Stigma masyarakat menghambat pemenuhan hak asasi anak dengan HIV/AIDS di Indonesia
Hari AIDS Sedunia—tiap 1 Desember—telah diperingati selama 30 tahun, tapi anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA) di Indonesia belum mendapatkan perhatian sebanyak perhatian terhadap orang dewasa yang terinfeksi virus serupa.
Anak-anak dengan HIV/AIDS mengalami diskriminasi dan terhambat mengakses hak-hak dasar sejak usia dini.
Jakarta dan Surakarta menjadi saksi terjadinya pengusiran anak dari sekolah dengan alasan HIV/AIDS karena desakan komunitas orang tua murid.
Tak hanya di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian lapangan di Surakarta, rumah singgah ADHA yang dikelola oleh Yayasan Lentera Surakarta harus berpindah-pindah dalam kurun waktu satu tahun karena adanya penolakan oleh masyarakat setempat untuk hidup berdampingan dengan mereka.
Berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan pada 2016 di Jakarta dan Surakarta, stigma dan diskriminasi menjadi faktor utama yang menghambat pemenuhan hak-hak dasar ADHA. Pemerintah pusat dan daerah telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan untuk memenuhi hak-hak dasar ADHA, tapi dalam praktiknya, implementasi yang mewajibkan berbagai elemen, termasuk masyarakat, gagal dilaksanakan.
Padahal jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat, termasuk anak-anak. Sampai Desember 2016, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat lebih dari 5.000 warga negara Indonesia berusia 0-19 tahun mengidap HIV/AIDS.
Lentera bagi anak dengan HIV/AIDS
Terdapat beberapa organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang secara spesifik mengadvokasi anak dengan HIV/AIDS dengan berbagai pendekatan.
Lentera Anak Pelangi mendampingi 96 anak yang tinggal di pelbagai wilayah di DKI Jakarta. Lembaga ini menyediakan dukungan kesehatan, psikososial, manajemen kasus, hingga edukasi dan advokasi. Mereka memiliki pandangan bahwa tempat berkembang terbaik bagi anak adalah tinggal bersama dengan keluarganya sehingga anak dengan HIV/AIDS lebih baik hidup dan dirawat di tengah masyarakat oleh pengasuhnya.
Sementara itu, di Jawa Tengah, Yayasan Lentera Surakarta yang didirikan oleh Puger Mulyono memiliki rumah singgah untuk menampung belasan anak. Anak-anak di rumah singgah ini tidak hanya datang dari Kota Solo, tapi juga dari berbagai daerah lain, seperti Batam dan bahkan Papua.
Menyusul penolakan warga untuk hidup berdampingan dengan anak dengan HIV/AIDS yang tinggal di Yayasan Lentera Surakarta, Pemerintah Kota Surakarta sedang membangun rumah singgah baru di suatu lokasi di wilayah kota tersebut.
Rumah singgah ini diharapkan bisa memenuhi salah satu kebutuhan anak dengan HIV/AIDS untuk memiliki tempat tinggal tetap yang sesuai dengan kebutuhan kesehatannya. Rumah singgah ini diperuntukkan bagi anak dengan HIV/AIDS yang tidak lagi diterima oleh keluarganya.
Selain mengelola rumah singgah, Yayasan Lentera Surakarta juga merawat 101 anak dengan HIV/AIDS yang tinggal bersama keluarga mereka di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Komitmen dan hambatan dalam diri pemegang kewajiban
Pemerintah sebenarnya telah menunjukkan komitmennya untuk pemenuhan hak-hak anak dengan HIV/AIDS melalui penerbitan beberapa peraturan perundangan-undangan yang bersifat multi-sektoral.
Di samping peraturan perundangan-undangan yang secara spesifik mengatur HIV/AIDS, jaminan pemenuhan HAM bagi ADHA juga diperkuat dengan peraturan yang lain, seperti Undang-Undang Kesehatan (Pasal 137), UU Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial, UU Perlindungan Anak (Pasal 2 dan Pasal 67C), UU Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 4, 5, 6, dan 12), UU Kesejahteraan Sosial, Keputusan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2010 tentang Panduan Umum Kesejahteraan Sosial Anak, dan sebagainya.
Pemerintah juga sedang menggarap dan menyempurnakan basis-basis pencegahan HIV/AIDS melalui Strategi Nasional Pencegahan HIV/AIDS di sektor pendidikan. Naskahnya saat ini sedang ditinjau lembaga pemerintahan, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
Sayangnya, komitmen pemerintah untuk memenuhi hak-hak anak dengan HIV/AIDS belum didukung implementasi dari pasal-pasal peraturan perundangan-undangan secara memuaskan. Beberapa permasalahan klasik, seperti koordinasi antar-lembaga dan alokasi anggaran, masih menjadi hambatan bagi terpenuhinya hak-hak dasar. Di samping itu, tidak semua sektor pemerintahan berjalan seirama dalam mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar anak dengan HIV/AIDS.
Fakta menarik terjadi ketika pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap pelaku diskriminasi terhadap anak dengan HIV/AIDS di lingkungan pendidikan. Meski Dinas Pendidikan telah berupaya dengan mengganti kepala sekolah dan memberi teguran bagi pelaku tindakan diskriminatif, seperti kasus satu sekolah negeri di Jakarta Barat pada tahun ini, nasib anak tidak berubah menjadi lebih baik.
Anak dalam kasus tersebut pada akhirnya tidak mampu mengakses pendidikan formal karena putus sekolah setelah mengalami diskriminasi tersebut. Dengan kata lain, penegakan hukum mungkin bisa memberi efek jera bagi para pelaku diskriminatif, namun tidak mampu memberi pemenuhan HAM bagi ADHA.
Stigma masyarakat masih menjadi faktor penghambat
Ironi yang terjadi saat pemerintah berusaha mengambil tindakan tegas kepada pelaku diskriminasi menunjukkan adanya permasalahan struktural dalam pemenuhan hak bagi anak dengan HIV/AIDS, yakni stigma dari masyarakat. Baik pemerintah maupun masyarakat sipil sepakat bahwa stigma masyarakat seringkali menjadi jalan buntu.
Umumnya masyarakat awam cukup paham bahwa HIV/AIDS adalah penyakit menular. Namun, pengetahuan ini tidak diikuti dengan pemahaman bahwa penularan HIV/AIDS tidak lebih mudah dibandingkan dengan penyakit menular lain seperti tuberculosis (TB).
Di samping itu, masyarakat juga luput dari pemahaman tentang bagaimana cara hidup berdampingan dengan anak dengan HIV/AIDS. Masyarakat juga masih mengasosiasikan anak dengan HIV/AIDS dengan perbuatan orang tuanya yang dianggap negatif.
Mendorong peran masyarakat
Dalam konteks ini, perlu adanya dorongan untuk tidak hanya menjadikan pemerintah sebagai satu-satunya pemegang kewajiban pemenuhan HAM bagi anak dengan HIV/AIDS. Meski tidak dapat dimungkiri bahwa pemerintah masih perlu meningkatkan kapabilitas manajerial dan alokasi anggaran.
Pemerintah juga perlu secara serius menyebarluaskan informasi yang utuh dan akurat tentang HIV/AIDS melalui cara yang tepat sebagai langkah awal untuk mengurangi stigma masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan sebagai salah satu pemegang kewajiban.
Sebagai elemen yang berada di lapisan bawah dalam struktur sosial, masyarakat perlu bertanggung jawab terhadap pemenuhan HAM bagi anak dengan HIV/AIDS. Masyarakat perlu didorong untuk menjadi pihak yang secara aktif bersolidaritas memperjuangkan hak-hak anak dengan HIV/AIDS.
Muhammad Diaz Kurniawan, peneliti magang di ASEAN Studies Center UGM, ikut terlibat dalam penulisan artikel ini.
Atin Prabandari, Lecturer at the Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada ; Dedi Dinarto, Research Associate with the Indonesia Programme, S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University; Irfan Ardhani, Peneliti di ASEAN Studies Center FISIPOL UGM, Universitas Gadjah Mada , dan Putri Rakhmadhani Nur Rimbawati, Researcher and Project Manager ASEAN Studies Center, Universitas Gadjah Mada
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Post a Comment