Refleksi Kemerdekaan: Menempatkan Perempuan Agar Punya Daya Saing dan Kompetitif adalah Cara Pandang Patriarkhis
*Zakiatunnisa- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Apa arti merdeka buatmu? Di peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus kemarin, saya banyak merenungkan sesuatu. Tentang pandangan-pandangan yang patriarkhis yang dilekatkan pada perempuan. Salah satunya adalah tentang perspektif peningkatan daya saing dan kompetisi.
Menurut saya menempatkan perempuan sebagai orang yang harus mempunyai daya saing dan kompetitif merupakan cara pandang yang patriarkhis. Karena disinilah perempuan dipaksa untuk menjalani peran-peran produksi skala besar untuk memenuhi rantai pasok dan kebutuhan pasar global. Sementara peran reproduksi dan perawatan yang dilekatkan pada perempuan selalu dikesampingkan, dianggap tak bernilai, tidak pernah dilihat dan dianggap tidak berkontribusi terhadap kemajuan Indonesia.
Refleksi saya ini berdasarkan amatan saya tentang pidato pemerintah kemarin. Pada peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) ke-74 tahun kemarin, pemerintah memberi tema “Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul Indonesia Maju”. Seperti apa yang disampaikan presiden Joko Widodo dalam pidatonya pasca terpilih, dan juga disampaikan oleh Eddy Cahyono Sugiarto Asisten Deputi Humas Kementerian Sekretariat Negara RI, bahwa SDM Unggul Indonesia Maju dimaknai lebih kepada akselerasi ekonomi Negara agar dapat menang bersaing dengan Negara-negara lain di dunia. Sehingga masyarakat dituntut untuk mempunyai daya saing yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan industri global demi peningkatan ekonomi Negara. “Indonesia maju” yang berorientasi pada pembangunan dan investasi ini patut dipertanyakan jika dikaitkan dengan mandat Undang-Undang Dasar 1945 yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat dan kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Bermakna Negara harus memastikan terpenuhinya hak dasar warga negaranya agar setiap warga Negara Indonesia tanpa terkecuali dapat terpenuhi kebutuhan material, spiritual, dan sosialnya agar dapat hidup dengan layak.
Buat saya perspektif peningkatan daya saing dan kompetisi merupakan cara pandang yang patriarkhis. Jika tolak ukur kemajuan negara adalah mampu bersaing dengan negara-negara lain dalam hal ekonomi dan tingkat pendapatan per kapita, maka artinya negara telah keliru. Cara pandang tersebut mengabaikan fakta bahwa pendekatan kompetisi dalam konteks ketimpangan kuasa dan modal telah menghasilkan ketidakadilan dan penindasan bagi masyarakat marjinal, terlebih bagi perempuan.
Bagi perempuan, ketimpangan kuasa bahkan juga dialami hingga tingkat keluarga. Perempuan seringkali tidak memiliki kuasa akses dan kontrol atas berbagai keputusan yang bersifat personal maupun publik, bahkan identitas perempuan hanya dilekatkan kepada laki-laki dalam keluarganya. Sehingga perempuan dalam situasi kehidupan yang tidak setara tersebut akan sulit dan dianggap tidak mampu berkompetisi.
Ketimpangan kuasa dan modal semakin menguat manakala negara yang seharusnya bertanggungjawab atas penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak rakyat, baik perempuan maupun laki-laki justru mengabdi pada kepentingan investor dan sangat maksimal dalam upaya perlindungan terhadap investor. Beberapa indikasi memperlihatkan hal tersebut:
Pertama, mendorong peraturan perundang-undangan yang berpihak kepada investor, dan berpotensi menghilangkan kedaulatan rakyat atas ruang hidupnya. Sebut saja , Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air, RUU Minerba, RUU Perkelapasawitan, revisi UU Ketenagakerjaan, dan draft terakhir RUU Pertanahan yang semuanya melanggengkan perampasan alam, pembatasan dan, pengrusakan ruang hidup dan kehidupan rakyat, serta membuka ruang dan memberikan perlindungan bagi investor.
Sementara di sisi lain, makin kuatnya fundamentalisme agama dengan tafsir sempit di dalam masyarakat saat ini yang masuk ke dalam sistem Negara melahirkan berbagai kebijakan diskriminatif terhadap perempuan.
Kebijakan diskriminatif tersebut menjadikan perempuan sebagai objek, sehingga berdampak pada semakin meningkatnya diskriminasi yang melemahkan perempuan. Seperti Qanun Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang di dalam aturannya tidak berpihak kepada perempuan bahkan berpotensi memberikan sanksi hukum kepada perempuan korban. Bukan hanya melahirkan kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap perempuan, fundamentalisme agama yang anti keberagaman juga menyebabkan kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh perempuan tidak pernah menjadi pembahasan serius. Di antaranya RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Hal ini terlihat pada pidato kenegaraan Presiden yang menyorot fungsi legislasi yang berfokus pada upaya menyikapi dinamika pembangunan yang bergerak cepat, bukan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh rakyat.
Kedua, pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah, termasuk Presiden di publik, untuk melindungi kepentingan investasi dan tidak ragu untuk bertindak tegas terhadap siapapun yang mengganggu. Lantas bagaimana jika kepentingan investasi yang datang justru menghilangkan ruang hidup dan sumber kehidupan rakyat? Seperti derita warga Kalimantan Tengah yang mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)?, akibat kabut asap yang merupakan dampak dari kebakaran hutan dan lahan yang tidak pernah ditangani serius oleh negara. Meski sudah ada beberapa nama perusahaan sawit yang disinyalir melakukan pembakaran lahan tapi belum ada tindakan tegas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Kemudian upaya tegas pemerintah untuk melindungi investasi semacam itu justru mendorong terjadinya kriminalisasi, intimidasi, maupun kekerasan bagi rakyat, termasuk perempuan yang berjuang mempertahankan sumber kehidupannya, karena dianggap mengganggu keamanan investasi dan akhirnya berujung pada konflik berkepanjangan. Juga yang terjadi pada masyarakat khususnya perempuandi Ogan Ilir, di mana selama puluhan tahun mereka harus berjuang merebut kembali tanahnya yang dirampas oleh PTPN VII Cinta Manis, walaupun harus mengalami intimidasi dan tindak kekerasan. Hal yang serupa juga dialami masyarakat khususnya perempuan di Seko-Sulawesi Selatan yang mengalami kekerasan dari militer, saat memperjuangkan tanahnya yang diokupasi oleh PLTA Seko Power Prima. Berbagai tindakan represi tersebut tentunya akan semakin mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Ketiga, agenda pemerintah yang ingin mengundang banyak investasi asing dalam kerangka kerjasama ekonomi komprehensif tidak disertai dengan analisis yang mendalam terhadap dampak bagi hak-hak rakyat. Justru tunduk dan pasrah terhadap skenario ekonomi politik global asalkan membuka peluang investasi sebesar-besarnya. Termasuk di dalamnya mekanisme sengketa investasi dalam perjanjian perdagangan bebas yang dikenal dengan ISDS (investor state dispute settlement). Dengan adanya mekanisme ISDS tersebut, negara dapat digugat oleh investor asing melalui lembaga arbitrasi internasional. Gugatan ini dilakukan oleh investor jika kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh Pemerintah dianggap merugikannya. Mekanisme ini akan menyandera pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan ataupun bertindak dalam melindungi hak rakyat, karena ketakutan akan digugat oleh investor. Hal ini terlihat setidaknya pada kasus privatisasi air di Jakarta, di mana pemerintah enggan memutus kontrak karena takut digugat oleh swasta. Akibatnya warga di Jakarta harus terus membayar mahal untuk kualitas air yang buruk, dan perempuan akan terkena dampak lebih buruk karena peran gendernya lebih lekat terhadap kebutuhan akan air bersih.
Pada situasi tersebut perempuan akan terkena dampak lebih buruk, karena beban domestik yang masih dilekatkan kepadanya tanpa pengakuan atas pengetahuan, pengalaman dan keputusan perempuan. Beban berlapis yang dilekatkan kepada perempuan untuk bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan memastikan ketersediaan pangan keluarga, memaksanya untuk bermigrasi menjadi perempuan buruh migran (PBM) ke luar negeri sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Namun, PBM-PRT belum dianggap sebagai pekerjaan layak, sehingga sangat rentan mengalami kekerasan dan pelanggaran hak bahkan trafficking dengan perlindungan yang minim.
Sepanjang Januari sampai saat ini, Solidaritas Perempuan mengadvokasi 47 kasus kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami oleh PBM-PRT, sekurang kurangnya terdapat 105 kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami oleh PBM. Kasus kasus yang kompleks dan berlapis karena semua PBM mengalami lebih dari satu kekerasan dan pelanggaran hak yang menunjukkan selama proses migrasi PBM mengalami kerentanan menjadi korban kekerasan, pelanggaran hak bahkan trafficking.
Jika kemajuan yang dimaknai negara adalah menciptakan SDM yang mampu bersaing sehingga berkontribusi pada ekonomi negara di pasar global, maka rakyat Indonesia tidak akan mendapatkan kedaulatannya.
Persoalannya bukan terletak pada ketidakmampuan atau kapasitas masyarakat, namun pada standar-standar ekonomi global yang tidak sesuai dengan nilai kesejahteraan dan kemakmuran yang kita miliki. Secara turun temurun, masyarakat lokal, dan komunitas, terutama perempuan memiliki dan melestarikan pengetahuan, maupun kearifan lokal untuk dapat bertahan hidup dengan sekaligus menjaga keseimbangan alam sebagai sumber-sumber kehidupan mereka.
Dengan mengikuti standar global, artinya Indonesia sudah kehilangan kedaulatannya, dengan dikontrol sepenuhnya oleh kepentingan pasar global. Akibatnya, petani yang sedang berjuang mempertahankan kedaulatan akses dan kontrol atas tanahnya dari sekma investasi dan perdagangan bebas, nelayan yang mempertahankan sumber hidupnya dari reklamasi, rakyat yang berjuang merebut haknya atas air dari privatisasi, petani yang berjuang mempertahankan benih dan bibit lokal dari penetrasi benih dan bibit perusahaan transnasional, juga perempuan pekerja migran yang dianggap sebagai pekerja yang tidak memiliki skill, akan dianggap bukan SDM yang unggul karena tidak mampu bersaing dan beradaptasi, bahkan dianggap menghalangi percepatan pembangunan ekonomi Negara karena menghambat investasi.
Selain itu, memaknai kemajuan dan keunggulan Indonesia semestinya tidak dimaknai sebatas maju dan unggulnya pembangunan dan investasi, namun pada kedaulatan masyarakatnya, baik laki-laki dan perempuan. Kesejahteraan Indonesia akan tercapai jika perempuan memperoleh kedaulatannya. Karena tidak ada kesejahteraan tanpa kedaualatan dan tidak ada kedaulatan tanpa kedaulatan perempuan.
Maka, negara seharusnya hadir dalam menjamin terpenuhinya hak-hak warga rakyat khususnya perempuan, dengan melakukan upaya nyata yang dituangkan dalam berbagai kebijakan dan program yang melindungi dan menjamin hak perempuan atas ruang hidupnya, menjamin kebebasan berekspresi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, juga menghormati dan merawat keberagaman. Negara juga diharapkan merevisi dan menghapus berbagai kebijakan diskriminatif dan menindas perempuan.
* Zakiatunnisa, Staff of Division of organizational strengthening Solidaritas Perempuan
1. Pidato Joko Widodo sebagai presiden terpilih https://tirto.id/teks-lengkap-pidato-jokowi-sebagai-presiden-terpilih-di-sentul-city-eef9
2. Undang-undang No. 11 Tahun 2019 tentang Kesejahteraan Sosial
3. Data Solidaritas Perempuan, http://www.solidaritasperempuan.org/
4. Pidato Presiden Republik Indonesia di Depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2019, file:///C:/Users/zaky/Downloads/Pidato%20Sidang%20Tahunan%202019.pdf
5. Opcit, http://www.solidaritasperempuan.org/
Post a Comment