Perlunya Keterlibatan Sineas Muda dalam Memproduksi Film yang Memperjuangkan Keadilan Ekologis
*Aprelia Amanda- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Datang ke The Indegenous Peoples Cinema Week 2019 (IPCW) membuat saya berpikir tentang banyaknya persoalan lingkungan yang masih menjerat kemanusiaan masyarakat Indonesia.
Ada banyak persoalan seperti perampasan tanah, penyeragaman makanan, industri yang merusak tanah-tanah rakyat dan bagaimana perempuan menghadapi arus pembangunan yang belum menyertakan mereka.
Acara ini kemudian ingin mengajak anak-anak muda, para sineas muda tentang pentingnya membuat film dengan keragaman persoalan masyarakat ini. Keterlibatan sineas muda sangat penting untuk memperluas jangkauan informasi persoalan lingkungan yang terjadi di masyarakat. Film dan sineas muda sangat penting kehadirannya dalam memperjuangkan keadilan pangan dan ekologis
The Indegenous Peoples Cinema Week 2019 (IPCW) yang digelar 9-11 Agustus 2019 di Taman Ismail Marzuki Jakarta ini baru kali pertama diselenggarakan. IPCW didedikasikan bagi para sineas muda yang tertarik dengan cerita-cerita masyarakat adat di Indonesia. Tahun ini IPCW mengangkat tema Meneguhkan Tekad, Memperkuat Akar dan mengedepankan Solusi. Sineas muda diajak untuk memberikan solusi atas persoalan lingkungan di Indonesia.
Acara ini sekaligus menjadi tempat perayaan 20 tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Hari Internasional Masyarakat Adat Nusantara (HIMAS) 2019. Ada beragam acara seperti pameran produk dan foto, permainan tradisional, bengkel seni, kuliner masyarakat adat, panggung kesenian masyarakat adat, dan The Indegenous Peoples Cinema Week 2019 (IPCW). Terdapat kurang lebih 1500 orang dari komunitas-komunitas adat yang turut berpartisipasi.
Ini digelar tak lain agar masyarakat dapat mengetahui berbagai cerita inspiratif dari masyarakat adat. Sebanyak 23 film dari dalam dan luar negeri diputar di festival ini. Para tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembuatan film dokumenter tersebut juga diundang dalam sesi diskusi publik, membahas tentang film-film yang telah mereka buat.
Kynan Tegar, seorang anak berusia 14 tahun adalah sineas termuda yang filmnya ditayangkan dalam IPCW. Kynan Tegar membuat film dokumenter berjudul Mali Umai - A Dayak Iban Ritual. Film dokumenternya merekam bagaimana mayarakat Dayak Iban melakukan upacara Mali Umai. Ritual yang sudah dilakukan secara turun temurun ini dilakukan untuk memohon kepada sang pencipta agar tanah ladang subur, memperoleh hasil panen yang melimpah, terhindar dari roh-roh jahat, dan memohon untuk diberikan kesehatan dan keberarkahan.
Film Strength in Diversity, Stress Tolerant Corps of Nagaland karya Chentei Lam Khaiamniungan sangat menarik. Film ini bercerita tentang nenek Chentei Chongkhem yang melestarikan jewawut (millet) sebagai alternatif tanaman pangan.
“Jonathan King”, nama yang diberikan leluhur untuk tanah yang indah itu kini dihuni 242 rumah tangga. Sedari awal leluhurnya memakan millet sebagai makanan pokoknya namun kini masyarakat beralih makan nasi dan mulai meninggalkan millet.
Chongkem menginginkan agar semua orang mulai memakan millet kembali karena ini penting untuk keamanan dan keberlanjutan pangan. Chongkem juga mengajarkan ragam pangan ke anak-anak karena pengetahuan tentang keragaman pangan penting bagi keberlangsungan masyarakat. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak hanya bergantung pada satu jenis makanan pokok sehingga akan terhindar dari bencana ketika terjadi gagal panen akibat perubahan cuaca dan serangan hama.
Selain pemutaran film, acara kuliner masyarakat adat menarik perhatian banyak orang. Acara ini menghadirkan puluhan macam masakan masyarakat adat yang dapat dinikmati semua orang seperti Nasi Jaha dari Minahasa, Manok Pansoh dari Suku Dayak Iban, Iba Siobbuk dari Mentawai, dll. Setiap makanan mulai dihadirkan di meja, orang-orang berduyun-duyun menyerbunya dan menanyakan apa nama makanan itu. Semua orang antusias karena bisa merasakan makanan yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan.
Panggung kesenian masyarakat adat pun tak kalah ramai. Ada puluhan penampilan dari komunitas masyarakat adat seperti Tari Hudo, Tari Ma’dondo Toraya, Musik Sape, dll. Mayarakat adat kini punya panggung untuk menampilkan karyanya dan disaksikan banyak orang. Penampilan ini semakin memeriahkan perayaan ulang tahun Aliansi Mayarakat Adat Nusantara.
Komunitas-komunitas adat juga melakukan pameran hasil karya masyarakatnya. Berbagai kain tradisional dan pernak-pernik dijajakan. Komunitas Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Perempuan AMAN) turut memamerkan hasil kerajinan perempuan-perempuan adat.
Selain pameran hasil kerajinan, Perempuan AMAN membagian buletin Ina Tana. Ina Tana merupakan buletin yang diterbitkan Perempuan AMAN yang berisi kumpulan tulisan dari perempuan adat di seluruh Indonesia. Ina Tana menjadi media pertama bagi para perempuan adat untuk mengeluarkan suaranya.
*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co
Post a Comment