Kiprah Perempuan dalam Biennale Jogja 2019
Jogjakarta, Konde.co- Perhelatan Biennale Jogja 2019 telah dibuka pada Minggu, 20 Oktober 2019. Sejumlah pertunjukan tentang kiprah perempuan hadir dalam Biennale ini.
Biennale 2019 yang diselenggarakan sampai 30 November 2019 di Jogja National Museum, Taman Budaya Yogyakarta, Kampung Jogoyudan, Ketandan, Yogyakarta ini berfokus melihat wilayah khatulistiwa untuk membaca kembali dunia. Sebanyak 42 seniman dan kelompok, dari berbagai wilayah dan kota di Asia Tenggara akan berkiprah dalam Biennale ini.
Kurator Biennale Jogja XV adalah Akiq AW dan Arham Rahman dari Indonesia, serta Penwadee Nophaket Manont dari Thailand memilih tajuk 'Do we live in the same PLAYGROUND?' untuk merangkum pembacaan Yayasan Biennale Yogyakarta dan seniman-seniman yang terlibat di dalam perhelatan Biennale Jogja Equator 5 atas segelintir persoalan “pinggiran” yang berlangsung di kawasan Asia Tenggara.
“Persoalan pinggiran tersebut beririsan dengan masalah identitas yaitu gender, ras, dan agama, narasi kecil, konflik sosial-politik, perburuhan, lingkungan, atau yang lebih spesifik, praktik kesenian. Mereka fokus pada gagasan tentang pinggiran yang tidak sekedar mengacu pada ide tentang tempat, namun lebih penting lagi adalah tentang subyek atau komunitas yang hidup di dalamnya subyek yang tidak mendapat manfaat dari dan menderita karena struktur sosial ekonomi atau politik.”
Perhelatan Biennale ini akan menyentuh relasi kuasa, dimana subyek di pinggiran dipaksa untuk menghadapi situasi hegemoni kekuasaan dimanapun mereka berada. Sebagai sebuah pendekatan, gagasan tentang pinggiran dapat diperluas ke berbagai permasalahan hidup sehari-hari: kesenjangan kesetaraan jender, pelanggaran hak asasi manusia, masalah buruh dan kelas pekerja, khususnya terkait pekerja migran, diskriminasi berbasis ras atau agama, dan banyak lagi yang lainnya.
Melalui fragmen tersebut, kita akan diajak untuk melihat berbagai bentuk perlawanan melalui ekspresi-ekspresi kesenian.
Apa saja 3 Hal yang menarik disana?
1. Kesetaraan Perempuan
Ada sejumlah pertunjukan untuk kesetaraan perempuan, misalnya yang ditampilkan Collective, yang mengambil langkah yang tidak biasa di antara lingkup kesetaraan, yang biasanya membingkai hijab mereka dalam peran perempuan.
Kelima anggota Muslimah Collective menampilkan ragam bentuk karya yang fokus pada cara hidup muslim di Pattani. Sedangkan Nerissa Del Carmen Guevara (Filipina) menciptakan Elegy 9: Ghost of The Sea yang terinspirasi dari pengalamannya mengikuti residensi Kelana di Pambusuang.
Sementara itu seniman Moelyono menampilkan karyanya yang pertama kali diinisiasi pada 1994, sebuah persembahan untuk buruh perempuan yang dibunuh pada periode tersebut, Marsinah. Karya ini dilarang oleh polisi sebelum pameran dibuka pada 1994. Pada kesempatan ini, Moelyono mengolah kembali gagasannya menjadi sebuah proses pembangunan monumen.
Adapula karya mendiang seniman Hildawati Soemantri yang pernah ditampilkan pada 1978, karyanya menunjukkan pencapaian konseptual seniman perempuan atas medium keramik.
2. Kiprah Anak Muda dan Keberagaman
Voice of Baceprot menjadi penampil utama yang juga merepresentasikan tema pinggiran yang diangkat dalam Biennale. Mereka adalah remaja-remaja perempuan asal Garut, Jawa Barat yang dikenal karena identitasnya yang menggunakan hijab, tetapi berani memainkan musik heavy metal. Mereka menjadi simbol resistensi melawan Kaum Muslim konservatif di kotanya.
Sementara Amuba menjadi gambaran dari gerakan kelompok queer, menunjukkan pernyataan bagaimana praktik seni memberi dukungan pada kelompok-kelompok terpinggir.
Sedangkan dua seniman partisipan, Pisitakun Kuantalaeng (Thailand) dan Yennu Ariendra memanggungkan projek mereka yang diinspirasi oleh sejarah dan tradisi di masyarakat etnis. Proyek yang dikerjakan Yennu Ariendra untuk Biennale Jogja XV masih terkait erat dengan proyek-proyek yang pernah ia garap sebelumnya. Dimulai dari cerita tentang Raja Kirik, yang mengadopsi kesenian Jaranan Buto di Banyuwangi, Jawa Timur, lalu kemudian ekspresi musik akar rumput lewat dangdut koplo, dan terakhir Gruduk Merapi, ekspresi kesenian yang diinisiasi oleh warga lokal Ndeles, Klaten, Jawa Tengah.
3.Manifesto Konkhaem, Berjuang tentang Pinggiran
Manifesto ini menduduki sebuah ruang yang diabaikan di Kota Yogyakarta untuk menciptakan platform bagi berbagai media, untuk memberi panggung bagi mereka yang dieksploitasi, dilupakan dan dibuang dari pembangunan arus utama yang brutal.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
Post a Comment