Aktivis Perempuan: Tidak Ada Laporan CEDAW dari Pemerintah, Perempuan tak Mendapat Perhatian Khusus untuk Menyelesaikan Diskriminasi
*Aprelia Amanda- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Mereka antara lain Achie Luhulima, Syamsiah Achmad, Saparinah Sadli, Mely G. Tan, Tumbu Saraswati, Atashendartini Habsjah,Yuda Irlang, Sinta Nuriyah, Ani Widyani Soetjipto, Jaleswari Pramodhawardani, Meutia Farida Hatta Swasono, Francisia Saveria Sika Ery Seda, Zumrotin, dan Zaitunah Subhan. Sebanyak 14 perempuan pelaku sejarah ini dihadirkan untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya tentang National Women’s Machineries di Indonesia.
Hal ini dilakukan pada peringatan 35 tahun peringatan ratifikasi konvensi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)atau konvensi anti diskriminasi terhadap perempuan yang diadakan Komnas Perempuan di Jakarta.
Para perempuan pelaku sejarah yang hadir menceritakan perjuangan mereka dan perempuan lainnya untuk meratifikasi CEDAW, menolak kekerasan dan diskriminasi perempuan, serta upaya ketika dulu mendirikan Komnas Perempuan.
Semua diceritakan didorong oleh pengalaman pahit yang dialami perempuan seperti pemerkosaan bebas-besaran yang terjadi pada kerusuhan 98 yang tidak diakui negara, juga kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang merupakan sejarah sangat kelam bagi perempuan Indonesia.
Indonesia, 35 Tahun Pelaksanaan CEDAW
Syamsiah Ahmad menceritakan keterlibatan perempuan Indonesia di dalam PBB untuk merumuskan konvensi anti diskriminasi terhadap perempuan. Ia ingat, perempuan Indonesia pada tahun 1960-an kala itu memulai pembicaraan tentang kekerasan terhadap perempuan di PBB karena masalah ini jarang dibicarakan masyarakat yang mayoritasnya adalah laki-laki. Akhirnya muncul gagasan agar pemerintah di seluruh dunia mencegah kekerasan terhadap perempuan.
Perjuangan yang sama juga dilakukan aktivis perempuan Tumbu Saraswati, ia dan kawan-kawan mempelajari CEDAW dengan sungguh-sungguh sebab itu adalah satu-satunya alat perjuangan yang ada kala itu.
Saat itu belum ada peraturan yang mengataur tentang kekerasan dan diskriminasi teradap perempuan. Kemudian Indonesia meratifikasi konvensi CEDAW dengan menerbitkan Undang-Undang/ UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Aktivis lainnya Atas Hendartini Habsjah berpesan agar anak-anak muda meneruskan perjuangan CEDAW.
“ 16 pasal dalam CEDAW harus dibahas secara mendetail. Menurutnya pasal-pasal yang ada di CEDAW perlu direintepretasi,” kata Atas Hendartini.
Peringatan 35 tahun CEDAW ini menjadi refleksi apakah kondisi kita (perempuan)semakin maju atau justru semakin mundur. Apakah kita semakin mendekat atau menjauh dari cita-cita awal mendirikan Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Jaleswari Pramodhawardani merefleksikan perjalanan CEDAW selama ini. Pada tahun 2012 CEDAW memberikan catatan kepada Indonesia tentang Perda Syariah di Aceh. Komisi CEDAW menyatakan bahwa Perda tersebut mendiskriminasi perempuan.
Tujuh tahun yang lalu CEDAW mencatat itu hanya terjadi di wilayah Aceh, hari ini kita ditunjukan kondisi negara yang semakin konservatif.
“Perempuan tidak bisa bergerak sendiri, kita harus berjejaring untuk melawan konservatisme yang sudah jelas basisnya. Pertemuan kita hari ini harus dijadikan momentum bersama, pemerintah, NJO, akademisi, para praktisi, semuanya harus bergerak bersama-sama.”
Dalam sejarahnya, Indonesia telah beberapa kali memiliki wakil di CEDAW, yaitu Ida Soekaman (1987) yang digantikan oleh Prof. Dr. Ir. Pudjiwati Sajogyo (periode 1987-1990), Prof. Dr. Sunaryati Hartono (periode 1995-1998), dan Sjamsiah Achmad (periode 2001-2004). Kiprah tokoh perempuan Indonesia di Komite CEDAW tersebut seolah sekaligus mematahkan miskonsepsi bahwa Hak Asasi Perempuan adalah produk Barat, karena nyatanya perempuan-perempuan dari Timur pun justru ikut terlibat dalam posisi strategis mengembangkan instrumen dan mekanisme implementasi CEDAW. Keberagaman dalam Komite CEDAW juga semakin menegaskan pula bahwa Hak Asasi Perempuan adalah suatu komitmen dunia di mana semua negara seharusnya terlibat
Dalam peringatan ini, Komnas Perempuan mencatat bahwa pemerintah Indonesia yang seharusnya memberikan laporan setiap 5 tahun sekali kepada komite CEDAW tentang situasi diskriminasi yang dialami perempuan Indonesia, namun sejak tahun 2016 tidak lagi memberikan laporannya. Ini akan mengakibatkan kondisi perempuan dan persoalan diskriminasinya tidak akan menjadi perhatian khusus di PBB.
Komnas Perempuan mencatat bahwa dampak serius keterlambatan pelaporan ini, antara lain menutup situasi perempuan Indonesia mendapatkan perhatian dari PBB, karena Komite tidak dapat me-review perkembangan pemajuan hak asasi perempuan di Indonesia maupun menyusun rekomendasi bagi Indonesia.
Indonesia potensial dinilai komite dan negara-negara lain, tidak meletakkan isu perempuan sebagai isu penting untuk didokumentasi kemajuan dan kemundurannya oleh negara, sebagai baseline kerja-kerja bangsa kedepan. Padahal pemerintah RI berusaha serius memajukan sejumlah hak asasi perempuan, terlepas masih ada kekurangan yang harus diperbaiki, namun upaya-upaya ini tidak diketahui publik internasional
Padahal Indonesia harus memberikan contoh positif, agar tidak terjadi pelaziman keterlambatan pelaporan yang akan ditiru oleh negara-negara lain, yang langsung atau tidak langsung berdampak pada pengabaian hak-hak perempuan untuk mendapatkan perhatian negara
Dalam catatan Komnas Perempuan ada banyak persoalan diskriminasi yang menjerat perempuan seperti adanya pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan (P2GP) sebagai praktik yang membahayakan dan melanggar HAM perempuan. Adanya persoalan penetapan usia perkawinan anak, adanya praktik poligami. Lalu persoalan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dan persoalan perkawinan anak bagi perempuan.
Desakan Komnas Perempuan untuk Pemerintah
Bertepatan dengan hari peringatan 35 tahun Indonesia meratifikasi CEDAW ini, Komnas Perempuan mendesak negara untuk segera menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan CEDAW yang jatuh tempo pada tahun 2016. Ini berarti laporan RI telah terlambat 3 tahun dan hingga kini masih ditunggu oleh Komite CEDAW.
Mengingatkan negara untuk menjalankan rekomendasi yang telah disampaikan melalui concluding Observation Komite CEDAW dan mendorong negara untuk meratifikasi Optional Protocol CEDAW yang berisi prosedur tambahan dalam pelaksanaannya.
*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co
Post a Comment