Kuatnya budaya _victim blaming_ hambat gerakan #MeToo di Indonesia
Iwan Awaluddin Yusuf, Universitas Islam Indonesia (UII)
The Conversation Indonesia menerbitkan serangkaian artikel yang membahas kekerasan terhadap perempuan dalam rangka Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Sedunia pada 25 November.
Di Indonesia, perempuan ikut menggerakkan aksi solidaritas terhadap korban kekerasan atau yang dikenal dengan sebutan gerakan #MeToo. Salah satu penggerak aksi ini adalah para korban kekerasan seksual yang melaporkan pelaku pada polisi.
Baru-baru ini, dua kasus kekerasan seksual menarik perhatian publik. Kasus pertama adalah dugaan pemerkosaan terhadap mahasiswi Universitas Gadjah Mada oleh rekannya sendiri. Sedangkan kasus lainnya adalah dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah terhadap seorang guru di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Jika kesaksian perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Amerika Serikan telah berhasil menjatuhkan para pelaku yang merupakan pria yang berkuasa dan mendorong penegakan norma perusahaan yang menolak adanya pelecehan seksual, maka kesaksian para perempuan di Indonesia justru bisa membuat mereka terancam tindak pidana karena budaya yang menyalahkan korban (victim blaming) begitu meraja lela di Indonesia.
Media tidak hanya memainkan peran dalam melaporkan budaya victim blaming tersebut namun juga memperkuat keberadaannya.
Menyalahkan Korban
Kasus perkosaan di UGM menjadi perhatian publik setelah lembaga pers mahasiswa Balairung mengangkat laporan tentang kejadian yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya). Agni melaporkan telah dilecehkan secara seksual oleh teman satu programnya, HS, saat melakukan Kuliah kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku.
Balairung mewawancarai Agni dan menuliskan tanggapan pihak kampus atas laporan Agni. Menindaklanjuti laporan perkosaan yang disampaikan Agni, UGM langsung memberhentikan tersangka dari program KKN, sedangkan Agni tetap diperbolehkan melanjutkan programnya hingga selesai. Namun setelah KKN berakhir, Agni ternyata hanya memperoleh nilai C sementara teman-teman satu kelompoknya memperoleh nilai yang lebih tinggi.
Ketika mempertanyakan nilainya yang rendah, salah seorang pengelola KKN justru menyalahkan Agni karena bertindak ceroboh. Ia menilai peristiwa perkosaan itu telah membuat malu nama UGM di depan warga.
Dalam pertemuan lanjutan dengan universitas, seorang pejabat kampus justru membenarkan tindakan dosen pembimbing lapangan (DPL) yang memberi nilai C.
“Seandainya kamu tidak menginap di sana, peristiwa itu tidak akan terjadi”, tuturnya.
“Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi ikan asin pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” seorang dosen lain memberikan pernyataan kontroversial.
Sementara itu di Lombok, seorang guru perempuan bernama Baiq Nuril yang merekam percakapan asusila yang dilakukan seorang kepala sekolah terhadap dirinya sebagai bukti untuk membela diri justru dihukum 6 bulan penjara dan didenda Rp500 juta. Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena dianggap melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam menyebarkan dokumen elektronik dengan muatan asusila.
Kedua kasus tersebut hanyalah puncak gunung es dari budaya victim blaming yang cukup kuat terhadap korban tindak kekerasan seksual di Indonesia.
Budaya menyalahkan korban begitu lazim ditemui sehingga banyak penyintas akhirnya takut melaporkan kasus yang dialami. Para penyintas khawatir akan mendapat stigma buruk. Mereka juga dianggap merusak nama baik keluarga atau lembaga. Mereka bahkan dapat dikriminalisasi karena melaporkan pemerkosaan tersebut.
Peran media
Victim blaming adalah suatu bentuk sikap menyalahkan perempuan atas kekerasan seksual yang mereka alami. Gejala ini ditandai dengan kecenderungan memihak para pelaku. Masyarakat juga lebih banyak mendengarkan cerita versi pelaku.
Ketika menyalahkan korban, masyarakat terbiasa menuduh perempuan ikut bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Misalnya mereka bilang kasus itu bisa terjadi karena perempuannya mengenakan rok pendek, keluar malam sendirian, dan lain-lain. Mereka juga cenderung memberikan toleransi pada pelaku sehingga memungkinkan mereka untuk lepas dari hukuman.
Di Indonesia, kebiasaan menyalahkan korban sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki, ideologi yang mengakui hubungan tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Dalam budaya patriarki, posisi laki-laki lebih dominan, lebih berpengaruh, sementara perempuan diposisikan sebagai bawahan. Akibatnya, laki-laki menuntut rasa hormat dan kepatuhan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Media memainkan peran ganda dalam kasus kekerasan seksual. Di satu sisi, media adalah sumber informasi utama bagi masyarakat untuk mengetahui adanya kekerasan terhadap perempuan sekaligus menjadi salah satu sarana edukasi masyarakat dalam menyikapi kekerasan seksual. Media juga bisa memberi tempat agar suara penyintas didengar. Laporan Balairung tentang perkosaan Agni di UGM misalnya, telah menarik perhatian dan simpati publik atas kejadian tersebut.
Namun di sisi yang lain, liputan media juga dapat memperparah budaya menyalahkan korban. Hal ini mungkin terjadi karena media cenderung menampilkan perempuan sebagai sosok yang lemah, dan bukan penyintas yang bisa berjuang untuk mencari keadilan setelah diperkosa. Media juga cenderung menyalahkan perempuan dalam liputan tentang kekerasan seksual.
Sebuah penelitian tentang serangan seksual terhadap keturunan Tionghoa selama transisi politik Indonesia pada Mei 1998 oleh Susan Blackburn dari Monash University Australia menyoroti peran media dalam menyebarkan sikap menyalahkan korban. Temuan Susan menunjukkan bahwa pemberitaan media di Indonesia sering memojokkan perempuan dalam kasus kekerasan perempuan dengan mengatakan bahwa perkosaan bisa terjadi karena karena perempuan yang bersangkutan memancing hasrat seksual pemerkosa dengan pakaian “provokatif” dan “sensual”.
Sikap menyalahkan korban dalam masyarakat patriaki telah membuat para penyintas kekerasan seksual mengalami penderitaan ganda: diperkosa dan disalahkan. Ini akan menyebabkan para penyintas tidak merasa aman dalam membagikan cerita mereka kepada orang lain.
Sikap menyalahkan korban juga membawa dampak negatif lainnya.
Sosiolog Indonesia Ariel Heryanto melakukan penelitian lain tentang perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa dan dilecehkan secara seksual pada tahun 1998. Ia menemukan bahwa sebagian besar penyintas memilih untuk melarikan diri dari rumah dan berusaha menjalani hidup baru di tempat yang jauh karena trauma dan stigma buruk. Banyak yang mencoba mengatasi trauma tersebut dengan melupakan atau menyangkal bahwa kekerasan seksual telah terjadi. Akibatnya, kasus pemerkosaan tahun 1998 masih sulit untuk ditelusuri hingga saat ini.
Lingkungan masyarakat yang melanggengkan sistem patriarki juga memperkuat budaya memerkosa atau rape culture yang juga mendorong sikap menyalahkan korban. Budaya memerkosa didefinisikan sebagai lingkungan yang menoleransi perkosaan dan kekerasan seksual.
Budaya memerkosa ini dilestarikan melalui penggunaan bahasa yang merendahkan perempuan dengan mengomentari bentuk tubuh perempuan atau menggunakan lelucon seksual maupun kasus perkosaan sebagai bahan lelucon.
Bercanda tentang perkosaan mengabaikan fakta bahwa banyak penyintas pemerkosaan yang harus menghadapi luka fisik dan emosional sekaligus, karena setelah diperkosa (yang tidak pernah ia harapkan) ia juga disalahkan atau dijadikan bahan olok-olok oleh orang-orang di sekelilingnya.
Disadari atau tidak, kebiasaan ini membangun masyarakat yang mengabaikan hak dan keamanan perempuan.
Membela penyintas
Kasus perkosaan di UGM adalah momentum yang bisa mengingatkan bahwa kita harus mendukung para penyintas. Kita harus memprioritaskan untuk berdiri bersama penyintas. Dukungan publik untuk Baiq Nuril dari Lombok juga harus memicu reformasi penegakan hukum dan peradilan untuk melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia.
Sikap menyalahkan korban dan budaya memerkosa adalah masalah yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia. Untuk melawannya, kita harus selalu mendukung penyintas, tidak hanya ketika kasus tersebut menimbulkan reaksi publik tapi setiap saat. Kita juga perlu mengubah cara pandang kita terhadap masalah pemerkosaan, dimulai dengan menghargai jenis pakaian apa pun yang mereka kenakan.
Iwan Awaluddin Yusuf, Lecturer in Department of Communications, Universitas Islam Indonesia (UII)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment