?
Pembunuhan terhadap perempuan belum banyak didiskusikan. Di Timur Tengah, seorang perempuan yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah dapat dibunuh karena dinilai telah menodai martabat dan kehormatan keluarga. Mengapa ini penting dibahas dan didiskusikan?
*Natasya Fila Rais- www.Konde.co
Apakah kamu tahu apa itu pembunuhan berbasis gender? Pembunuhan berbasis gender disebut juga dengan femisida.
Organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa femisida yang lebih dikenal dengan sebutan femicide atau gender-based killing didefinisikan secara umum sebagai suatu bentuk pembunuhan yang dilakukan secara sengaja terhadap perempuan karena korban tersebut adalah perempuan.
Femisida pun tidak hanya ditujukan untuk mendefinisikan tindak pembunuhan terhadap perempuan dewasa karena identitas mereka sebagai perempuan, namun juga terhadap anak-anak perempuan.
Pada umumnya, femisida sendiri dilakukan oleh laki-laki, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh perempuan walau jumlahnya kebanyakan dilakukan laki-laki, misalkan anggota keluarga yang merupakan perempuan terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam tindakan tersebut.
Jadi Femisida dapat dilakukan oleh sejumlah pihak, misalkan oleh pasangan atau mantan pasangan sang perempuan atau oleh anggota keluarga. Pembunuhan pun dapat terjadi secara langsung, akan tetapi terdapat pula dalam beberapa kasus dimana pembunuhan sebelumnya diiringi oleh tindakan penyiksaan fisik maupun psikis yang berkelanjutan atau pun bentuk-bentuk ancaman maupun intimidasi yang mengancam keselamatan perempuan.
Apa Saja Bentuk-Bentuk Femisida?
Dari segi jenis-jenisnya, femisida sendiri memiliki berbagai bentuk, diantaranya:
1. Intimate femicide
Yaitu pembunuhan yang disebut mengatasnamakan kehormatan, femisida yang berkaitan dengan mas kawin dan non-intimate femicide. Intimate femicide terjadi karena tindakan pembunuhan dilakukan oleh pasangan romantis dari sang perempuan, seperti oleh pacar atau suami baik yang terikat perkawinan ataupun sudah bercerai.
Tindak pembunuhan yang dilakukan tersebut dapat terjadi karena adanya tindakan kekerasan yang dilakukan secara berkepanjangan. Selain itu, tindak pembunuhan dapat pula dianggap sebagai suatu bentuk pembelaan diri.
Pemicu dari intimate femicide sendiri pun bermacam-macam, seperti argumen atau pertengkaran yang terjadi, atas dasar cemburu, atau sang perempuan yang berada dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti sedang dalam masa kehamilan yang mungkin tidak diinginkan atau pun percobaan untuk meninggalkan suatu hubungan yang abusive.
Efek yang ditimbulkan dari tindakan intimate femicide tidak hanya berakhir pada saat pembunuhan terjadi, namun berkepanjangan hingga mempengaruhi anggota keluarga dari sang korban, seperti anak dari hasil perkawinan yang harus hidup tanpa seorang ibu. Kemudian, terdapat pula jenis femisida yang tindakannya mengatasnamakan kehormatan.
Di sejumlah negara seperti di Timur Tengah, Seorang perempuan ada yang dibunuh dengan alasan bahwa perempuan tersebut telah melakukan suatu tindak perzinahan atau hubungan seksual pranikah yang mana keluarga dari perempuan tersebut mempercayai bahwa tindakan tersebut dapat menodai martabat dari keluarga. Tindakan tersebut dianggap sebagai suatu cara untuk menjaga reputasi dari keluarga. Dalam melakukan pembunuhan tersebut pun digunakan cara-cara yang tidak konvensional, seperti dengan melakukan pembakaran terhadap korban. Kasus ini banyak terjadi di wilayah Timur Tengah serta Asia Selatan, atau di negara-negara dengan komunitas migran tertentu.
Kasus femisida yang berdasarkan atas mas kawin terjadi berdasarkan praktek-praktek budaya yang berkembang, seperti kebudayaan yang berkembang di India. Pembunuhan ini terjadi karena konflik yang terjadi antara sang perempuan sebagai menantu dengan keluarga mertuanya terkait mas kawin.
2. Non-intimate femicide
Non Intimate femicide yaitu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak terlibat dalam hubungan romantis, seperti dalam intimate femicide. Akan tetapi, pembunuhan ini dapat disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan, seperti kekerasan fisik maupun seksual. Selain itu, tindakan ini dapat dilakukan pada keadaan tertentu, seperti ketika terjadinya penembakan senjata yang diantaranya menargetkan para murid dan guru perempuan di Amerika Serikat pada 2006.
Selain itu, tindakan non femisida juga dilakukan atas dasar stigmatisasi terhadap pekerjaan tertentu, seperti terhadap Pekerja Seks Komersial (PKS) atau para pekerja perempuan di bar atau klub malam.
Bagaimana Hukum di Indonesia Memandang Ini?
Di Indonesia sendiri, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara rinci mengenai pemidanaan tindakan femisida. Pembunuhan secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Bab XIX tentang Kejahatan Terhadap Nyawa serta dalam Pasal 351 ayat (3) yang mengatur mengenai penganiayaan yang mengakibatkan kematian yang mana dapat diancam pidana penjara paling lama 7 tahun. Pasal 338 KUHP mengatur bahwa “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Apabila tindak pembunuhan tersebut dilakukan dengan adanya rencana terlebih dahulu, maka Pasal 340 mengatur bahwa pelaku dapat dipidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dimana dalam undang-undang tersebut diatur segala bentuk pidana terhadap tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Namun terkait dengan pemidanaan mengenai tindakan pembunuhan dalam lingkup rumah tangga, ketentuan dalam peraturan perundang-undangan ini sendiri hanya mengatur mengenai pemidanaan terhadap tindakan-tindakan kekerasan kekerasan secara fisik yang berujung pada kematian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 ayat (3), dimana pelaku dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00. Sifat pemidanaan delik ini pun adalah delik aduan, sesuai dengan Pasal 51, sehingga apabila tidak ada pelaporan atas tindakan, maka tidak akan diproses secara hukum.
Tindakan femisida merupakan suatu diskursus yang perlu dibahas di Indonesia, terutama terkait dengan pengaturan dan pemidanaannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam pemidanaan mengenai tindakan femisida ini sendiri seharusnya dapat dipisahkan dengan pemidanaan tindak pembunuhan pada umumnya. Hal itu disebabkan oleh terdapat faktor-faktor yang mendukung terlaksananya tindak pembunuhan, tidak hanya dari segi motif saja, namun juga dari segi keadaan sosial. Identitas perempuan serta latar belakang dari segi ekonomi, sosial maupun budaya pun memicu tindakan femisida dilakukan.
Selain itu, tindakan femisida dapat dipengaruhi oleh faktor peran sosial antara pihak pelaku dan korban, misalkan adanya relasi kuasa dan ketimpangan peranan dalam lingkungan, sehingga mengakibatkan sang perempuan yang terlihat sebagai individu yang lebih submisif daripada pelaku.
Faktor-faktor ini pun seharusnya menjadi hal-hal yang dipertimbangkan dalam pemberian pidana terhadap pelaku femisida dan diharapkan dapat menjadi suatu konsideran dari pertimbangan jumlah pidana yang diberikan sebagai efek jera.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum pada dasarnya telah mengatur beberapa hal mengenai pertimbangan adanya faktor-faktor ketimpangan gender dalam perkara yang diadili. Pasal 4 mengatur bahwa “Dalam pemeriksaann perkara, hakim agar mempertimbangkan kesetaraan gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan: a) Ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara; b) Ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan; c) Diskriminasi; d) Dampak psikis yang dialami korban; e) Ketidakberdayaan fisik dan psikis korban; f) Relasi Kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya; dan g) Riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.” Selain itu pada peraturan yang sama, Pasal 6 juga mengatur bahwa “Hakim dalam mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum: a) Mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan Stereotip Gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis; b) Melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin Kesetaraan Gender; c) Menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin Kesetaraan Gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi; dan mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional terkait Kesetaraan Gender yang telah diratifikasi.”
Dengan telah berlakunya peraturan demikian, maka dalam proses penyelesaian perkara, terutama terkait dengan femisida, harus memperhatikan faktor-faktor di luar motif dan yang sesuai dengan ketentuan mengenai pembuktian pada Hukum Acara Pidana, namun juga faktor-faktor yang menyimbolkan adanya ketidaksetaraan gender dalam perkara yang terjadi.
Selain dari segi formil, dari segi materiil pun akan lebih baik jika dibuat suatu peraturan khusus mengenai tindakan femisida dan pemidaannya bagi pelaku. Dengan adanya peratuan perundang-undangan yang direvisi maupun menunggu untuk disahkan terkait ketentuan pidana, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, diharapkan diskursus mengenai femisida dapat dimasukkan kedalam pembahasan terkait peraturan apa saja yang masih harus ditambahkan dalam ketentuan-ketentuan tersebut.
Dengan adanya penundaan pengesahan dari ketentuan-ketentuan berikut, diharapkan pembahasan mengenai tindak femisida dapat dibahas dan dipertimbangkan hingga dapat dituangkan dalam peraturan.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan khusus mengenai femisida pula, diharapkan pendataan mengenai tindakan femisida yang terjadi di Indonesia dapat pula dirinci secara jelas. Hal ini dikarenakan pembunuhan terhadap perempuan yang terjadi belum tentu didasari oleh identitasnya sebagai perempuan, sehingga pembedaan mengenai tindakan mana yang dapat dikategorikan sebagai femisida dan mana yang tidak pun harus dapat diatur secara jelas.
Guna meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya tindakan femisida untuk dibahas, perlu adanya kerja sama yang dilakukan terhadap instansi-instansi yang dapat menggiring gagasan ini kepada pemerintah, sehingga suara mengenai urgensi pembahasan terkait femisida dapat didengarkan dan dipertimbangkan.
Sosialisasi pun juga perlu dilakukan terhadap masyarakat guna mengetahui bahwa praktek femisida dapat terjadi terhadap perempuan di Indonesia dan perlindungan terhadap perempuan dari tindakan ini pun penting untuk dilakukan. Sosialisasi dapat dilakukan dalam bentuk penyebaran informasi, diadakannya diskusi-diskusi publik, serta diadakannya kajian-kajian ilmiah dapat membantu masyarakat agar semakin paham dan semakin mawas dengan perlunya pengaturan mengenai tindak femisida di Indonesia.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Natasya Fila Rais, adalah aktris, novelis, penulis dan musisi. Natasya baru saja merilis podcast terkait self-love, “Tasya Talks”, yang tersedia di berbagai media streaming. Mahasiswi Fakultas Hukum ini juga aktif dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak LGBTQ+.
Post a Comment