Pulanglah tepat waktu! Terlalu lama bekerja, bisa tingkatkan risiko kena stroke
Libby Sander, Bond University
Jam kerja panjang buruk bagi kesehatan kita. Sebuah penelitian di Prancis baru-baru ini menemukan bahwa bekerja terus-menerus selama sepuluh hari atau lebih dapat meningkatkan risiko terkena stroke.
Penelitian lain juga menemukan bahwa pekerja yang memiliki jam kerja panjang cenderung memiliki kesehatan mental yang buruk dan kualitas tidur yang lebih rendah.
Orang dengan jam kerja yang panjang juga cenderung punya kebiasaan merokok, minum alkohol berlebihan, dan penambahan berat badan.
Baca juga:
Long hours at the office could be killing you – the case for a shorter working week
Kerja terlalu lama tidak baik
Efek dari jam kerja yang panjang sangat beragam bagi kesehatan kita.
Studi dari Prancis yang melibatkan lebih dari 143.000 peserta itu menemukan bahwa mereka yang bekerja sepuluh jam atau lebih per hari selama setidaknya 50 hari dalam satu tahun berisiko terkena stroke 29% lebih tinggi.
Penelitian itu tidak menemukan hasil yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, tapi menunjukkan risiko lebih tinggi pada pekerja kantoran di bawah usia 50 tahun.
Riset meta-analisis lain yang melibatkan data lebih dari 600 ribu orang, yang diterbitkan dalam jurnal medis Inggris The Lancet, ternyata menemukan efek yang sama. Karyawan yang bekerja 40 sampai 55 jam per minggu memiliki risiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan mereka dengan jam kerja yang standar yaitu 35-40 jam per minggu.
Jam kerja yang tidak teratur, atau kerja shift, juga ditengarai berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan yang lebih buruk, termasuk gangguan jam biologis (yang menentukan kapan kita terbangun dan kapan kita tertidur), gangguan tidur, tingkat kecelakaan, kesehatan mental, dan risiko terkena serangan jantung.
Baca juga:
Power naps and meals don't always help shift workers make it through the night
Gangguan ini bukan pada fisik semata. Bekerja berjam-jam secara terus menerus juga menyebabkan ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang mengarah pada menurunnya kepuasan kerja dan kinerja, serta menurunnya kepuasan kehidupan dan hubungan pribadi.
Mengapa kita banyak bekerja?
Meskipun banyak negara telah memberlakukan batasan jumlah jam kerja per minggu, tetapi di seluruh dunia masih ada sekitar 22% pekerja yang bekerja lebih dari 48 jam seminggu. Di Jepang, jam kerja yang panjang adalah masalah yang begitu besar sampai-sampai karoshi - “kematian karena bekerja terlalu keras” - adalah penyebab kematian yang diakui secara hukum.
Australia berada di urutan ketiga terbawah dari negara-negara OECD - Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi - dalam hal jam kerja yang panjang, dengan 13% penduduknya memiliki jam kerja di atas 50 jam per minggu dalam pekerjaan berbayar.
Kekhawatiran seputar otomatisasi, pertumbuhan upah yang lambat, dan meningkatnya pengangguran menjadi alasan mengapa orang Australia bekerja lebih panjang. Sebuah studi pada 2018 menunjukkan bahwa orang Australia bekerja lembur tidak dibayar totalnya sekitar 3,2 miliar jam.
Baca juga:
Are you burnt out at work? Ask yourself these 4 questions
Pekerjaan sering tidak berakhir setelah mereka pulang kantor. Mereka melakukan pekerjaan ekstra di rumah, menerima telepon, atau menghadiri pertemuan online setelah jam kerja. Semakin banyak mereka yang tidak melakukan pekerjaan ekstra yang punya pekerjaan sampingan. Banyak orang Australia sekarang melakukan pekerjaan tambahan secara tidak tetap atau freelance.
Pengaruh kendali pekerjaan
Otonomi dan “keleluasaan keputusan” di tempat kerja–sejauh mana orang punya kendali dan dapat membuat keputusan atas pekerjaan mereka–adalah faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko masalah kesehatan.
Rendahnya keleluasaan keputusan dan juga kerja shift dikaitkan dengan risiko serangan jantung dan stroke yang lebih tinggi. Kendali individu memainkan peran penting dalam perilaku manusia; sejauh mana kita yakin kita memiliki kendali atas lingkungan kita, sangat mempengaruhi persepsi dan reaksi kita terhadap lingkungan itu.
Penelitian psikologi awal menunjukkan, misalnya, bahwa reaksi seseorang terhadap sengatan listrik sangat dipengaruhi oleh persepsi bahwa ia memiliki kendali atas sengatan itu (bahkan jika ia sebenar tidak punya kendali).
Baca juga:
Teachers are more depressed and anxious than the average Australian
Temuan ini juga ada dalam data Institut Kesehatan dan Kesejahteraan Australia. Semakin tinggi perbedaan antara jumlah jam kerja yang mereka inginkan dan jumlah jam kerja yang mereka lakukan, maka semakin turun tingkat kepuasan dan kesehatan mental. Hasil ini berlaku baik bagi pekerja yang bekerja berlebihan dan bagi mereka yang menginginkan jam kerja lebih lama.
Apa yang dapat dilakukan perusahaan?
Komunikasi yang efektif dengan karyawan itu penting. Karyawan bisa jadi tidak dapat menyelesaikan pekerjaan mereka dalam jam normal karena, misalnya, harus menghabiskan banyak waktu dalam rapat.
Perusahaan dapat mengambil langkah-langkah untuk menerapkan kebijakan yang dapat memastikan bahwa jam kerja yang panjang tidak terjadi terus menerus. Di Australia, ada acara tahunan Go Home on Time Day, yaitu pulang ke rumah tepat waktu, untuk mendorong karyawan mencapai keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan. Walau inisiatif ini meningkatkan kesadaran akan jam kerja, orang seharusnya selalu pulang tepat waktu, bukan sekali-sekali.
Baca juga:
Business owners' control of their work-life balance is the fine line between hard work and hell
Meningkatkan masukan karyawan ke dalam jadwal dan jam kerja mereka dapat memiliki dampak positif pada kinerja dan kesejahteraan mereka sendiri.
Merancang tempat kerja yang mengutamakan kesejahteraan juga penting. Penelitian tentang kerja shift menunjukkan bahwa memperbaiki tempat kerja dengan menyediakan makanan, perawatan anak, perawatan kesehatan, transportasi yang mudah diakses, dan fasilitas rekreasi dapat mengurangi efek buruk dari kerja shift.
Terakhir, menerapkan praktik kerja yang fleksibel sehingga karyawan memiliki kendali atas jadwal mereka untuk mendorong keseimbangan kehidupan kerja terbukti memiliki efek positif pada kesejahteraan mereka.
Inisiatif-inisiatif semacam ini membutuhkan dukungan berkelanjutan. Jepang mengadakan Jumat Premium, yaitu gerakan yang mendorong karyawan untuk pulang jam 3 sore sebulan sekali. Namun, hasil awal menunjukkan bahwa hanya 3,7% karyawan yang melaksanakan inisiatif tersebut. Hasil rendah ini dapat dikaitkan jam kerja panjang yang sudah jadi budaya dan pola pikir kelompok: karyawan tidak ingin merepotkan rekan kerja saat mereka mengambil cuti.
Dengan meningkatnya kekhawatiran tentang jaminan pekerjaan, dan budaya yang menganggap jam kerja panjang adalah hal wajar, perubahan mungkin tidak cepat terjadi. Padahal kita semua tahu bahwa jam kerja panjang tidak baik untuk kesehatan.
Amira Swastika menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Libby Sander, Assistant Professor of Organisational Behaviour, Bond Business School, Bond University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment