Gender dalam sains di Indonesia: mengapa kesenjangan penting diturunkan
Wati Hermawati, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
Agustus lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kesempatan sekolah bagi perempuan dan laki-laki di Indonesia sudah hampir setara.
Tapi kesetaraan gender merosot hingga 50% saat perempuan memasuki dunia kerja karena adanya bias gender dalam berbagai bidang pekerjaan, sehingga hanya 30% perempuan yang bekerja di bidang industri sains, teknologi dan matematika. Selain itu, peran perempuan sebagai ibu dan istri diduga kuat menjadi hambatan dalam mencapai karir tinggi.
Karena itu, penting bagi pemerintah mengurangi bias gender agar anak perempuan di negeri ini mampu menggapai cita-citanya di berbagai bidang. Masalahnya, seperti kata Sri Mulyani yang mengutip World Economic Forum Report 2017, dalam skala global, untuk menyelesaikan masalah ketidaksetaraan gender membutuhkan waktu hampir 200 tahun.
Langkah kecil tahap demi setahap, terutama melalui intervensi kebijakan, harus dilakukan untuk memperkecil jurang ketimpangan gender dalam bidang sains.
Gap gender dalam sains
Selama ratusan tahun, sains dipandang sebagai bidang laki-laki dan maskulin. Baru pada dekade 1990-an mulai terungkap secara rinci ketimpangan gender dalam sains dan teknologi di dunia, termasuk di Indonesia, setelah Konferensi Dunia tentang Perempuan di Beijing (1995), penerbitan World Science Report (1996) UNESCO, dan World Conference on Science di Budapest (1999).
Ketimpangan gender juga mendapat perhatian dari World Economic Forum (WEF) yang secara reguler menerbitkan indikator ketimpangan gender negara-negara di dunia. Hasil Survei Ketimpangan Gender Global oleh WEF pada 2012-2016 terhadap Indonesia (jumlah seluruhnya 144 negara) menunjukkan posisi Indonesia dalam seluruh indikator sedikit meningkat dari rangking ke-92 pada 2015 naik peringkat 88 pada 2016. Peringkat Indonesia di bawah Thailand (71), Vietnam (65), Singapura (56), Laos (43) dan Filipina (7) dan di atas India (87) dan Cina (99).
Data UNESCO (2015) memperlihatkan bahwa di seluruh dunia, perempuan yang bekerja sebagai peneliti hanya 28%. Padahal jumlah perempuan dan laki-laki yang menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana dan master dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) jumlahnya relatif sama. Di Indonesia, pada 2017 jumlah peneliti perempuan hanya sekitar 35%, walau jumlah perempuan hampir separuh dari total penduduk.
Kesenjangan itu mulai terlihat dari partisipasi pendidikan antar jenis kelamin, rata-rata lama sekolah tingkat SD sampai SMA anak perempuan lebih rendah (7,84 tahun) dibandingkan anak laki-laki (8,35 tahun).
Hal ini terjadi kemungkinan karena tekanan ekonomi yang menyebabkan tingginya tuntutan anak perempuan untuk bekerja atau menikah usia dini yang berdampak pada kondisi putus sekolah. Pada jenjang perguruan tinggi perempuan cenderung lebih sedikit memilih bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathemathics), dan belum tentu berkarir di bidang iptek.
Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin kecil pula jumlah peserta perempuan. Pola yang sama terlihat pada lulusan program studi. Semakin tinggi program studi, semakin kecil jumlah lulusan berjenis kelamin perempuan.
Kecilnya jumlah perempuan berkarir sebagai peneliti bermula dari tahap pendidikan doktor (PhD) dan berlanjut terus pada tingkat organisasi kerja dengan kontroversi yang sering digambarkan sebagai “leaky pipeline”. Istilah ini mengacu pada banyak perempuan meninggalkan karirnya, kebanyakan dalam bidang STEM untuk beralih ke bidang lain. Hal ini terjadi karena adanya diskriminasi atau kebijakan yang tidak mendukung perempuan, seperti tiadanya fleksibilitas waktu bekerja sebagai peneliti.
Kesenjangan gender sebagai pelaku iptek di Indonesia, juga terjadi di lembaga penelitian dan pengembangan industri. Perempuan peneliti di industri manufaktur kurang dari 35%. Jumlah perempuan terbanyak di sektor manufaktur bekerja sebagai tenaga pendukung atau tenaga administrasi.
Sistem patrilineal
Di luar bangku sekolah, ketimpangan gender dalam sains terjadi karena adanya perbedaan cara perempuan dan laki-laki berinteraksi dengan praktik sains dan teknologi serta makna dan implikasi sains dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, perempuan diposisikan mengurus rumah, memasak, dan mengurus anak. Sedangkan laki-laki bertugas mencari nafkah, bekerja menciptakan teknologi, dan semua kegiatan di luar rumah, termasuk pertemuan di lingkungan rumah. Sistem patrilineal lebih dominan dibanding matriliniael.
Meski ilmu pengetahuan dan teknologi telah menawarkan banyak kesempatan bagi perempuan dan laki-laki, kenyataan menunjukkan bahwa partisipasi perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki baik di bidang rekayasa, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak selanjutnya dari rendahnya partisipasi adalah hilangnya kesempatan untuk berperan sentral dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Perbedaan tersebut muncul akibat rekayasa budaya hasil dari praktik historis dan sosial selama berabad-abad.
Upaya pemerintah dalam memperkecil kesenjangan gender telah dilakukan melalui instruksi presiden untuk pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional sejak tahun 2000. Di tingkat global, perhatian terhadap masalah gender juga mengemuka, antara lain dalam program SDGs (Sustainable Development Goals), mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dewasa dan anak perempuan merupakan tujuan nomor 5 SDGs bagi lebih dari 190 negara.
Namun demikian, fenomena ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam hal partisipasi, akses, dan kontrol terhadap sumber daya iptek maupun pemanfaatan iptek masih tinggi di Indonesia dan dunia.
Berbagai kajian dan penelitian menyebutkan bahwa sejumlah faktor turut berkontribusi atas sulitnya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, seperti belum baiknya capaian pendidikan kaum perempuan, faktor kemiskinan, budaya yang kurang mendukung serta kurangnya dukungan kebijakan pemerintah terkait dengan keterlibatan perempuan dalam iptek.
Banyak pelaku iptek-di lembaga penelitian dan pengembangan, universitas, dan industri-baik perumus kebijakan, pengambil keputusan, peneliti, perekayasa, dosen, maupun profesi lainnya belum memahami gender dan isu-isu apa yang terkait dengan gender dalam iptek.
Diskriminasi terselubung
Kebijakan pemerintah di bidang iptek tidak secara eksplisit mendiskriminasi perempuan, tapi praktiknya perempuan terhambat menjalankan pekerjaannya sebagai peneliti. Dualisme peran sebagai istri atau ibu dan peneliti, tidak kondusifnya lingkungan kerja, kurangnya fasilitas penunjang bagi kebutuhan kaum perempuan, seperti ruang laktasi dan tempat penitipan anak, juga merupakan hambatan serius bagi terwujudnya kesetaraan gender.
Kebijakan lain yang belum mendukung adalah kebijakan pemberian beasiswa S2 usia maksimal 35 tahun dan beasiswa S3 usia maksimal 45 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Kebijakan ini belum sesuai dengan kondisi perempuan yang bekerja di sektor iptek seperti lembaga litbang. Ada masa-masa melahirkan dan mengasuh anak-anak, apalagi kalau anaknya lebih dari satu, yang menyita waktu perempuan saat berusia di bawah 40 tahun.
Ketimpangan gender di sektor ekonomi dicerminkan dengan pendapatan perempuan yang jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sekitar Rp8,5 juta dibanding Rp14 juta per kapita dalam setahun. Hal ini disebabkan oleh segregasi pekerjaan berdasarkan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Perempuan belum bisa memasuki seluruh lapangan pekerjaan yang ada.
Keterwakilan perempuan sebagai pengambil keputusan di tingkat eksekutif dan legislatif masih sangat minim. Hal ini diduga mengakibatkan lahirnya kebijakan maupun tindakan administratif yang tidak sensitif gender.
Lalu bagaimana menyelesaikan gap?
Mengatasi kesenjangan gender di sektor iptek tidak dapat diserahkan hanya kepada masyarakat atau pelaku iptek itu sendiri. Mengurangi kesenjangan gender memerlukan intervensi kebijakan yang diimplementasikan dengan serius. Sangat sulit dan mungkin lama memecahkan masalah ketimpangan gender hanya dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Salah satu solusi keluar dari ketimpangan gender yang direkomendasikan oleh Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) PBB antara lain dengan tindakan-khusus-sementara (afirmasi). Juga kewajiban untuk mengubah pola tingkah laku sosial budaya laki-laki dan perempuan, menghapus prasangka, kebiasaan dan segala praktik lainnya yang mendasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan sterotip laki-laki dan perempuan.
Pemerintah memegang peranan penting dalam menjalankan strategi intervensi tersebut, termasuk mengarusutamakan gender, menata kembali kelembagaan dan tata kelolanya yang responsif gender. Juga menyediakan data terpilah berbasis jenis kelamin dengan melengkapi pusat data dan indikator dengan perpektif gender. Selain itu, dibutuhkan kajian dan penelitian terkait dengan gender dalam sektor iptek dan menyebarkannya.
Keadilan dan kesetaraan gender bisa diwujudkan bila pengarusutamaan gender dilakukan melalui kerja sama yang saling menghargai dan saling mendukung di antara semua komponen dalam masyarakat, pemerintah dan non-pemerintah, pemerintah pusat dan daerah, dan organisasi profesi dan keahlian.
Wati Hermawati, Researcher, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment